Seorang gadis cantik, jenius dan berbakat yang bernama Kara Danvers bekerja sebagai agen ganda harus mati di karena dikhianati oleh rekannya.
Namun, alih-alih ke alam baka. Kara malah bertransmigrasi ke tubuh bocah perempuan cantik dan imut berusia 3 tahun, dimana keluarga bocah itu sedang di landa kehancuran karena kedatangan orang ketiga bersama dengan putrinya.
"Aku bertransmigrasi ke raga bocil?" Kara Danvers terkejut bukan main.
"Wah! Ada pelakor nih! Sepertinya bagus di beri pelajaran!" ucap Kara Danvers menyeringai dalam tubuh bocah cilik itu.
Apa yang yang akan dilakukan sang agen ganda saat di tubuh gadis cilik itu dan menggemaskan itu. Yuk mari baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semakin Renggang
Malam harinya, kini keluarga Mahardika sedang makan malam. Terlihat wajah Lunaira dan Amara kelihatan sangat masam.
Tentu pertengkaran tadi siang, masih membuat ibu dan anak itu geram. Apalagi melihat wajah Vara yang nampak polos dan Selvira yang terlihat biasa saja.
"Bagaimana dengan keadaan Santi?" tanya Arvin mencoba berbicara pada Selvira istri pertamanya.
Selvira menatap datar suaminya. "Harusnya, Mas tanyakan itu pada Mbak Amara! Santi adalah pengasuh Lunaira! Bukan pengasuh Vara!" sahutnya datar.
Arvin mengangguk, dia sedikit tidak terbiasa dengan sikap istrinya. Dulu, apapun kelakuannya, Selvira tetap sabar.
Bahkan saat kedapatan selingkuh, Selvira mencoba tetap bersabar dan bersedia menerima Amara sebagai madunya.
Dia akui, cinta Selvira memang sangat besar kepadanya. Namun, pertanyaannya, apa cinta itu masih ada, pikir Arvin.
Terlihat bi Asih menuangkan air putih pada gelas Vara. "Telima kacih Bi!" ucap Vala.
"Sama-sama Non!" sahut Bi Asih lembut pada majikan kecilnya.
"Mas—"
"Bi Asih! Bagaimana keadaan Santi? Apa dia benar-benar sudah keluar dari rumah sakit?" tanya Arvin memotong perkataan Amara.
Terlihat wajah Amara memerah karena diabaikan oleh Arvin, baru pertama kalinya Arvin melakukan hal ini.
"Santi sudah keluar Tuan! Dia meminta berhenti karena kakinya yang lumpuh," jawab bi Asih.
Arvin mengangguk. "Berikan dia pesangon!" sahutnya.
"Baik Tuan!"
Vara menatap orang-orang dewasa itu, terlihat matanya sangat serius.
Sepertinya nih kunti bogel sama buaya kadal empang habis berantem! batin Vara.
Bodoh amatlah! Mau mereka berantem, mau jungkir balik kek ataupun mereka pengen terbang. Terserah, pokoknya misi ku sekarang adalah memisahkan mama Selvira dengan buaya Empang ini! kata Vara dalam hati.
Teringat mimpi Vara semalam, dia bertemu dengan Vara asli. Gadis kecil itu sudah tidak bisa kembali ke tubuhnya.
Vara asli sudah nyaman di tempatnya sekarang. Namun, sebelum Vara asli pergi, dia menitipkan pesan agar menjaga ibunya dari bahaya dan juga membahagiakan sang ibu.
"Vara sayang!"
Vara tersentak kecil saat Selvira memanggilnya, bocah perempuan itu menatap polos Selvira.
"Ada apa Mama?" tanya Vara.
"Kenapa Vara belum habiskan makanannya? Ayo sayang habiskan, nanti makanannya nangis loh, kalau gak dihabiskan sama Vara!" ucap Selvira lembut.
"Baik Mama!"
Vara mulai nyaman dengan Selvira, dia merasakan memiliki ibu. Apalagi sikap lembut Selvira membuat Vara semakin menyayangi sang ibu.
Aku berjanji! Aku akan menjaga mama sesuai keinginan Vara! batin Vara .
Arvin tersenyum menatap putrinya yang makannya lahap, memang semenjak bangun dari koma sikap Vara berubah. Dia tidak lagi manja dan pendiam. Vara sekarang sangat ceria pikir Arvin.
"Vara sayang —"
"Mama! Vala cudah celecai makan!" Vara memotong perkataan Arvin.
"Ya, sudah. Ayo kita ke kamar!" Selvira yang sudah selesai makan, langsung menggandeng tangan sang putri.
Keduanya meninggalkan meja makan, tanpa menyapa Arvin. Pria berusia 29 tahun itu menghela napasnya, istri dan putrinya kompak mengabaikan dirinya.
"Mas! Bagaimana dengan pesta ulang tahun Lunaira?" tanya Amara.
Arvin bangkit dari duduknya. "Lakukan sendiri!" ujarnya datar.
Tangan Amara mengepal kuat, belum pernah Arvin bersikap dingin seperti itu.
Awas kau Selvira! Akan ku buat kau terusir dari rumah ini! Akulah satu-satunya yang akan menjadi nyonya di mansion Mahardika! batin Amara bertekad dengan penuh kebencian.
Di dalam kamar bercorak putih, Selvira terlihat mengelus kepala sang putri membuat Vara terlihat sangat nyaman.
"Mama! Boleh Vala bicala celius?!" tanya Vara dengan mata bulatnya yang indah. Namun, serius.
Selvira mengerutkan dahinya, kemudian tersenyum lembut. "Memangnya Vara ingin mengatakan apa sayang?" tanya wanita itu terlihat santai.
"Ayo kita pelgi dali lumah ini!"
Deg!
Tubuh Selvira membeku sejenak, kemudian kembali rileks. Wanita itu menatap sang putri yang juga menatapnya.
"Apa maksud Vara? Hmm ... bukankah ini rumah kita?!" ujar Selvira tersenyum.
Vara menggeleng. "Ini bukan lumah kita! Dicini, Mama hanya menangis cetiap malam! Bukan cebuah lumah, jika kita tidak mendapatkan kebahagiaan di dalamnya. Jadi, lebih baik kita pelgi dan kembali ke lumah opa dan oma!"
Selvira tertegun, dia tak bisa berkata-kata saat putrinya mengatakan hal-hal yang hanya dimengerti oleh orang dewasa.
Apa yang dia lewatkan? Hingga, sang putri berubah dewasa sebelum waktunya dan ternyata putrinya mengetahui jika dia, setiap malam menangis dalam diam.
"Sayang! Siapa yang mengajari Vara mengatakan hal itu? Vara tidak perlu memikirkan masalah orang dewasa sayang, biar Mama yang menyelesaikannya!" sahut Selvira lembut.
Ck, aku sudah dewasa tahu! Meski mama lebih tua dari umurku dulu! gerutu Vara dalam hati.
Vara menggeleng tegas. "Tidak! Mama halus beljanji dulu cama Vala. Kita akan pelgi, dan Mama belcelai dengan Papa!" balas Vara.
Selvira menatap dalam sang putri. "Apa Vara tidak menyayangi papa?" tanyanya.
"Vala hanya menyayangi olang yang patut dicayangi. Olang sepelti papa, tidak patut dicayangi! Dia aja tega melukai pelacaan Mama cama Vala," jawab Vara serius.
Selvira tidak bisa lagi berkata apa-apa, anaknya sangat cerdas. Dia bisa mengamati dan tahu, permasalahan orang dewasa.
"Baiklah! Mama janji, kita akan ke rumah opa dan oma!" sahut Selvira. "Sekarang Vara tidur ya!" sambung Selvira.
Vara tersenyum manis. "Baik Mama!"
Selvira menarik selimut untuk sang putri, lalu mengusap kepala Vara sampai tertidur. Merasa Vara sudah tidur. Selvira beranjak dari ranjang milik sang putri.
Cup!
"Selamat tidur sayang!" ucap Selvira lembut.
Wanita berusia 27 tahun itu melangkah ke arah luar, saat membuka pintu terlihat Arvin yang menunggunya.
Selvira melewati Arvin begitu saja, tetapi Arvin langsung menarik lengan istrinya. Membuat keduanya saling bertatapan.
"Lepaskan Mas! Aku mau istirahat!" ucap Selvira datar.
"Selvira! Ada denganmu, kau sudah sangat berubah!" ucap Arvin tanpa merasa bersalah.
Selvira terkekeh. "Seharusnya kau tanyakan pada dirimu sendiri! Apa yang membuat aku berubah, Mas!" balasnya sinis membuat Arvin tertegun.
"Lepas!" Selvira memberontak, tapi cengkraman Arvin juga kuat.
"Apa kau sudah tidak mencintaiku?!" tanya Arvin.
Selvira menatap tajam suaminya. "Ya, aku sudah tidak mencintaimu Mas!" jawabnya.
Mata Arvin terlihat terkejut, dia menggeleng tidak terima. "Tidak! Kau harus terus mencintaiku Vira!" ucap Arvin.
Wajah Selvira tidak berubah sama sekali. "Tapi cintaku sudah mati, Mas! Aku sudah berada di titik lelah!" ucapnya.
Rahang Arvin mengeras, dia tidak terima ucapan sang istri. "Tidak! Kau harus terus mencintaiku! Ayo kita ke kamar! Akan ku buat kau terus di sisiku, dengan memberimu anak lagi! Vara pasti suka punya adik!"
Arvin menarik tangan sang istri sah, untuk ke kamar. Memang semenjak menikah dengan Amara. Keduanya tidak pernah lagi melakukan hubungan layaknya suami istri.
Alasannya karena Selvira belum siap, dan Arvin memaklumi. Terlebih, Arvin selalu diberikan kepuasan oleh Amara.
"Lepas Mas! Jika Mas ingin, lebih baik Mas ke kamar Mbak Amara! Dia pas senang memiliki anak dari Mas!" tolak Selvira.
"Tidak! Kau istriku juga. Jadi layani aku malam ini!" ucap Arvin seperti orang kehilangan akal.
"Aku gak mau Mas! Lepas!" Selvira terus memberontak. Namun apa daya, tenaganya kalah dengan Arvin.
"Mas! Aku mohon, lepaskan aku!" mohon Selvira yang sudah menangis.
Tapi sepertinya Alvin tidak mendengarkan ucapan sang istri, dia terus menyeret sang istri ke kamarnya.
Arvin sepertinya kalap, karena mendengar ucapan Selvira tadi. Membuat pria itu nekat melakukan hal ini.
Arvin mendorong Selvira ke ranjang sebelah yang kosong dengan kasar, membuat Selvira ketakutan. Baru kali ini dia melihat Arvin seperti ini.
"Mas! Aku mohon!" ucap Selvira menangis tergugu.
Namun, belum juga dia melakukan aksinya. Tiba-tiba sebuah pukulan melayang, ke pusaka miliknya.
Bugh!
"Aaarrgghh!"
Arvin mengerang kesakitan, tak lama dirinya pingsan karena tengkuknya kembali di pukul.
Selvira tercengang, lalu matanya menatap sang putri yang berubah jadi dingin. Di tangannya ada tongkat bisbol.
"Lacain kamu!" ucap Vara.