Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Aku membuka mata. Melihat selang infus sudah terpasang di tangan kiri. Kuedarkan pandangan mengamati setiap sudut ruangan.
"Ayah," ucapku lemah pada Ayah yang sedang tertidur di sofa.
"Ayah," ucapku agak kuat.
Ayah pun bangun. Segera menghampiriku.
"Ya, Sayang."
"Ayah, Novita haus."
"Bentar, Sayang."
Ayah mengambil sebotol minuman mineral di atas meja kecil. Lalu, memberikannya padaku.
"Gimana badannya? Udah enakan?" tanya Ayah.
"Udah gak gatel sama sesak lagi," balasku.
"Ayah, kata dokter Novita kenapa?" tanyaku.
"Alerginya kambuh."
"Alergi? Novita gak makan udang kok."
"Bukan udang, Sayang. Antibiotik."
"Antibiotik? Kapan Novita minum antibiotik?"
"Kayanya, Mbok Wati salah ngasih obat."
"Hmm ... masa Mbok Wati lupa kalau aku gak bisa minum antibiotik sembarangan?" tanyaku bimbang.
"Ayah juga gak tau, Sayang. Ya udah, jangan dipikirin. Yang penting kamu udah gak kenapa-napa sekarang. Malam ini istirahat di sini dulu, Ya. Besok baru pulang."
Aku mengangguk pelan. Ayah kembali duduk di sofa. Sementara aku hanya berbaring sambil menutup mata.
Sudah sepuluh menit lebih berusaha untuk tidur, tapi selalu gagal. Banyak pertanyaan yang terus muncul di benakku.
Bagaimana bisa Mbok Wati salah memberi obat? Apa Mbok Wati sengaja melakukannya? Apa Mbok Wati ada hubungannya dengan semua kejadian aneh di rumahku selama ini? Jangan-jangan, maksud Wanita Berambut Panjang itu adalah ... Mbok Wati.
"Lalu, bagaimana dengan kemenyan. Apa aku harus memberitahu ayah?" pikirku seraya menatap ayah sudah kembali tidur di sofa. Serpertinya dia kelelahan. Aku tidak tega membangunkannya
*
Esok paginya, dua orang perawat sudah datang ke kamarku. Yang satu membawakan sarapan, sedangkan satu lagi melepaskan selang infus.
"Pulang hari ini, Ya?" tanya salah satu perawat.
"Iya," balasku singkat.
Kedua perawat itu pergi ke luar kamar. Namun, daritadi aku tidak menemukan ayah. Di mana dia pagi-pagi begini?
Tak lama setelah kuhabiskan sarapan, ayah pun datang.
"Dari mana, Yah?" tanyaku saat ayah menutup pintu kamar.
"Abis urus buat kepulangan kamu. Gimana gak ada keluhan apa-apa?"
"Gak ada, Yah. Tuh liat sarapan aja sampe bersih."
"Kalau udah siap, nanti bisa langsung pulang," ucap Ayah seraya duduk di sofa.
Sebelum pulang, ada pemeriksaan terakhir dari dokter. Untuk mengecek kondisiku. Setelah semuanya baik-baik saja, baru diizinkan pulang.
*
"Ayah, kemenyan itu buat apa ya?" tanyaku saat mobil baru saja meninggalkan rumah sakit.
"Ada apa nanya begituan?" tanyanya heran.
"Enggak sih. Cuman kemaren aku liat Mbok Wati bakar kemenyan. Katanya buat pengharum ruangan."
"Pengharum ruangan?" Ayah nampak kaget.
"Di sini, kemenyan lebih sering dipakai untuk ritual," jelas Ayah.
"Ritual pemanggilan setan?" tanyaku.
"Tuh kamu tau."
Kecurigaanku semakin besar pada Mbok Wati.
"Nanti ayah tanyain ke Mbok Wati," ucap Ayah.
Sesampainya di rumah, Mbok Wati sudah berdiri di teras. Lalu, menghampiri mobil yang baru masuk ke halaman depan.
Aku membuka pintu mobil. Sudah disambut oleh Mbok Wati.
"Non Novita udah sehat?" tanya Mbok Wati.
"Udah!" balasku ketus.
"Novita, masuk dulu! Ayah mau ngomong sama Mbok Wati," ucap Ayah. Aku pun menurutinya, masuk ke dalam rumah.
Saat masuk kamar, mataku hanya tertuju pada ponsel di atas nakas. Hampir seharian, aku tidak memegang ponsel.
"Enggak ada yang chat," batinku. Mungkin teman-temanku masih terlalu sibuk liburan.
Kukunci kamar. Ambil pakaian di lemari. Lalu, bergegas mandi. Rasanya badan ini lengket setelah seharian belum mandi.
*
"Novita!" Sayup-sayup terdengar suara ayah memanggilku, saat sedang mandi.
Kumatikan 'shower'.
Tok!
Tok!
"Novita!" panggil Ayah lagi.
"Bentar, Yah. Lagi mandi!" sahutku kencang.
"Oke. Abis mandi ke kamar ayah, ya!" sahut Ayah dari luar kamar.
"Iya."
Selesai mandi, bergegas aku ke kamar ayah. Di sana ayah sudah menungguku sembari duduk di kursi pinjatnya.
"Ada apa, Yah?" tanyaku.
"Ayah mau ngomong sesuatu." Wajahnya tampak serius.
"Masalah Mbok Wati?" tebakku.
"Iya."
"Jangan dipecat, Ayah. Mbok Wati kan udah kerja puluhan tahun di sini. Baru sekali ini ngelakuin kesalahan."
"Tapi itu fatal, Sayang. Kalau kamu kenapa-napa gimana?"
"Sekarang aku gak kenapa-napa, Kan?"
"Ayah udah bisa maafin keteledoran Mbok Wati waktu Kevin tenggelam. Soalnya itu sepenuhnya bukan salah dia. Tapi sekarang, rasanya susah buat ayah maafin."
"Ayah." Aku berjalan mendekat memegang kedua tangannya.
"Kasih Mbok Wati kesempatan," ucapku pelan.
Ayah berpikir sejenak.
"Ya udah, kalau itu mau kamu. Tapi ada syaratnya."
"Apa?"
"Sampai kamu pulang ke Jerman. Kurangi berinteraksi dengan Mbok Wati. Dia juga gak boleh masuk ke kamar. Semua makanan harus dicek dulu, sebelum dimakan. Oke?"
"Terserah ayah aja." Aku ke luar kamar dengan hati jengkel. Walaupun kecurigaanku semakin besar pada Mbok Wati, tapi rasanya tidak tega memperlakukannya seperti itu.
*
Semenjak obrolan itu, aku lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Sesekali menonton televisi di ruang tengah. Semua makanan, dari pagi-siang-sore, ayah yang mengantarnya ke kamar. Sudah dua hari ini ayah hanya di rumah saja, menemaniku. Selama itu pula, aku tidak pernah bertegur sapa dengan Mbok Wati.
Saat sedang menonton televisi di ruang tengah, aku pernah melihat Mbok Wati berdiri di dekat koridor dapur. Menatapku dari kejauhan. Namun saat aku menoleh dengan cepat, dia langsung berjalan ke dapur. Sampai ... di hari ketiga, untuk pertama kalinya aku berbicara dengan Mbok Wati.
Hari itu, setelah mengantarkan sarapan, ayah meminta izin untuk pergi ke kantor. Sehingga untuk makan siang, Mbok Wati lah yang harus mengantarkannya.
Tok!
Tok!
"Masuk!" perintahku, saat tau ada yang mengetok pintu.
Pintu terbuka. Mbok Wati sudah berdiri di dekatnya, sambil membawa makanan untuk makan siang.
"Ini makan siangnya, Non," ucap Mbok Wati seraya menaruh makanan di atas nakas.
"Makasih."
Mbok Wati berjalan ke luar kamar.
"Mbok," panggilku sebelum dia melangkah ke luar kamar.
Mbok Wati membalikan badan.
"Ya, Non."
"Novita mau ngomong sebentar."
"Ya, Non." Mbok Wati berdiri di dekat tempat tidur.
"Mbok, jawab jujur! Apa maksudnya bakar kemenyan?" Mbok Wati terlihat kaget mendengar pertanyaanku.
"Untuk pengharum ruangan, Non."
"Jangan bohong, Mbok!"
"Mbok gak bohong, Non."
"Ayah bilang itu biasa dipakai untuk ritual pemanggilan setan. Novita juga sempet cari tau, dan emang bener buat itu. Sekarang Mbok Wati harus bicara jujur. Apa bener Mbok yang mengundang si Wanita Ular itu ke rumah ini. Novita pernah mimpi tentang itu juga," jelasku.
"Enggak, Non. Untuk apa Mbok lakuin itu?"
"Ya, mana Novita tau."
Mbok Wati menghela nafas panjang.
"Apa Non Novita percaya dengan ilmu hitam?" Kali ini pertanyaan Mbok Wati yang membuatku terdiam sejenak.
"Gak!"
"Seseorang sedang berusaha menghancurkan keluarga ini."
"Maksudnya?"
"Apa Non enggak curiga dengan rankaian peristiwa yang terjadi di rumah ini. Dari masuknya Ibu ke rumah sakit, sampai sekarang ini?"
"Aku curiga, Kok. Mbok kan pelaku?" Saatku lontarkan pertanyaan itu, wajah Mbok Wati terlihat sedih. Air matanya mulai jatuh.
"Mbok gak mungkin tega ngelakuin semua ini, Non. Mbok sudah ngerawat Non Novita, Den leon dan Den Kevin dari masih bayi. Mbok udah anggap Non Novita kaya anak sendiri," balas Mbok terisak.
"Terus kalau bukan, Mbok. Siapa lagi? Wanita Berambut Panjang itu juga berkali-kali bilang usir wanita itu. Selain novita cuman ada Mbok Wati di sini."
"Apa Non Novita percaya dengan ucapannya?"
"Awalnya enggak, tapi sekarang percaya."
"Ya sudah kalau Non Novita percaya dengan ucapannya, besok pagi Mbok Wati mau pulang kampung saja."
"Kenapa harus pergi? Mbok Wati harus buktiin dong, kalau bukan pelakunya."
"Mbok gak perlu buktiin, Non. Karena bukan pelakunya. Suatu hari nanti Non Novita juga bakal tau siapa pelaku sebenarnya."
Mbok Wati meninggalkan kamar. Sementara aku semakin bingung dengan semua ini. Apa selama ini dugaanku salah? Jika bukan Mbok Wati, lalu siapa lagi?
*
Menjelang malam, aku masih berdiam diri di kamar. Ayah belum juga pulang. Sejak tadi, pesanku pun masih belum dibalasnya.
Waktu menunjukan pukul sembilan malam, Mbok Wati masih belum datang membawakanku makanan. Apa dia marah padaku?
Aku beranjak dari tempat tidur. Berjalan menunju pintu. Saat pintu terbuka ....
Bruk!
Bruk!
Terdengar suara benda terjatuh, keras sekali. Cepat-cepat kututup pintu dan menguncinya. Berlari, lalu melompat ke atas kasur. Bersembunyi dibalik selimut. Kucoba menghubungi ayah, tapi tidak bisa.
Selama dua, jam aku bertahan. Tetap bersembunyi di balik selimut. Ditemani dengan suara musik dengan volume kencang dari ponselku.
Argh!
Terdengar suara jeritan.
"Apa itu suara Mbok Wati?" pikirku seraya mengeluarkan kepala dari balik selimut dan mematikan musik.
Argh!
Jeritan itu terdengar lagi, sekarang jauh lebih jelas.
Dug!
Dug!
Dug!
Seseorang menggedor pintu kamarku.
"Non Novita tolong!" Mbok Wati berteriak minta tolong.
"Non Novita."
Aku membuka selimut, berjalan ke arah pintu.
Deg!
Langkahku terhenti. Dari atas langit-langit kamar, Wanita Berambut Panjang itu turun. Lalu, berdiri tepat di depan pintu.
"Jangan dibuka!" ucapnya.