Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Virus Merah Jambu
Sahabat. Apa yang ada dalam benak saat mendengar kata itu?
Orang-orang yang berteman sejak lama dan saling mengerti satu sama lain? atau orang yang selalu bersama mau itu saat suka atau pun duka? Atau bisa saja orang yang peduli tanpa melihat perbedaan yang ada di antara mereka?
Semua itu benar sih, tapi …
Ada kalanya hal itu tidak menjamin bahwa jalinan persahabatan itu akan mulus tanpa persinggungan.
Kimber memandang dari jauh upaya yang dilakukan oleh Levin ketika dia mendekati Dizza yang saat itu sedang berdiri di dekat pintu perpustakaan. Entah apa yang sedang terjadi, tetapi Kimber memilih untuk menjadi pengamat alih-alih ikut berperan dalam adegan. Dia menyaksikan bagaimana kedua orang itu berinteraksi, segalanya tampak begitu dinamis dan ya jauh dilubuk hati Kimber merasakan adanya sedikit rasa iri lantaran sebanyak apapun dia berusaha, dia tidak akan bisa meng-copy apa yang dia lihat menjadi sesuatu yang betul-betul terjadi antara dia dan Levin. Sebab Kimber dan Dizza adalah dua orang dengan karakter yang berbeda.
Dia tahu, mungkin akan sedikit beresiko karena dia memilih menguntit mereka seperti pengecut saat ini. Tetapi baginya, ada hal yang lebih memenuhi isi kepala dan hal itu jauh membuatnya tertarik dibandingkan ikut berpartisipasi dalam konversasi yang terjadi diantara kedua sahabatnya. Ya, hubungan diantara Dizza dan Levin.
Sejak dia tahu bahwa Levin menyatakan cinta pada gadis itu, sejak itu pula Kimber merasakan adanya jarak diantara mereka bertiga.
Boleh dikata mereka saat ini sedang tidak begitu baik. Padahal, Kimber tidak ikut campur dalam masalah mereka berdua dan membiarkan keduanya membereskan masalah sendiri. Dia tetap berhubungan baik dengan Dizza maupun Levin. Tetapi saat Kimber berusaha untuk menyatukan mereka maka yang terjadi seperti minyak dan air. Kimber sendiri tak mampu membuat perubahan besar dalam hubungan mereka. Dia tidak bisa mengembalikan apa yang telah retak menjadi seperti semula.
Entahlah … saat ini dia merasa begitu gamang akan perubahan yang terjadi diantara persahabatan mereka. Entah Edzhar menyadarinya atau tidak, tapi untuk Kimber sendiri situasinya jadi sulit.
Ketika Levin menghilang masuk ke dalam perpustakaan Kimber memposisikan dirinya dengan natural seolah dirinya tidak melihat apa-apa. Dia kemudian ikut bergerak ke tempat dimana mereka seharusnya berkumpul dan menanti disana.
Tak lama dia melihat Levin mendekat. Dari gesture-nya sepertinya telah terjadi sesuatu, dan Kimber berusaha untuk terlihat sangat normal dengan hal itu.
“Sudah?” tanya Kimber ketika Levin kembali dengan sebuah buku ditangan. Tampaknya pria itu benar-benar all out. Dia bahkan sampai perlu membawa sesuatu yang tidak diperlukan, bahkan sangat tidak sesuai dengan Levin sendiri. Ya, dia bukan seseorang yang cukup ambisius untuk membawa buku kesana kemari. Dia bahkan membuat alasan sepayah ini hanya untuk berinteraksi dengan Dizza lagi.
“Sudah,” kata Levin kemudian. Raut mukanya agak berbeda dengan badannya yang sedikit merosot membuat tinggi badan pria itu jadi setara dengan Kimber.
“Buku yang bagus,” kata Kimber berpura-pura tidak tahu apapun.
“Aku memilihnya secara random,” sahut pemuda itu yang dibalas dengan hela napas oleh Kimber. Tetapi sebelum gadis itu sempat membuat balasan lagi, Levin tiba-tiba saja kembali menatap dia. “Tetapi kalau kau bilang bagus, kurasa aku akan coba membacanya.” Satu ulas senyum nampak di wajah pria itu.
Sayangnya bagi Kimber senyum itu sangatlah kompleks. Disisi lain dia memang bahagia, tetapi di sisi lain pula Kimber tak tega lantaran jauh di kedua kelopak mata lelaki itu terdapat banyak sekali luka yang tidak bisa terdefinisi dan barangkali tidak akan pernah Kimber ketahui.
“Langkah yang bagus, Levin,” kata Kimber yang entah bagaimana salah satu telapak tangannya berhasil mengelus puncak kepala pria itu, dan Levin tampak membiarkannya saja. Malah lelaki itu menutup kedua mata seolah menikmati sentuhan Kimber.
“Terima kasih,” katanya lalu kembali menegakan tubuh. “Jadi itu berarti fix hanya kita berdua saja, nih?”
“Ya iya, Dizza dan Edzhar tidak akan ikut bersama kita sekarang,” timpal Kimber.
Sebenarnya itu bagus untuk Kimber karena dia punya waktu bersama dengan Levin. Tetapi sayangnya, Kimber juga tahu bahwa meski raga pria itu bersamanya, isi kepala Levin tetap saja terpaku pada satu orang yang sama. Ya, orang yang saat ini tidak sedang bersama mereka.
***
Mereka kini telah duduk di sebuah toko kue dan masing-masing memesan kue yang disukai berikut pula dengan minumnya. Tadinya Kimber tidak mau mengungkit apapun, tetapi melihat gelagat Levin dia jadi terpacu untuk melakukan sesuatu yang tidak seperti biasanya dia akan lakukan.
“Kau dan Dizza, tidak berjalan dengan baik ya?” tanya gadis itu.
Levin menoleh, matanya agak membulat—mungkin terkejut, karena Kimber diam-diam seperti sudah mengetahui sesuatu terlepas dari insiden penembakannya terhadap Dizza waktu itu. Karena Kimber adalah orang kedua yang cukup dekat dengannya, Levin tidak bisa berbohong dan dia menganggukan kepala. Kemudian pria itu mengalihkan tatapannya ke arah jendel.
“Haha …,” tawa Levin terdengar memaksa dan begitu kering. “Bagaimana kau bisa tahu itu?”
Kimber hanya tersenyum simpul. “Tatapanmu pada Dizza yang memberitahuku.”
Jawaban itu sebenarnya sederhana tetapi cukup mengenai hati sang pemuda. Dia tidak bisa membantah apa yang dikatakan oleh gadis yang duduk di hadapannya sekarang. Dia tahu bahwa masalahnya bisa dapat dengan mudah terbaca oleh gadis itu. Jadi tidak ada gunanya menutupi.
“Ya, ternyata sulit untuk bisa kembali seperti dulu setelah aku melakukan hal impulsive padanya waktu itu,” ungkap Levin jujur. “Aku merasa sekarang dia menganggapku seperti orang lain, bukan sahabatnya lagi. Aku tidak tahu harus bagaimana karena dia terkesan jadi menjaga jarak denganku dan itu tidak membuatku nyaman. Kau paham maksudku kan?”
Kimber menghela napas, pandangannya sedikit mengarah ke luar jendela juga.
“Kurasa ini tempat yang pas bagi kita untuk membicarakan hal itu.”
Pemuda itu kemudian menatap Kimber lagi. “Apa dia juga bersikap berbeda padamu?”
Kimber menganggukan kepala. “Tapi aku percaya kalau orang tidak mungkin berubah tanpa alasan, pastilah ada yang membuatnya seperti itu. Aku berharap kita bisa kembali bersama-sama seperti dulu,” tutur Kimber lagi.
Sejatinya itu adalah sebuah permohonan dengan ketulusan. Persahabatan mereka yang dulu murni jauh lebih menyenangkan ketimbang suasana mereka yang kini jadi terpecah belah begini.
Levin kini tidak bisa berkutik, diam-diam dia jadi teringat dengan kata-kata yang diucapkan oleh Dizza saat dia menembak gadis itu. Dia mengingatnya karena itu menyebalkan, lantaran tiba-tiba saja dia menyebut nama Kimber padahal saat itu Levin jelas-jelas sedang menyatakan cintanya pada Dizza. Tetapi terlepas dari itu semua, Kimber tampaknya jauh lebih memahami situasi ketimbang Levin sendiri.
“Aku sudah bicara dengannya tadi, itu alasannya mengapa aku membawa buku,” ungkap Levin yang tiba-tiba saja mengakui apa yang dia perbuat. Kimber memperhatikan dengan segera.
“Apa katanya?”
“Kami berdebat.”
Kimber tidak merespon, dia melihat sendiri memang dan yang terjadi memang seperti itu.
“Tapi setidaknya dia mau bicara denganku,” tambah Levin sambil menyunggingkan senyum.
“Good job,” kata Kimber kemudian. Sebuah senyum terukir pula di wajah manis gadis itu.
“Itu berkatmu, karena kau selalu disisiku saat aku terpuruk.”
Kimber menggeleng. “Aku tidak melakukan apapun untukmu.”
“Haha, kau kan selalu seperti itu. Kau ini memang terlalu baik, Kimber.”
Rona merah segera muncul di wajah Kimber. Ini memang bukan kali pertama dia mendengar pujian dari Levin. Hany saja ada memang saat-saat dimana pemuda itu mengatakannya di waktu yang tepat. Ah … dasar virus merah jambu.
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱