Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Sabtu kemarin menjadi hari yang cukup melelahkan bagi Siera, tetapi semua itu terbayar dengan kebahagiaan. Workshop yang diadakan di Craft & Chill Hub berlangsung dengan lancar dan sukses besar. Kegiatan merajut yang diiringi canda tawa membuat suasana terasa lebih santai dan menyenangkan.
Para peserta terlihat antusias sejak awal hingga akhir acara. Bahkan, beberapa di antaranya datang lebih awal untuk memastikan mereka mendapatkan tempat terbaik. Siera merasa senang melihat bagaimana semua orang, dari berbagai latar belakang, berkumpul dan saling berbagi cerita sambil merajut.
Di salah satu sudut ruangan, seorang peserta tampak serius menyelesaikan proyek rajutannya, sementara di sisi lain, tawa riuh terdengar saat kelompok kecil saling membantu mengurai benang yang kusut. "Ini seru banget, nggak nyangka bakal semenyenangkan ini!" ucap salah satu peserta yang sangat melekat diingatan Siera, membuatnya semakin yakin bahwa workshop kemarin meninggalkan kesan yang positif.
Ditengah lamunannya tentang kegiatan yang ia laksanakan kemarin, suara ketukan pintu mengagetkan Siera. Ia menoleh, mendapati Bunda Anin berdiri di ambang pintu dengan senyum khasnya.
“Ngelamun aja, cantik,” canda wanita paruh baya itu sambil melangkah masuk.
Siera terkekeh kecil. “Hehe, inget kegiatan kemarin aja, Bun. Bikin happy soalnya,” jawabnya sembari menyandarkan punggung di kursi.
“Hari ini makin happy, nih. Mana cantik banget anak bunda. Mau ketemu siapa sih di reuni nanti?” selidik Bunda Anin dengan nada menggoda, matanya memandang penuh rasa ingin tahu.
“Apasih, Bun. Nggak ada, yah. Mau ketemu temen-temen lama aja,” jawab Siera, mencoba terlihat biasa saja, meskipun rona merah mulai menghiasi pipinya.
“Tapi kok happy banget, gitu,” Bunda Anin terus menggoda, tak membiarkan ekspresi Siera lepas dari pengamatannya.
“Nggak kok, Bun.” Siera tertawa kecil sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menyembunyikan senyumannya yang semakin lebar.
Melihat tingkah putrinya, Bunda Anin ikut tertawa kecil. “Ya udah deh, bilang aja kalau nanti ketemu seseorang yang spesial, jangan lupa cerita ke Bunda, ya.”
“Bunda tuh, kebanyakan nonton drama, deh!” balas Siera dengan nada bercanda.
Namun, jauh di dalam hatinya, ia memang tak bisa menepis rasa antusiasnya terhadap reuni itu. Ada perasaan campur aduk yang terus menghantui. Harus bagaimana kalau nanti benar-benar bertemu? Apa yang harus ia katakan? Bagaimana jika suasananya canggung? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, seolah menuntut jawaban yang bahkan tak bisa ia temukan.
Siera menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. “Santai, ini cuma reuni biasa. Ketemu teman lama, ngobrol, selesai,” gumamnya dalam hati, seolah meyakinkan bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Namun, bayangan seseorang yang pernah menemani hari-harinya sejak kecil tak henti muncul dalam benaknya. Namanya tak berani ia sebut, tetapi kenangan itu tetap kuat, meski waktu telah berlalu. Ia bertanya-tanya, apakah orang itu masih mengingatnya? Ataukah semuanya hanya tinggal sejarah yang tak lagi penting?
“Eh, ngapain bengong lagi?” suara Bunda Anin tiba-tiba membuyarkan lamunannya.
“Enggak, Bun, cuma lagi mikir aja,” jawab Siera sambil memaksakan senyum.
“Ya udah, jangan kelamaan mikir. Mending siap-siap sekarang. Jangan lupa pakai parfum kesukaanmu itu, biar makin percaya diri,” ujar Bunda Anin sambil mengedipkan mata.
Siera hanya tertawa kecil. Dalam hati, ia berharap semoga reuni ini berjalan baik, tanpa drama, tanpa beban, meski ada sedikit harapan tak terucap bahwa mungkin saja pertemuan itu akan membawa cerita baru atau mengingatkan kenangan pahit.
Tak lama kemudian, suara klakson mobil terdengar dari depan rumah. Siera langsung tahu, itu pasti Cindy. Mereka memang sudah berjanji untuk berangkat bersama ke reuni hari ini.
“Tuh, kayaknya Cindy udah datang jemput kamu, Sayang,” ujar Bunda Anin sambil melirik ke arah pintu.
“Siera juga udah siap kok, Bun,” jawab Siera sembari bangkit dari tempat duduknya. Ia merapikan gaun yang dikenakannya sebelum berjalan keluar kamar bersama sang bunda.
Saat keluar rumah, Siera melihat mobil Cindy sudah terparkir rapi di depan gerbang. Tanpa banyak basa-basi, ia melangkah ke mobil dan membuka pintunya.
“Welcome, Beautiful!” sambut Cindy dengan gaya ceria seperti biasanya, nada suaranya penuh canda.
Siera hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. “Yuk, berangkat sekarang.”
“Buru-buru amat sih? Udah nggak sabar banget pengen ketemu, ya?” ledek Cindy, matanya melirik Siera dengan pandangan usil.
“Apasih, Cin. Biar nggak telat aja,” tangkis Siera, meski rona merah di wajahnya tidak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.
Melihat itu, Cindy malah semakin usil. Ia membulatkan mulutnya dengan ekspresi yang dibuat-buat seolah tidak percaya. “Ohh, yaudah deh, cusss!” serunya sambil menginjak pedal gas.
Sepanjang perjalanan, Cindy terus menggoda Siera, sementara Siera hanya bisa menanggapi dengan senyum dan sesekali balasan singkat. Meski terkadang menyebalkan, Siera bersyukur memiliki sahabat seperti Cindy yang selalu tahu cara membuat suasana lebih ringan.
Saat tiba di tempat reuni yang telah disepakati, Siera tanpa sadar melirik ke segala arah, seolah mencari seseorang. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sosok yang selama ini menghilang tiba-tiba dari hidupnya.
Cindy, yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya, langsung mengangkat alis dan tersenyum penuh arti. “Nggak usah dicari gitu, nanti juga muncul sendiri,” ucapnya, nada suaranya menggoda seperti biasa.
“Apasih, Cin. Nggak ada yang nyari siapa-siapa,” balas Siera cepat, meski nada suaranya sedikit gemetar.
Cindy menyandarkan punggungnya ke kursi dengan ekspresi puas. “Denial aja terus,” ujarnya sambil menyeringai.
Siera menghela napas, mencoba mengalihkan topik. Ia tahu Cindy tidak akan berhenti menggoda, tapi ia juga tidak mau mengaku kalau hatinya memang sedang gelisah. Kehadirannya di reuni ini bukan hanya untuk bertemu teman-teman lama, tapi juga untuk mencari jawaban atas sesuatu yang belum selesai, atau lebih tepatnya, untuk seseorang yang meninggalkan tanda tanya besar di hatinya.
Seketika suasana di ruangan itu berubah ketika seseorang memasuki tempat reuni. Semua mata tertuju padanya. Siapa lagi kalau bukan Arkana Ravindra Wiratama. Sosok pria tampan yang dulu selalu menjadi pusat perhatian dan, ternyata, masih mempertahankan pesonanya hingga kini.
Tak banyak yang berubah dari Arka. Sosoknya yang mampu mencuri perhatian tanpa harus berusaha keras. Wajahnya tampak tegas dengan rahang yang kokoh, dihiasi kulit yang bersih dan terawat, mempertegas aura maskulin yang ia miliki. Alisnya tebal dan simetris, melindungi sepasang mata tajam berwarna cokelat gelap yang seolah mampu menembus pikiran orang lain hanya dengan tatapan singkat. Di bawah hidung mancungnya, senyuman tipis yang sering ia tunjukkan memiliki daya tarik tersendiri, tenang, dan penuh keyakinan. Namun, ada sesuatu yang berbeda, pembawaannya kini terasa semakin dewasa dan berkarisma, seperti seseorang yang tahu persis bagaimana memegang kendali dalam setiap situasi.
Bisik-bisik kecil mulai terdengar di antara para tamu reuni. Beberapa teman lama berbisik kagum, mengomentari betapa pria itu semakin memukau seiring berjalannya waktu. Namun, bagi Siera, kemunculan Arkana seperti membawa angin yang berhembus tiba-tiba, menyapu semua ketenangan yang sempat ia coba bangun sepanjang perjalanan tadi.
Ia hanya bisa diam di tempat, matanya terpaku pada sosok Arkana yang dengan santai melangkah memasuki ruangan. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi semuanya tertahan di tenggorokan. Kenapa baru muncul sekarang? pikirnya.
Tiba-tiba, Arkana yang sedang berbicara dengan beberapa teman lama menoleh ke arah Siera. Mereka bertatapan langsung, saat itu, dunia seolah berhenti sejenak. Pandangan mata mereka saling bertemu dan segala sesuatu di sekitarnya menjadi kabur. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya keheningan yang menyelimuti mereka, namun ada begitu banyak yang tak terkatakan dalam tatapan itu.