Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benjamin Setiadi
Seperti yang sudah selalu orang tuanya katakan, keluarga Dihyan bukan orang miskin, meskipun bukan juga orang yang kaya raya. Paling tidak itu yang diucapkan Benjamin dan Maryam. Namun, Dihyan mulai curiga bahwa sang ayah sebenarnya memiliki kekayaan melimpah yang tidak ia ketahui dengan pasti. Ia tidak bodoh. Meski ayahnya selalu menjelaskan bahwa ia adalah orang Jawa asli, anak buruh di Ungaran, wajah bulenya tak mungkin bisa menipu. Mungkin sekali ayahnya adalah keturunan londo, Belanda, yang pernah menjajah negeri ini selama ratusan tahun – kata Bung Karno. Selain itu, sebagai seorang pegawai negeri, ayahnya mampu mengadopsi Centhini sekaligus mengurus Dihyan dalam rentang waktu yang tidak lama. Bahkan keduanya sekolah sampai kuliah di saat yang sama. Berapa yang dikeluarkan untuk biaya itu semua?
Dan … kali ini, mereka semua berangkat ke Kalimantan, Singkawang tepatnya, untuk berlibur dan bertemu dengan keluarga biologis Centhini. Semua akomodasi sudah disiapkan oleh Bapak. Dari tiket pesawat pulang pergi berempat sampai hotel di Pontianak maupun Singkawang. Uang darimana itu, coba?
“Bapak sudah janji kepada orang tua Centhini kalau suatu saat, pas ada rezeki dan waktu, kita akan mengunjunginya. Bapak juga sebenarnya agak menyesal karena belasan tahun baru bisa kesampaian,” ujar Benjamin kepada kedua anaknya tersebut.
“Ini nggak bakal mengubah apa-apa to, Pak?” tanya Dihyan sedikit segan.
“Apane? Apanya yang diubah? Centhini dadi Centhono, gitu?” Benjamin tertawa. Centhini lebih lagi. Kedua Bapak-Anak bukan kandung itu malah kompakan. Dari cara mereka melucu, sampai keusilannya mengganggu Dihyan.
“Ra lucu, Pak,” jawab Dihyan kesal.
“Ya, nggak, lah, Yan,” ucap Maryam. Ia mendekat dan menguyel-uyel rambut anak laki-lakinya tersebut sembari meletakkan semangkuk sayur bayam bening di atas meja. Mereka sekarang berada di meja makan. Besok pagi-pagi sekali, keluarga Setiadi akan berangkat ke Pontianak.
“Benar kata Bapak. Apanya yang mau diubah? Wong Centhininya saja nyante gitu, kok. Dia kan mbakyumu, Yan. Sampai kapan pun tetap mbakyumu. Lagipula, kamu itu lho, sudah kuliah gini kok masih muruuung wae, sediiih terus,” lanjut sang ibu.
“Soale nggak punya pacar katanya, Bu,” tukas Centhini.
Dihyan mendelik ke arah kakaknya.
“Lah, beneran? Kamu sedih gini terus ternyata karena belum punya pacar, po?” sang ayah ikutan. “Ya dicari, dideketin siapa yang kowe taksir, terus diomongke, bilang kalau kamu suka. Ngono wae kok repot.”
“Nggak pede, Pak. Katanya Bapak ganteng, Ibu ayu, tapi dia kok kayak bule tersesat,” lanjut Centhini.
Benjamin bukannya lanjut memberikan motivasi kepada Dihyan, malah kali ini ikutan tertawa bersama Centhini.
“Mbak, kamu nggak usah ikut pulang ke rumah ya nanti. Tinggal di Singkawang aja, sama keluargamu,” ujar Dihyan ketus.
“Enak aja. Kamu itu yang tinggal di Singkawang. Wong kayak bule tersesat gitu, nggak mirip sama Bapak,” balas Centhini.
Dihyan menyerah dengan serangan kakak dan bapaknya itu. Ia melarikan kekesalannya pada tempe goreng dan kuah bening masakan ibunya diiringi tawa Centhini dan Benjamin.
Namun, sejujurnya, Dihyan sungguh sadar bahwa ayahnya hanya bercanda. Benjamin memang seperti itu. Sang ayah mampu menyeimbangkan antara lelucon dan kasih sayang. Dua-duanya berada di dalam satu paket. Semakin nyeleneh leluconnya, berarti semakin sang ayah menunjukkan rasa cintanya.
Dihyan dan Centhini dapat merasakan kasih sayang ini dengan baik. Sama kental, dan sama tebalnya. Itu sebabnya, jauh di dalam hati, Dihyan paham bahwa Centhini tak mungkin mau melepaskan keluarga ini untuk kembali kepada keluarga biologisnya. Kakaknya itu sudah mendapatkan cinta yang utuh di keluarganya. Uniknya, Benjamin pun mampu membuat Centhini tidak membenci keluarga aslinya karena telah melepaskannya bahkan sewaktu ia masih di dalam kandungan. Tidak peduli seberapapun menjengkelkan kakaknya itu, kata ‘benci’ dan ‘dendam’ tidak pernah ada di dalam kamus Centhini.
Hanya satu hal yang selalu mengganggu pikiran Dihyan sampai ia berusia hampir 19 tahun ini: Bapak itu bule, kan?
“Bapak itu misterius, lho, mbak,” ujar Dihyan.
Seperti biasa Centhini mampir ke kamar Dihyan. Ia berbaring terlentang menghadap langit-langit kamar. Dan seperti biasa, Dihyan selalu dibuatnya risih dengan pakaian Centhini yang serba mini dan terlalu santai itu.
“Maksudmu opo, Yan?” tukas Centhini.
“Ya, asal-usul Bapak. Kita belum pernah ketemu simbah kakung dan putri yang selalu diceritakan Bapak sebagai buruh di gudang tembakau. Terus, coba Mbak hitung, berapa pengeluaran Bapak buat kita semua berangkat ke Singkawang besok. Berapa juta itu? Belasan? Puluhan?” ujar Dihyan.
Centhini terkekeh, kemudian mengikik, seperti kuntilanak. Untung cantik, kalau tidak Dihyan sudah berlari keluar kamarnya sendiri ketakutan.
“Apa sih isi otak kamu itu, Yan? Terlalu banyak pikiran, deh. Gini lho, aku bercanda tadi pas lagi makan. Kamu itu jelas anak Bapak dan Ibu. Miripnya juga kelihatan. Tingginya, hidung dan matanya, itu semua punya Bapak. Terus, bibirmu itu jelas mirip punya Ibu yang agak-agak kayak Arab gitu. Nah, kalau aku? Sampai sekarang aku nggak ngerti gimana wajah Ibu Bapakku yang asli. Baru besok kita berangkat ke sana. Jadi, aku maklum aja kalau Bapak nggak begitu gimana buat memperkenalkan kita ke orang tuanya, simbah kita. Kita nggak tahu apa yang terjadi di masa lalu Bapak. Ibu juga sama kan? Malah lebih misterius. Ibu itu keturunan Arab, India, atau malah Spanyol atau Italia? Hidungnya sama mancung kayak Bapak gitu.”
Centhini menepuk tempat tidur, tepat disampingnya, meminta Dihyan berbaring disana. Dihyan menuruti permintaan kakaknya itu.
“Yang penting sekarang, kita harus memutus rantai itu. Kita harus ingat baik-baik Bapak dan Ibu bagaimana. Nanti kamu ceritakan semua baik-baik sama anak-anak kamu,” lanjut Centhini.
Dihyan memiringkan kepalanya menatap sang kakak. “Mbak, serius, ya, kamu nggak bakal ninggalin aku.”
Centhini memiringkan tubuhnya, menopang kepalanya dengan lengannya, dan balas menatap Dihyan. Ia mencolek hidung mancung Dihyan dengan tangannya yang bebas. “Iya. Kan aku sudah bilang berkali-kali. Masak nggak percaya.”
“Susah percaya kamu, Mbak,” jawab Dihyan asal.
Centhini kembali terkekeh. “Kamu juga nggak bakal percaya aku to, kalau aku bilang kamu itu bagus sebenarnya. Ganteng banget. Lebih ganteng sedikit dari Bapak. Cuma kamunya aja nggak pede, selalu merasa lemah dan tidak beruntung. Terutama karena Bapak punya tampang bule, tapi faktanya dia pegawai negeri, medhok lagi kalau ngomong. Itu alasan yang nggak berdasar, yang membuat kamu nggak pernah bercermin.”
“Ashh … ngapusi, bohong kamu, Mbak. Cuma kata-kata motivasi ala Mario Teguh aja,” ujar Dihyan, sama sekali tak percaya dengan kata-kata Centhini.
“Yowis kalau nggak percaya. Aku juga nggak rugi. Dah, mau tidur. Aku tidur di kamarmu ya. Besok pagi bangunin buat siap-siap. Aku mau bantu Ibu ngurusin koper sama buat sarapan Bapak.”
“Eh, terus aku tidur dimana?”
“Kasurnya besar gini, kok.”
Centhini langsung menutup mata, tapi masih menghadap ke arah Dihyan.
“Aku risih, Mbak.”
“Memangnya aku peduli?” ujar Centhini ketus.
Dihyan menghela nafas panjang. Mana mampu ia melawan kakaknya itu. Dihyan memperhatikan kakaknya dengan perasaan yang campur aduk. Centhini memang sangat cantik, membuatnya kesal karena tidak memiliki pesona seperti kakaknya itu. Tapi di saat yang sama ia merasa bangga serta semakin sayang dengan Centhini.
Esok paginya, perasaan aneh itu masih berada di dalam kepala Dihyan.
“Karena aku adalah seorang pecundang,” ujar Dihyan selalu di depan cermin, menatap ke arahnya sendiri.
knp tak cerita ke Bapaknya wae yaak, Benyamin itu... mungkin lebih paham. awas Yan jngn mengartikan sendiri ntar salah arti lohhh