Netha Putri, wanita karir yang terbangun dalam tubuh seorang istri komandan militer, Anetha Veronica, mendapati hidupnya berantakan: dua anak kembar yang tak terurus, rumah berantakan, dan suami bernama Sean Jack Harison yang ingin menceraikannya.
Pernikahan yang dimulai tanpa cinta—karena malam yang tak terduga—kini berada di ujung tanduk. Netha tak tahu cara merawat anak-anak itu. Awalnya tak peduli, ia hanya ingin bertanggung jawab hingga perceraian terjadi.
Sean, pria dingin dan tegas, tetap menjaga jarak, namun perubahan sikap Netha perlahan menarik perhatiannya. Tanpa disadari, Sean mulai cemburu dan protektif, meski tak menunjukkan perasaannya.
Sementara Netha bersikap cuek dan menganggap Sean hanya sebagai tamu. Namun, kebersamaan yang tak direncanakan ini perlahan membentuk ikatan baru, membawa mereka ke arah hubungan yang tak pernah mereka bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Supermarket
Di garasi rumah yang cukup luas, Netha berdiri di depan sebuah motor matic dan mobil keluarga berwarna hitam. Ia mendesah pelan sambil memandangi motor tersebut. “Nggak mungkin naik ini,” gumamnya, melirik tubuhnya yang memang lebih besar dari rata-rata. “Apalagi bertiga sama mereka.”
Ia menggelengkan kepala dan memilih mobil sebagai opsi yang lebih masuk akal. “Ya sudah, mobil saja. Untung di kehidupan sebelumnya aku udah terbiasa nyetir,” pikirnya sambil memasuki mobil.
El dan Al berjalan mengikuti Netha. Mereka dengan cekatan duduk di kursi belakang mobil dan memasang sabuk pengaman. Netha memastikan semua sudah siap, lalu menyalakan mesin mobil dan memundurkan mobil perlahan keluar garasi.
Namun sebelum benar-benar berangkat, Netha berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Ia menatap kedua anak kembar itu yang menatapnya dengan sedikit kebingungan.
“Dengar,” ujar Netha pelan, suaranya sedikit lebih lembut dari biasanya. “Aku mau minta maaf sama kalian.”
El dan Al hanya diam, menatapnya dengan mata lebar.
“Aku tahu selama ini sikapku nggak baik. Aku sering marah, sering nggak peduli sama kalian. Tapi sekarang, aku ingin berubah,” lanjut Netha. “Aku cuma minta, jangan anggap aku sebagai mama kalian. Anggap saja aku teman. Teman yang bisa kalian ajak bicara dan berbagi cerita.”
El dan Al saling berpandangan, tidak langsung merespons. Mungkin mereka masih kaget dengan ucapan Netha yang tiba-tiba berubah drastis.
“Yah, setidaknya, kalau nanti kita benar-benar berpisah, aku nggak mau ada dendam di antara kita,” tambahnya sambil tersenyum tipis.
“Hmm,” gumam El pelan, menghindari tatapan Netha. Al juga hanya mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa.
“Ya sudah. Kalau kalian mau bicara atau butuh apa pun, bilang saja,” kata Netha, mencoba mencairkan suasana. Setelah itu, ia menghela napas dan mulai mengemudikan mobil menuju mall besar di kota sesuai dengan ingatan pemilik tubuh sebelumnya.
Perjalanan menuju mall terasa penuh keheningan. El dan Al duduk di kursi belakang, sibuk memandangi pemandangan di luar jendela. Mata mereka berbinar melihat jalanan yang ramai, kendaraan berlalu lalang, dan orang-orang yang beraktivitas. Mungkin karena selama ini mereka jarang diajak keluar rumah, pemandangan sederhana itu menjadi sesuatu yang istimewa.
Netha sesekali melirik mereka melalui kaca spion dan tersenyum kecil. “Anak-anak ini, kasihan juga,” pikirnya.
Setelah sekitar 30 menit berkendara, mereka akhirnya sampai di mall besar. El dan Al menatap bangunan megah itu dengan takjub. Mall tersebut berdiri kokoh dengan kaca-kaca besar, dan banyak orang berlalu lalang di dalamnya.
“Wow,” gumam Al pelan. El hanya mengangguk, menunjukkan kekagumannya.
“Nggak boleh jauh-jauh dari aku, ya,” pesan Netha sebelum mereka masuk. “Kalau sampai hilang, aku nggak mau repot nyariin kalian.”
El dan Al mengangguk patuh. Netha mengambil satu troli besar untuk dirinya dan memberikan masing-masing satu keranjang dorong kecil untuk El dan Al. “Ini untuk kalian. Tapi ingat, kalian cuma boleh pilih 10 barang masing-masing. Nggak boleh lebih, ngerti?”
“Sepuluh?” Al menatapnya dengan wajah sumringah.
“Iya. Pilih yang kalian suka.”
El dan Al saling tersenyum senang. Mereka bergegas berjalan menyusuri lorong supermarket dengan langkah riang, sementara Netha mengawasi dari belakang sambil mendorong trolinya sendiri.
Sepanjang perjalanan, beberapa pengunjung supermarket melirik ke arah mereka. Dua anak kembar yang tampan berjalan bersama seorang wanita bertubuh gemuk yang, menurut pandangan mereka, terlihat lebih seperti pengasuh daripada ibu.
“Bu, hati-hati sama anak majikannya,” ujar seorang wanita paruh baya yang kebetulan lewat di dekat Netha. “Jangan sampai hilang.”
Netha berhenti dan menatap wanita itu dengan ekspresi datar. “Mereka anak saya,” jawabnya singkat.
Wanita itu terkejut. “Oh, maaf. Saya kira…”
Netha tidak peduli dan segera berlalu sambil mendorong trolinya. “Orang-orang ini,” gumamnya pelan sambil menghela napas.
Sementara itu, El dan Al sibuk memilih barang-barang yang mereka inginkan. Ada makanan ringan, beberapa mainan kecil, dan beberapa minuman dingin yang menarik perhatian mereka. Wajah keduanya penuh dengan senyum, mungkin karena selama ini dengan Sean, ayah mereka, makanan dan barang semacam itu selalu dibatasi.
Netha memperhatikan dari kejauhan, merasa sedikit kasihan. “Sean terlalu keras sama mereka,” pikirnya sambil melanjutkan belanja.
Setelah El dan Al selesai dengan keranjangnya, mereka mengikuti Netha dari belakang sambil membawa keranjang masing-masing. Netha sendiri sibuk memilih bahan-bahan untuk memasak: daging ayam, daging sapi, ikan segar, sayuran, bumbu-bumbu dapur, dan beberapa kebutuhan rumah tangga lainnya.
Ia juga memilih peralatan memasak, seperti panci, teflon berbagai ukuran, pisau set, spatula, dan lain-lain. Tidak lupa membeli beras, telur, minyak goreng, dan berbagai bahan pokok lainnya.
Selain itu, Netha juga membeli perlengkapan mandi, sabun, sampo, pasta gigi, dan handuk baru, serta perlengkapan makan, seperti piring, gelas, dan peralatan lainnya. Ia pun memilih gorden baru, taplak meja, dan beberapa dekorasi kecil untuk mempercantik rumah.
Troli yang ia dorong semakin penuh, membuatnya harus mendorong dengan ekstra tenaga. Sementara itu, El dan Al hanya mengikutinya sambil memandang dengan kagum.
“Banyak banget belanjanya,” ucap Al pelan.
“Biar rumah kita jadi lebih nyaman,” jawab Netha sambil tersenyum kecil.
Setelah semua belanja selesai, mereka menuju kasir untuk membayar. Netha menyuruh El dan Al untuk duduk di bangku di seberang kasir sambil menunggu. Keduanya patuh dan duduk diam, meskipun terlihat sedikit lelah.
Netha meminta petugas kasir untuk mengantarkan semua barang belanjaan itu ke alamat rumahnya. “Nggak mungkin aku bawa sendiri semua ini,” pikirnya. Setelah itu, ia membayar dan segera membawa El dan Al kembali ke mobil.
Di perjalanan pulang, suasana di dalam mobil sunyi. El dan Al tampak kelelahan setelah menemani Netha berbelanja. Keduanya tertidur pulas di kursi belakang, kepala mereka sesekali terjatuh ke sisi jendela.
Netha melirik ke kaca spion dan tersenyum kecil. “Dasar anak-anak,” gumamnya lembut.
Sesampainya di rumah, Netha memasukkan mobil ke garasi dan mematikan mesin. Ia membuka pintu belakang mobil dan melihat kedua anak itu masih tertidur. Dengan hati-hati, Netha menggendong Al terlebih dahulu. Tubuh kecil itu terasa hangat dan ringan di pelukannya. Dalam tidurnya, Al mendusel-dusel mencari posisi nyaman di bahu Netha, membuatnya tersenyum kecil.
Ia membawa Al ke kamar, meletakkannya pelan-pelan di ranjangnya, lalu membuka sepatunya dan menarik selimut hingga menutupi tubuh mungil itu. Setelah itu, ia kembali ke mobil untuk menggendong El.
El juga terlihat sama lelahnya. Dalam perjalanan menuju kamar, El memeluk leher Netha erat-erat sambil menggumam pelan dalam tidurnya. Netha merasa hatinya hangat. Ia meletakkan El di ranjangnya, melepaskan sepatunya, dan menyelimutinya seperti yang ia lakukan pada Al.
Setelah memastikan keduanya tertidur nyaman, Netha keluar dari kamar dengan langkah pelan. Ia menghela napas panjang, merasa kelelahan namun puas.
Di sofa ruang keluarga, ia duduk sambil memainkan ponselnya yang sudah usang. “Harus beli ponsel baru juga,” pikirnya sambil menghela napas. “Tapi besok saja.”
Ia bersandar di sofa, menunggu mobil pengantar barang belanjaannya tiba. Pikirannya melayang-layang memikirkan banyak hal, tentang kehidupan barunya, El dan Al, dan masa depan yang belum pasti. Namun, untuk saat ini, ia hanya ingin menikmati momen sederhana ini.
“To be continued…”