Anggista Anggraini, yang lebih akrab di sapa dengan nama Gista, mencoba menghubungi sahabatnya Renata Setiawan untuk meminjam uang ketika rentenir datang ke rumahnya. Menagih hutang sang ayah sebesar 150 juta rupiah. Namun, ketika ia mengetahui sahabatnya sedang ada masalah rumah tangga, Gista mengurungkan niatnya. Ia terpaksa menemui sang atasan, Dirgantara Wijaya sebagai pilihan terakhirnya. Tidak ada pilihan lain. Gadis berusia 22 tahun itu pun terjebak dengan pria berstatus duda yang merupakan adik ipar dari sahabatnya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Terima Kasih, Pak Duda.
Gista merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Dirga menguasai diri gadis itu tanpa jeda dan ampun. Sang atasan baru berhenti, ketika ia hampir tak sadar diri.
Sungguh Gista tidak tau, se-tan apa yang merasuki pria itu. Seolah tanpa lelah menghujami tubuhnya.
“Bangun, Anggista.”
Samar-samar Gista mendengar suara pria itu. Ia juga merasakan sapuan lembut pada pipinya.
Dengan susah payah gadis itu membuka kelopak matanya. Pandangan yang masih samar itu menangkap sosok Dirga yang duduk di tepi ranjang, hanya dengan memakai jubah mandi saja. Dan sedang menatapnya dengan lembut.
Gadis itu melenguh pelan, hendak meregangkan otot tangannya. Namun ia ingat tidak menggunakan apapun di balik selimut itu.
Tetapi, tunggu.
Tangan Gista meraba badannya. Kemudian melihat kedalam selimut. Dahi gadis itu pun berkerut halus saat mendapati dirinya juga sudah memakai jubah mandi.
Kapan kiranya Dirga memakaikan kimono itu di tubuh Gista? Sudah pasti pria itu yang melakukannya, bukan? Karena seingat Gista, ia sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk turun dari atas ranjang.
“Sarapan dulu.” Ucap Dirga seraya bangkit dari tepi ranjang.
Gista menatap punggung lebar pria yang berjalan menuju balkon kamar.
“Ayo. Kemarilah, Anggista.” Panggil Dirga lagi. Ia kini sudah duduk di atas kursi dengan sebuah meja di hadapannya.
Gadis itu menghela nafas pelan. Ia kemudian turun dari atas ranjang, dan berjalan secara perlahan menuju balkon. Karena sesuatu yang tak biasa, terasa pada pangkal pahanya.
“Makan yang banyak.” Ucap Dirga sebari meletakan piring berisi telur dadar, dan daging asap di hadapan Gista.
“Terima kasih. Apa pak Dirga yang menyiapkan semua ini?” Tanya gadis itu mencoba bersikap santai.
“Hmm. Kamu pikir siapa?” Tanya pria itu sembari menyuap sepotong daging asap ke dalam mulutnya sendiri.
“Siapa tau pesan dari bawah?” Celetuk Gista.
“Ada banyak bahan makanan di dalam kulkas, untuk apa saya memesan dari bawah?” Pria itu berbalik melontarkan tanya.
Gista hanya mengangguk pelan. Ia pun menikmati sarapannya.
Perlakuan Dirga seperti ini, seolah-olah tidak ada ketegangan yang terjadi di antara mereka semalam.
Gista nampak berpikir, menimang. Haruskah ia menanyakan tentang sikap Dirga semalam padanya?
“Pak, apa saya boleh bertanya sesuatu?” Tanya gadis itu setelah selesai menikmati sarapan buatan sang atasan.
Dirga yang hendak menyalakan rokok, pun mengurungkan niatnya. Ia menyimpan kembali gulungan tembakau itu.
“Apa?”
“Kapan pak Dirga memakaikan saya jubah mandi?” Gadis itu menanyakan hal lain.
Ia sadar diri, hubungan yang mereka jalani hanya sebatas saling menguntungkan. Tidak seharusnya Gista berharap lebih. Apalagi, mengira jika Dirga cemburu padanya ketika melihat ia dekat dengan Bobby.
“Saya bahkan sempat membersihkan tubuh kamu.” Ucap pria itu.
Gista sungguh tidak percaya, karena ia tidak merasa tubuhnya di guyur air.
\~\~\~
Selesai membersihkan diri, Gista pun bergegas keluar kamar untuk membersihkan apartemen. Gadis itu tidak lupa akan tugasnya, meski ia berstatus simpanan Dirga.
“Pak Dirga.” Gumam Gista saat melihat pria itu duduk di atas sofa ruang tamu sembari memangku laptop.
“Tolong buatkan saya kopi, Anggista.” Ucap Dirga tanpa menoleh ke arah gadis itu.
Gista tak menjawab. Namun ia menurut patuh, pergi ke dapur untuk membuatkan pria itu secangkir kopi.
“Silahkan, pak.” Ucap Gista sembari meletakkan secangkir kopi di atas meja.
“Hmm.” Jawab Dirga singkat.
“Apa bapak tidak pergi ke kantor?” Gista memberanikan diri untuk bertanya.
Sebab sudah pukul sepuluh pagi. Pria itu masih berada di apartemen dengan memakai setelan kaos putih dan celana pendek.
“Ini hari minggu, Anggista.” Ucap pria itu.
Gista mengatupkan bibirnya. Bagaimana bisa ia lupa dengan hari?
“Kalau begitu, saya ijin mau membersihkan kamar anda, pak.” Ucap gadis itu perlahan melangkah menuju gudang hendak mengambil alat kebersihan.
“Tunggu, Anggista.” Suara Dirga menginterupsi.
Gista pun menoleh, dan Dirga juga menatapnya.
Pria itu kemudian meletakkan laptopnya di atas meja. “Kemarilah.”
Dahi Gista berkerut halus. Dengan ragu, ia mendekat ke pada pria itu.
“Duduk dulu, Anggista. Kenapa kamu bersikap canggung seperti itu? Seolah kita tidak pernah berbagi peluh bersama.” Dirga menarik tangan gadis itu, hingga Gista terjatuh di atas pangkuannya.
Mendengar ucapan Dirga membuat pipi gadis itu memanas.
“Saya bisa duduk di atas sofa, pak.” Dengan cepat Gista berpindah tempat. Duduk di samping pria itu.
Dirga pun terkekeh pelan. Kemudian mengambil sesuatu dari dalam dompetnya.
“Ini untuk kamu.” Ia menyodorkan sebuah kartu ATM berwarna hitam pada Gista.
“I-ini untuk apa, pak?” Gista tidak berani menebak. Meski ia yakin kartu itu untuk dirinya.
“Untuk uang jajan kamu.” Ucap Dirga dengan santai. Pria itu kemudian menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa.
“U-uang jajan?” Dengan tangan yang sedikit bergetar, Gista menerima kartu itu.
Ada nama Dirga terukir di bawah nomor kartu ATM itu. Gista yakin, isi di dalam benda pipih kecil itu, pasti sangat banyak.
“Tapi ini terlalu berlebihan. Bukannya pak Dirga bisa mentransfer seperti kemarin?” Gista menyodorkan kembali kartu itu pada Dirga.
“Saya ini orang sibuk, Anggista. Apalagi kak Rich cuti untuk bulan madu. Saya tidak akan sempat mentransfer uang pada kamu.” Ucap Dirga. Ia tidak mau menerima kartu itu lagi.
“Lalu? Apa yang pak Dirga gunakan, jika ini di berikan pada saya?” Tanya Gista dengan polos.
Dirga terkekeh kemudian menyentil dahi gadis itu.
“Kamu pikir saya hanya punya satu? Bukannya, kamu sendiri yang mengatakan, jika saya ini salah satu ahli waris keluarga Wijaya. Sudah pasti saya punya lebih dari satu.” Ucap Dirga jumawa.
‘Sombong sekali.’
Ingin rasanya Gista menjawab seperti itu. Namun, ia tidak berani.
“Jadi ini untuk saya?” Gista memandang kartu itu dengan lekat. Seumur hidup, baru sekarang ia memegang kartu ATM berwarna hitam itu. Sementara miliknya hanya berwarna emas, dengan batas penarikan dua setengah juta.
“Hmm. Beli apa saja yang kamu inginkan. Baju, sepatu, tas. Bayar uang kuliah kamu.” Ucap Dirga sembari mengusap belakang kepala Gista dengan lembut.
Di perlakukan seperti itu, membuat Gista meneteskan air matanya. Ia teringat dengan sang bapak yang entah dimana berada saat ini.
“Kenapa kamu menangis?” Tanya Dirga dengan dahi berkerut. Ia menghentikan usapan pada kepala gadis itu.
“Pak Dirga membuat saya teringat dengan bapak saya. Kerena mengusap kepala saya seperti tadi.” Ucap Gista sembari mengusap sudut matanya.
“Kamu mau pulang bertemu bapak kamu?” Tanya Dirga kemudian.
Gista menatap Dirga dengan lekat. Mencari kepastian pada sinar mata pria itu.
“Apa boleh?” Tanya gadis itu.
“Kenapa tidak? Kamu bisa sekalian pergi berbelanja.” Dirga kemudian mengambil ponselnya. Mengetik sesuatu, kemudian mengirimnya pada nomor ponsel Gista.
“Saya sudah mengirim pin kartu ATM itu. Kamu bisa menggunakan sepuasnya.”
“Terima kasih, pak. Saya akan pergi setelah membersihkan apartemen.” Ucap Gista seraya bangkit. Namun Dirga mencekal pergelangan tangan gadis itu.
“Tidak perlu. Lagi pula tempat ini tidak begitu kotor. Kamu bisa membersihkannya dua hari sekali.”
“Lalu kamar pak Dirga?”
“Saya sudah mengganti spereinya. Sudah. Lebih baik sekarang kamu bersiap. Bukannya sore ini kamu juga harus bekerja di kafe?”
Gista mengangguk pelan. “Kalau begitu, saya ijin pulang sebentar, pak.”
“Hmm.”
Gadis itu kemudian sedikit membungkukan badannya. “Terima kasih, pak Duda.” Ucap Gista setelah mengecup pipi Dirga dengan singkat.
Kemudian lari meninggalkan pria itu.
“Berani sekali gadis itu.” Ucap Dirga sembari menyeringai.
...****************...