MENEMANI BOS INSOMNIA TIDUR
Sudah genap satu tahun sejak Cayenne mulai bekerja sebagai resepsionis di Clover Hotel, hotel yang cukup terkenal di kotanya.
Pada awalnya, jadwal kerjanya tidak teratur, tetapi Cayenne mengajukan permohonan untuk shift malam secara konsisten.
Alasannya sederhana, Shift malam adalah satu-satunya cara yang dapat ia gunakan untuk tetap bekerja sampingan di siang hari, sehingga dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Cayenne menyadari tanpa dukungannya, keluarga kecilnya tidak akan bisa bertahan.
"Kamu tidak ganti shift lagi?" tanya Kyle, adiknya, ketika melihat Cayenne bersiap untuk kerja di malam itu.
"Aku sudah bisa bekerja, Kak. Kenapa tidak berhenti saja dari pekerjaan malam dan biarkan aku yang melakukannya?"
"Jangan, kamu fokus pada sekolahmu. Tidak usah khawatirkan aku," jawab Cayenne sambil tersenyum, mengacak rambut keriting adiknya.
"Jangan lupa kerjakan PR-mu."
Kyle dan Luiz, adik bungsu mereka hanya mengangguk. Ketiganya tinggal di apartemen kecil tanpa sosok ayah, sementara ibu mereka masih dirawat di rumah sakit karena suatu penyakit.
Sebagai anak tertua yang baru saja berulang tahun ke-23, Cayenne adalah pencari nafkah utama. Kyle, anak kedua, sedang bersekolah jurusan Matematika, sementara Luiz yang berusia 16 tahun masih SMA.
Melihat kerja keras kakak mereka, Kyle dan Luiz bertekad belajar giat untuk membalas jasa Cayenne. Kyle bahkan ingin mencari kerja paruh waktu, tetapi Cayenne selalu menolak keras.
Ia tidak ingin adik-adiknya mengalami nasib yang sama dengan dirinya yang harus berhenti kuliah beberapa tahun lalu karena biaya pengobatan ibu mereka.
Alih-alih melanjutkan kuliah, Cayenne bekerja untuk keluarga. Dari pukul 9 pagi hingga 6 sore ia bekerja sebagai pelayan kafe, sebelum beralih menjadi resepsionis.
Waktu istirahat menjadi satu-satunya waktu rehat sejenak sebelum mengulanginya lagi. Di akhir pekan, ia masih melanjutkan dengan mengajar les pagi dan menjadi pengasuh ketika sore.
Kadang, ia mencuci baju atau menjual keripik pisang di lingkungannya. Hampir lima tahun, ia berjuang untuk menafkahi adik-adiknya dan membayar biaya rumah sakit ibunya.
"Aku masih punya dua jam sebelum kerja dimulai," katanya, melipat seragam dan memasukkannya ke dalam tas, lalu mengambil jaket usang nya.
Cuaca dingin mulai terasa seiring pergantian musim. Di meja apartemen mereka, Kyle dan Luiz tengah serius mengerjakan tugas sekolah.
"Kamu berangkat sekarang?" tanya Kyle.
"Iya. Berangkat lebih awal sebelum larut. Aku bisa tidur di ruang karyawan nanti," ujar Cayenne sambil memakai sepatu. "Ingat bangun pagi nanti." lanjutnya.
"Kami sudah pasang alarm," balas Kyle, memperhatikan Cayenne membuka pintu, lalu bertanya kepada Luiz, "Kau sudah tahu hasil tes beasiswa yang kita ikuti kemarin?"
"Besok baru diumumkan," jawab Luiz. Tanpa sepengetahuan Cayenne, mereka mengikuti ujian beasiswa dan menyimpan uang yang dia beri sebagai cadangan.
Meski tahu jika Cayenne cemas tentang adik-adiknya, mereka lebih khawatir akan beban kakak mereka.
Di tempat lain, di lantai teratas Clover Hotel. Stefan, Ceo Clover hotel berada di ruang pribadinya.
"Tuan, ayah Anda menelepon, bertanya tentang ulang tahun Anda," kata sekretarisnya.
"Tidak perlu ada perayaan," jawab Stefan singkat. "Kau boleh pulang."
"Terima kasih, Tuan. Hati-hati," ucap pria itu.
Stefan, setelah kematian saudaranya 15 tahun lalu, hidup dengan ketidakpercayaan dan insomnia. Rasa bersalah atas kematian saudaranya masih menghantui, meski bukan dia penyebabnya langsung.
Orangtuanya tidak pernah menyalahkannya secara langsung, tapi Stefan merasa terbebani dengan kehilangan saudara yang jujur dan baik itu. Tanpa dukungan orang tua, ia mencapai kesuksesan saat ini dengan usahanya sendiri.
"Andai aku yang meninggal di malam itu," gumam Stefan, ia merasa kesepian meski bergelimang harta. Meski ada orang-orang di sekelilingnya, tak satu pun yang benar-benar peduli.
Stefan menghela nafas panjang sambil menekan interkom, dia meminta di antarkan anggur terbaik ke ruangannya.
Manajer Dant yang menjawab panggilan dari bosnya bergegas mengambilnya, bersamaan dengan kemunculan Cayenne yang baru saja selesai berganti pakaian dan bersiap ke lobi.
"Cayenne, bawakan ini ke lantai atas," kata Manajer Dant.
"Lantai atas? Tapi—"
"Cepat, atau kita akan dipecat," kata Manajer Dant tegas.
Tanpa pilihan, Cayenne mendorong kereta berisi anggur menuju lantai atas sambil merasa sedikit gugup.
Sesampainya disana, Stefan membuka pintu, menghadapi Cayenne yang hanya tersenyum tipis sambil menyapa dengan sopan, "Pesananmu Tuan."
"Masuk, tuangkan minuman," kata Stefan.
Cayenne terkejut, tapi kemudian dengan hati-hati memasuki ruangan, menuangkan anggur ke gelas kristal untuk Bosnya itu.
"Ada yang lain, Tuan?" tanya Cayenne.
"Minum bersamaku," katanya tiba-tiba.
"Maaf, Tuan, itu melanggar—"
"Aku yang membuat aturan."
Cayenne terdiam bingung, tetapi menuangkan anggur untuk dirinya sendiri. Rasa anggur itu manis sekaligus pahit, sedangkan aromanya begitu memikat sehingga membuat ketagihan.
"Pantas saja mereka menyuruhku menjauhi minuman ini. Benar-benar membuat ketagihan," gumamnya sambil memandangi cairan merah tua di dalam gelas anggurnya.
"Tuan, mengapa Anda tidak meminta seseorang untuk menemani, mungkin seorang pria? Saya pikir tidak bijaksana jika seorang wanita tinggal di kamar Anda. Lagi pula, saya masih harus bekerja," kata Cayenne, berusaha sekali lagi untuk pergi. Ia merasa canggung sendirian dengan pria lajang di kamar.
Stefan menatapnya dan mengabaikan sarannya. "Jangan khawatir, gajimu tidak akan dipotong."
"Baiklah." Ini yang sebenarnya dikhawatirkan Cayenne. Ia tidak ingin pekerjaannya terganggu saat sangat membutuhkan uang. Ia kembali menyesap anggurnya, duduk dengan tenang.
"Berapa umurmu? Kamu terlihat sangat muda."
"Saya baru saja berusia 23 tahun, Tuan," jawab Cayenne sopan.
"Kamu tidak kuliah?"
"Tidak, Tuan."
Stefan mengangkat alisnya. Dia berpikir wanita itu akan menggodanya, tetapi saat mereka terus mengobrol, wanita itu tetap sopan dan menjaga jarak.
"Kenapa memilih kerja di sini?"
"Karena tenang dan bayarannya bagus."
"Hanya itu?"
"Hmn."
Mendengar jawabannya, Stefan terkekeh. Ia berharap ada pujian manis tentang perusahaannya, tetapi Cayenne dengan jujur menjawab tanpa ada yang dilebih lebihkan.
Cayenne menatap gelas anggurnya. Meski hanya duduk, dia merasa dunia berputar. "Tuan, bolehkah saya menggunakan kamar mandi? Saya perlu mencuci muka."
Ia ingin membangunkan dirinya dengan air dingin, mengira lelah bekerja membuatnya mengantuk. Namun itu adalah efek dari anggur yang diminumnya.
Stefan menunjukkan arah kamar mandi, tetapi Cayenne pingsan sebelum sampai di sana.
"Dia tak bisa minum banyak, tapi tetap bertahan," gumamnya, lalu menaruh gelasnya dan mengangkatnya ke ranjang.
"Cantiknya dia." Stefan mengamati dengan intens. Hidung Yunani-nya sesuai dengan wajah mungilnya. Bulu matanya tebal dan panjang, melengkung anggun, memberikan bayangan pada wajah di bawah cahaya temaram.
Setelah meninggalkannya, Stefan terus menyeruput anggurnya sambil memandang kota.
"Kenapa aku memintanya untuk menemaniku?" tanyanya saat tak mengingat alasan mengajaknya tetap tinggal.
"Dia tak bangun-bangun?" gumamnya, melirik wanita yang tidur di ranjangnya.
Dia ingin menelpon asistennya agar Cayenne dijemput, tapi merasa sungkan karena dirinyalah penyebab wanita itu pingsan.
"Kurasa, aku pernah berkencan, tapi tak ada satupun wanita yang pernah tidur sebantal denganku. Dia yang pertama."
Ide jahil membisiknya. Ia tahu gadis ini berbeda dari wanita-wanita sebelumnya, membuatnya ingin menggodanya lebih jauh. Ia naik ke ranjang, berbaring di sebelahnya. Dia berniat menggoda, tapi justru terlelap damai dalam mimpi.
Sudah lama Stefan mengidap insomnia karena trauma masa lalu dan tekanan pekerjaan yang berat, namun malam itu ia akhirnya bisa tidur nyenyak ditemani seorang wanita yang belum ia kenal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments