Hal yang mengejutkan dialami oleh Nurhalina, gadis penjaga toko swalayan. Ia menjadi korban penculikan dan dijadikan tumbal untuk sebuah perjanjian dengan sebelas iblis. Namun ada satu iblis yang melanggar kesepakatan dan justru mencintai Nurhalina.
Hari demi hari berlalu dengan kasih sayang dan perhatian sang iblis, Nurhalina pun menaruh hati padanya dan membuatnya dilema. Karena iblis tidak boleh ada di dunia manusia, maka dia harus memiliki inang untuk dirasukinya.
Akankah cinta mereka bertahan selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sahabat Adalah Maut
Setelah puas telapak tangannya memberikan penyuluhan kepada tubuhku, dan mulutnya yang beberapa kali menjanjikanku tempat tinggal yang bagus asal aku bersedia berpura-pura menjadi keponakannya agar istri dirumah tidak curiga, kini tibalah saatnya aku memegang kendali.
Aku sengaja mengangguk dengan semangat di setiap tawarannya agar dia tidak banyak lagi mengoceh dan kucoba sedikit merayunya.
Berhasil dan kini kita berada tepat di belakang pintu yang terkunci. Dia berdiri tegak dengan kepala mendongak ke atas merasakan kenikmatan di jorannya yang keras dan berkedut-kedut di dalam mulutku.
"Oohhh, sayang. Jadi, nanti aku bilang ke Puan, aku akan mengadopsimu!" matanya masih tertutup, kedua tangannya di atas ubun-ubunku. "Kamu memang keponakan Om yang paling, uuhhhh."
Aku tak menghiraukan apa pun yang dia katakan, fokusku hanya satu sekarang. Tanganku yang mencoba berbagai kunci di lubang kunci ini.
Kunci pertama gagal, sekarang aku berganti ke kunci ke dua, tapi tiba-tiba, "Sayang, sinih!" si Bobbi ini sedikit membungkuk dan meraba dadaku.
Tangan kananku sigap menggenggam di belakang pahanya, menyembunyikan kunci-kunci ini agar dia tak curiga. Sedangkan tangan kiriku sibuk memegangi Joran pancing yang sedikit melengkung sehingga setiap kali masuk, pipi kiriku tampak sedikit kembung.
"Besar banget, sih sayang!" lenguhnya dengan mata yang merem melek.
Dengan hati-hati kembali tangan kananku mencoba kunci yang kedua, sambil menahan sakit di dada akibat remasan kasar tangan kekar itu.
Sial.
Gagal.
Kuberalih ke kunci ketiga, dengan hati-hati menancapkannya kembali ke lubang kunci, tapi tiba-tiba dia mendorong jorannya mentok hingga ke tenggorokanku, dan aku muntah.
Air mataku terjun bebas bersama sisa makanan tadi siang melalui mulutku. Dia hanya tertawa puas melihatku, "Bagaimana punya, Om? Panjangkan?"
Entah bagaimana aku harus mengangguk, tapi tangan kananku sudah terlepas dari kunci yang kugenggam. Dan itu membuatku sangat panik.
Seakan tahu isi pikiranku, si Bobbi langsung menoleh kebelakang tanpa membalikkan badan, sedangkan joran pancingnya yang panjang masih mengacung keras di depan mataku, di depan hidungku.
"Ohh, jadi kamu mau kabur? Bagus, ya!" ucapnya hendak berbalik badan dan mengambil kunci itu.
"EMMMMMPP HHIIIRRGGGGGG," satu ikan mencaplok joran pancing.
...KREZZZZZHHH...
"BAA.... JINN.... GAAAAAANNN! AAAARGGGGGG."
Ikannya terlalu besar, sehingga joran itu patah jadi dua. Sedang kepala joran masih bersarang di mulut sang ikan, mulutku.
Bobbi menggelinjang hebat memegangi jorannya, menjingkat-jingkat sebelum tergeletak di samping meja dengan posisi mengangkang, sama seperti posisiku tadi dibuatnya. Sekarang kita sama, sama-sama tidak memiliki belalai.
Aku buru-buru membuka kunci ketiga yang masih menancap di pintu, tapi gagal.
Untungnya kunci ke empat sukses, dan sebelum Bobbi berhasil menarik rambutku ke arahnya, kupotong rambut panjangku yang dia genggam menggunakan guntingnya yang tergeletak di lantai. Aku buru-buru keluar lalu mengunci ruangan itu rapat-rapat.
Aku tak peduli dengan tubuhku saat ini, meski tanpa penutup apa pun, aku berlari secepat kilat menuju pintu gerbang utama sebelah aula. Tapi sebelum sampai ke sana aku melihat wastafel bertuliskan "Cegah Covid 19 dengan 3 M".
Ada baiknya aku membersihkan mulutku yang telah merah, dan jangan sampai cairan-cairan ini tertelan, itu sama saja meningkatkan kemungkinan aku untuk tertular HIV jika si Bobbi positif mengidapnya.
Saat membersihkan mulut di wastafel, aku berpikir jika jarak kantor desa ini sebenarnya tidak terkalu jauh dari tempatku bekerja dan untungnya toko tempatku bekerja buka selama 24 jam. Dan aku yakin, Faizal yang lagi jaga di sana, karena dia selalu dapat sift malam.
Apa lebih baik aku kesana saja?
Benar.
Aku harus ke sana secepat mungkin untuk meminta pertolongan. Lagi pula aku tak punya pilihan lain.
...ᯓᡣᯓᡣᯓᡣᯓᡣ...
Dingin.
Tubuhku mulai menggigil diterpa angin tengah malam. Tampak lampu lalu lintas hanya menyala warna kuningnya saja. Dan tidak ada satu pun kendaraan yang melintas di jalanan ini.
Hanya tampak pemuda-pemuda yang lagi mabuk-mabukan di pos kampling. Sebenarnya aku tak begitu khawatir dengan orang yang sudah mabuk, mudah saja bagiku untuk menghajarnya karena mereka sudah lemah dan tak sadarkan diri yang tersisa dari mereka adalah kepercayaan diri yang tinggi akibat minuman keras itu. Tapi sebenarnya mereka lemah dan rentan, bahkan untuk berdiri tegak saja mereka tak sanggup.
Seperti bocah kecil yang ada di depanku sekarang ini.
"Setan sekarang kenapa seksi-seksi, sih!" katanya, berdiri sambil sempoyongan. "Sini, mampir dulu!"
Rekan-rekan sejawatnya hanya tertawa sambil tiduran, tampak tak lagi kuasa menahan beban di kepalanya.
...BUGGGHHH...
Maafkan aku bocah kecil. Aku harus buru-buru. Jadi kubiarkan saja dia tergeletak memegangi hidungnya yang berdarah.
Dan ketika kakiku menginjak lantai toko yang lampunya paling terang ini, akhirnya aku selamat.
Aku terbebas.
Hatiku lega setelah kata-kata itu muncul dari lelaki yang berada di belakang meja kasir, benar, Faizal yang lagi berjaga malam ini, "Nurhalina? Kamu kenapa?" dia terbirit-birit menghampiriku yang baru saja membuka pintu kaca.
Seakan tahu apa yang telah terjadi padaku, Faizal lekas menuntunku ke loker, tempat biasa kami beristirahat, "Tunggu, di sini Nur. Biar aku ambilkan seragamku dulu, kamu tenang, ya. Kamu sudah aman sekarang. Jangan nangis lagi, oke."
Dia pergi ke depan lagi, sepertinya dia akan mengambil seragam di jok motor.
Aku bersyukur, akhirnya aku bisa lari dari dukun dan penculik itu. Meski aku masih tak bisa bersuara, tapi aku benar-benar lega.
Aku bebas.
Aku hanya duduk di lantai, menangis sambil menutupi wajah dan dadaku dengan lutut, meski sekarang aku merasa lebih tenang, tetap saja aku prihatin dengan semua yang telah menimpaku tiga hari belakangan ini.
"Nur, udah jangan nangis lagi!" ucap Faizal, mengejutkanku dari ambang pintu. Di balik bahunya terlihat lampu toko sudah gelap. Hanya lampu showcase yang meremangkan suasana di sana.
Tunggu.
Kenapa dia tutup toko di jam segini?
Padahal jadwal dia jaga harusnya sampai jam 8 pagi.
Dan katanya dia mau pinjamkan seragamnya untukku. Tapi kenapa dia justru membawa itu di tangannya?
Kotak Sutra berwarna merah yang biasanya ada di etalase kasir.
Dia mau ngapain?