Debi menuruni jalan setapak yang menuju rumahnya dengan langkah cepat. Matahari mulai tenggelam, memberi warna keemasan di langit dan menyinari tubuhnya yang lelah setelah perjalanan panjang dari Sarolangun. Hawa desa yang sejuk dan tenang membuatnya merasa sedikit lebih ringan, meskipun hatinya terasa berat. Liburan semester ini adalah kesempatan pertama baginya untuk pulang, dan meskipun ia merindukan rumah, ada rasa yang tidak bisa ia jelaskan setiap kali memikirkan Ovil.
Debi sudah cukup lama tinggal di Sarolangun, bersekolah di sana sejak awal tahun ajaran baru. Sekolah di kota jauh berbeda dengan kehidupan di desa yang sudah dikenalnya. Di desa, segalanya terasa lebih sederhana. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan kota, ia merasa bahwa dirinya sudah mulai terbiasa dengan keramaian dan rutinitas yang cepat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Debi Andriansah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
percakapan yang menentukan
Hari itu, udara terasa lebih panas dari biasanya. Debi mempersiapkan dirinya dengan hati yang berdebar. Ia tahu, pertemuannya dengan Fauzan nanti bukanlah pertemuan biasa. Ini adalah momen yang menentukan, di mana ia harus jujur pada perasaannya dan menghadapi kenyataan.
Fauzan, atau yang sering dipanggil Kapit, adalah sahabat yang sangat berarti dalam hidup Debi. Mereka telah melewati banyak hal bersama, tertawa, menangis, dan selalu ada untuk satu sama lain. Namun, perasaan yang mulai tumbuh di hati Debi membuat segalanya menjadi lebih rumit. Ia merasa terjebak di antara dua perasaan yang berbeda—antara kesetiaan pada persahabatan dan perasaan cintanya pada Ovil.
Debi mengirim pesan kepada Fauzan, memintanya untuk bertemu di kedai kopi yang biasa mereka kunjungi. Setelah beberapa menit, Fauzan membalas pesan itu dengan cepat, mengonfirmasi bahwa ia akan menunggu.
Begitu tiba di kedai kopi, Debi melihat Fauzan duduk di meja dekat jendela, dengan wajah yang terlihat sedikit khawatir. Fauzan selalu tampak ceria, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Mungkin ia sudah merasakan bahwa ada yang berubah dalam sikap Debi.
Debi mendekat dan duduk di hadapan Fauzan. Mereka saling tersenyum, meskipun senyuman itu terasa tegang.
"Ada apa, Deb? Kamu kelihatan berbeda," ujar Fauzan sambil menyodorkan secangkir kopi pada Debi.
Debi menghela napas panjang. "Kapit, aku perlu bicara serius sama kamu."
Fauzan mengangkat alisnya. "Tentang apa? Kenapa serius banget? Kamu gak biasanya kayak gini."
Debi menggigit bibir, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Ia tahu bahwa ini bukanlah percakapan yang mudah, tapi ia harus melakukannya. "Kapit, aku… aku nggak tahu gimana caranya ngomongnya. Tapi aku merasa kamu harus tahu tentang perasaanku."
Fauzan menatapnya dengan cemas. "Apa maksud kamu, Deb? Kamu bisa cerita, kok."
Debi merasa hatinya semakin berat. Ia merasa bersalah, takut jika kata-katanya akan menyakiti Fauzan. Namun, ia tahu bahwa kebohongan hanya akan membuat semuanya semakin rumit.
"Aku mulai merasa ada perasaan lain selain persahabatan kita, Kapit," ujar Debi dengan suara pelan, "Aku… aku mulai menyukai Ovil. Aku nggak tahu kenapa, tapi perasaan itu tumbuh begitu saja, dan aku nggak bisa mengabaikannya."
Fauzan terdiam, menatap Debi dengan wajah kosong. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, hanya pandangan yang sulit dibaca. Debi bisa melihat betapa kecewanya Fauzan, namun ia juga bisa merasakan bahwa Fauzan berusaha untuk tetap tenang.
"Aku tahu, ini berat. Aku nggak bisa memilih antara kamu dan Ovil, Kapit. Kamu sahabat terbaik yang pernah aku punya, dan aku nggak mau kehilangan kamu. Tapi aku juga nggak bisa mengabaikan perasaan yang ada di hatiku untuk Ovil," lanjut Debi dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Fauzan menghela napas panjang, lalu meletakkan gelas kopi di atas meja. "Debi, aku ngerti. Aku nggak bisa maksa kamu untuk merasa seperti apa yang aku rasakan. Kalau kamu merasa gitu, aku nggak bisa menahanmu. Tapi aku harus bilang, aku juga punya perasaan lebih dari sekedar sahabat terhadap kamu."
Debi terkejut. Ia tidak menyangka Fauzan juga menyimpan perasaan yang lebih. Selama ini, ia selalu merasa bahwa persahabatan mereka adalah segalanya, dan tidak pernah memikirkan bahwa Fauzan bisa merasakan hal yang sama.
"Fauzan…" Debi terdiam, mencoba mencerna kata-kata Fauzan. "Aku nggak tahu kalau kamu juga merasa seperti itu. Aku benar-benar nggak tahu. Aku merasa bodoh sekarang."
Fauzan tersenyum tipis. "Kamu nggak bodoh, Debi. Cinta itu nggak selalu bisa dijelaskan dengan mudah, dan aku ngerti kalau kamu sedang bingung. Aku akan menerima apapun keputusanmu, meskipun itu berat. Aku ingin kamu bahagia, bahkan kalau itu artinya aku harus mundur."
Air mata mulai menggenang di mata Debi. Ia tahu betapa besar pengorbanan yang Fauzan lakukan. Ia merasa sangat tersentuh oleh kata-kata dan sikap dewasa Fauzan. "Kapit, aku… aku nggak tahu harus gimana. Aku nggak mau kehilangan kamu. Kamu sahabat yang sangat berarti buat aku."
Fauzan mengangguk, walaupun hatinya jelas terasa sakit. "Aku juga nggak mau kehilangan kamu, Deb. Tapi aku tahu, hidup kita nggak bisa terus seperti ini. Kamu harus mengikuti perasaanmu, dan aku akan selalu ada sebagai sahabatmu. Walau apapun yang terjadi."
Debi menundukkan kepala, merasa sangat bersalah. Ia tahu bahwa memilih Ovil bukan berarti mengabaikan Fauzan, namun perasaan cinta yang tumbuh di hatinya memang kuat dan tidak bisa ditahan lagi.
"Aku janji, Kapit. Aku nggak akan pernah lupa persahabatan kita. Kamu akan selalu jadi sahabat terbaikku. Aku akan menghargai itu," ujar Debi dengan suara pelan, berusaha menahan tangis.
Fauzan tersenyum meskipun ada kesedihan di matanya. "Aku percaya kamu, Debi. Dan aku tahu, kamu akan bahagia. Aku doain yang terbaik buat kamu dan Ovil."
Debi merasa beban di hatinya sedikit berkurang, meskipun keputusan ini masih meninggalkan luka yang dalam. Ia tahu bahwa persahabatan mereka mungkin akan berubah, tetapi ia berharap waktu akan membantu mereka untuk menerima kenyataan.
Setelah percakapan itu, Debi merasa bahwa jalan hidupnya semakin jelas. Ia harus memilih untuk mengikuti hatinya dan memperjuangkan kebahagiaannya bersama Ovil. Namun, ia juga harus berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan selalu menghargai Fauzan dan persahabatan mereka.
Dengan langkah yang lebih mantap, Debi memutuskan untuk melangkah menuju masa depan bersama Ovil, meskipun ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Namun, dengan dukungan dan ketulusan hati, ia percaya semuanya akan berjalan dengan baik.
---
Bab ini menandai titik balik dalam perjalanan cinta Debi. Setelah berbicara jujur dengan Fauzan, ia merasa lebih yakin dengan pilihannya. Namun, perjalanan ini masih penuh tantangan, dan Debi harus terus berusaha menjaga keseimbangan antara cinta, persahabatan, dan pengorbanan.