Buku kedua dari Moonlight After Sunset, bercerita tentang Senja, seorang gadis yang terlilit takdir membingungkan. Untuk mengetahui rahasia takdir yang mengikatnya, Senja harus membuang identitas lamanya sebagai Bulan dan mulai menjalani petualangan baru di hidupnya sebagai putri utama Duke Ari. Dalam series ini, Senja aka Bulan akan berpetualang melawan sihir hitam sembari mencari tahu identitas aslinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riana Syarif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Monster Lain
"Semakin dalam kau masuk, maka semakin luas pula pengetahuan mu."
****
Ketika memasuki area ruang bawah tanah, Senja merasakan energi besar merasukinya. Rasanya sejuk dan hangat, berbeda sekali jika ia berada di luar dari tempat ini.
"Kumpulan mana di tempat ini sangat menakjubkan. Rasanya seperti berada di hamparan padang rumput yang luasnya seperti air di lautan."
Ristia memuji tempat itu dengan suka cita, ia sangat menikmati berada disana. Rasanya begitu nyaman dan tenang, seperti berada di dalam pelukan seorang ibu.
"Aku penasaran bagaimana Permaisuri Mawar membuat tempat ini?" tanya Ristia pelan.
"Apa ia menggunakan semua afinitasnya untuk menciptakan tempat ini?" lanjut Ristia sekali lagi dalam hatinya.
Namun hal yang dirasakan oleh Ristia berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Senja di tempat ini. Ia merasa nyaman namun ada sedikit keraguan di dalam hatinya. Ia penasaran dengan sosok yang ia temui terakhir kali di tempat ini.
"Apa aku bisa bertemu lagi dengannya?" gumam Senja pelan, namun masih bisa di dengar oleh Ristia yang berada di pergelangan tangannya.
"Apa Nona mengatakan sesuatu?" tanya Ristia memastikan pendengarannya.
"Tidak..." jawab Senja acuh tak acuh.
Setelah berjalan beberapa saat menjauhi pintu masuk, Senja bisa melihat Vanilla yang sedang bermain bersama kelinci putih di sana.
"Astaga, kelinci itu mengingatkan aku pada White," seru Ristia kaget.
"Nona disini." seru Vanilla yang tanpa sadar melepaskan kelinci putih itu dari genggaman tangannya.
"Pergilah, aku butuh waktu untuk sendirian," balas Senja acuh sambil menarik Ristia dari pergelangan tangannya.
"Jangan ganggu aku, dan..."
Senja berhenti berbicara untuk sesaat sambil memperhatikan sekelilingnya.
"Jangan ribut, dan bermainlah dengan tenang." lanjutnya sambil berlalu pergi meninggalkan Ristia dan Vanilla berdua disana.
****
Akademi Adeline
"Tempat ini sudah sangat berdebu," lirih Dian saat tangannya menyentuh kosen dinding jendela.
"Nona biasanya duduk disini setiap kali ia bosan, namun karena saat ini Nona sedang sibuk maka tempat ini menjadi begitu berdebu," lanjutnya sambil mengambil kemoceng untuk membersihkan tempat itu.
"Padahal Nona baru beberapa hari saja tidak duduk disini namun lihat bagaimana tebalnya debu itu," gerutu Dian yang dengan cepat membersihkan area tersebut.
Kun yang mendengar omelan Dian hanya menghela napasnya dingin. Ia memutar kembali tubuhnya di kasur dan kemudian lanjut tidur.
Seperti biasa setelah Dian membersihkan seluruh area kamar, ia kemudian pergi membuang sampah yang letak pembuangannya berada di sisi barat gedung asrama tersebut.
"Aneh sekali, entah mengapa rasanya begitu sepi," gumam Dian yang biasanya selalu bertemu si kembar ataupun Luna ketika setiap kali ia bergerak di dalam area gedung tersebut.
Namun saat ini ia bahkan tidak bisa mendengar suara mereka. Biasanya setiap kali Dian keluar kamar, ia bisa secara tidak sengaja bertemu dengan mereka. Meski kadang agak menyebalkan untuk terus menjawab pertanyaan mereka mengenai Senja, namun melihat kekosongan ini membuat Dian sedikit rindu.
Setelah selesai membuang sampah, Dian kemudian pergi menemui Eza yang saat ini sedang memberi makan kuda mereka. Eza tampak tenang sama seperti biasa, meski begitu ia tetap waspada pada setiap pergerakan orang lain.
"Ada apa?" tanya Eza saat Dian masih berjarak 10 meter darinya.
"Pengecekan," balas Dian pelan.
"Karena Nona saat ini sedang sibuk maka seperti biasa, aku yang akan mengurus semuanya," lanjut Dian saat ia sudah berjarak dekat dengan Eza.
"Begitu," seru Eza acuh tak acuh.
"Tapi meski begitu aku tidak bisa melakukannya secara menyeluruh. Saat ini ada yang terasa aneh disini."
Dian masih memikirkan tentang para sahabat Nona nya itu. Ia merasa bahwa kesunyian ini pasti ada maksudnya, oleh karena itu ia memutuskan untuk tetap berada di akademik.
"Aku tidak bisa melakukan tugas pengecekan itu untuk saat ini, jadi...."
"Apa kau meminta bantuan ku saat ini?" tanya Eza memotong perkataan Dian.
"Benar, ternyata kau begitu peka. Aku memang berniat seperti itu, sama seperti biasa kau cukup melihat progres dari semuanya dan laporkan pada ku. Aku butuh laporan itu untuk diberikan pada Nona."
Dian menjelaskan maksudnya, jujur saja sebenarnya Eza bukan sekali atau dua kali membantu Dian seperti saat ini. Jadi ia sudah terbiasa dengan Dian yang tiba-tiba menghilang dan memindahkan seluruh tugasnya pada Eza.
"Aku tidak bisa, aku memiliki tugas ku sendiri."
Kali ini Eza menolak permintaan Dian karena ia harus menemui nona nya segera.
"Kau bisa minta bantuan Nindia untuk masalah mu itu," lanjut Eza saat hendak menaiki kudanya.
"Nindia akan menjadi seperti kita suatu saat nanti, jadi ajarkan dia hal yang sama dengan yang saat ini kau pelajari. Jadi jika kau sedang sibuk maka dia bisa membantumu."
Dian tampak diam, ia kesal namun itu memang benar. Entah mengapa Dian merasa jika Nindia masih belum pantas saja untuk berada di sisi nona.
Selain itu, posisi Nindia dan Eza adalah sama, mereka berdua adalah pengawal Senja sedangkan Dian sendiri adalah pelayannya. Meski begitu, Dian tidak hanya sebatas sebagai pelayan pribadi Senja namun ia juga bertugas sebagai sekretaris Senja yang mengurus semua keperluannya.
"Aku tahu, tapi saat ini Nindia sedang fokus pada pekerjaannya. Ia sedang di tugaskan untuk menganalisa mana mati dan itu pasti membuatnya sangat sibuk," balas Dian sebelum Eza benar-benar pergi meninggalkan tempat itu.
"Dian, cobalah untuk percaya. Kau pasti akan mendapatkan kemudahan dengan adanya bantuan dari Nindia. Aku sibuk dan aku harus pergi sekarang juga."
Setelah mengatakan itu, Eza segera pergi meninggalkan Dian sendirian. Ia bahkan tidak melirik sekali pun pada Dian yang masih berdiam diri di tempatnya.
"Hah, ini akan sangat merepotkan." gumam Dian sambil melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
****
Setelah berjalan menjauhi Ristia dan Vanilla, akhirnya Senja menemukan tempat yang tepat untuk dirinya bisa beristirahat.
"Meski tempat ini terlihat kecil di luar namun faktanya berbeda. Area dalam tempat ini sangat luas, bahkan butuh dua tahun atau lebih untuk bisa menjelajahi tempat ini, itupun hanya hipotesis ku saja," seru Senja saat melihat hamparan padang rumput yang luas di hadapannya.
"Ini mirip dengan tas sub-ruang dimana tas itu mampu menampung seluruh barang yang bahkan jumlah dan besarnya jauh lebih besar dibandingkan dengan ukuran asli tas tersebut."
Senja mengoceh tanpa henti saat menjelaskan tentang tempat ini dan entah untuk siapa juga ia menjelaskan itu semua.
Setelah selesai dengan ocehannya, ia lalu memutuskan untuk beristirahat di bukit yang ada di hadapannya itu. Bukit itu tidak terlalu besar dan tinggi sehingga Senja tidak perlu bersusah payah untuk mendakinya.
"Indah," gumam Senja saat melihat hamparan rumput hijau dihadapannya itu.
"Hah, akhirnya aku bisa istirahat juga," lanjutnya sambil membaringkan diri di atas rumput.
Dengan deru angin yang sejuk dan kehangatan dari sinar mentari, akhirnya Senja pun tertidur dengan tenang. Ia merasa sangat nyaman seperti berada di belaian ibunya.
"Hangat..." lirih Senja dalam tidurnya.
Sayangnya kenyamanan itu tidak berlangsung lama. Pasalnya setelah Senja menutup kedua matanya, sebuah awan hitam terbang mengelilinginya. Awan itu tampak sangat mendung dan gelap, kontras sekali dengan lingkungan di sekitarnya.
"Tempat ini...!!" teriak Senja kaget saat kenyamanan yang baru saja ia rasakan dalam mimpinya tiba-tiba saja menghilang dan berubah menjadi tempat yang penuh dengan dinding hitam.
Ini adalah tempat dimana ia bertemu dengan monster aneh itu. Monster yang menyebutkan jika dirinya mirip dengan seseorang yang bahkan Senja sendiri tidak tahu siapa orang yang dimaksud oleh monster itu.
"Bagaimana bisa aku disini?" tanya Senja kaget, pasalnya beberapa saat yang lalu ia masih berada di alam mimpi dimana ia bertemu kembali dengan keluarganya yang ada di bumi. Mimpi yang sama sebelum akhirnya ia terjerumus masuk ke tempat ini seperti sebelumnya.
"Apa ini sihir, tapi sihir macam apa itu?" batin Senja sambil melirik ke kanan dan kirinya.
"Lama tidak bertemu."
Sebuah suara bariton mengagetkan Senja. Suara itu terdengar berat namun anehnya tidak ada permusuhan dari suara tersebut.
"Kau...!!"
Sang pemilik suara itu hanya tersenyum nakal di hadapan Senja. Ia menampakkan gigi taringnya yang tajam dan kuat, seakan memperjelas bahwa yang sedang berdiri di hadapannya bukanlah seorang manusia melainkan monster.