Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Acara Resepsi
***
Meski kehadiran Galen membuatku semakin meragukan pernikahanku dengan Mas Yaksa, tapi hari ini acara resepsi itu tetap digelar. Aku sudah selesai dirias dan kini sedang duduk melamun seorang diri sambil memandang pantulan diri di cermin. Hari ini seharusnya menjadi hari bahagia bukan? Tapi aku masih saja merasakan keanehan itu.
"Butuh bantuan untuk kabur?"
Aku reflek menoleh dan terkejut bukan main, saat menemukan Galen tampak tampan dengan kemeja batiknya yang nampak pas di badan besarnya.
"Lo kok bisa di sini?"
"Memanfaatkan orang dalem," balas Galen santai, "any way, congrat's buat pernikahan kalian. Semoga jangan langsung nambah momongan dulu ya. Kasian lo-nya ntar riweh kalau langsung ngurus tiga anak."
Aku mengigit bibir bawahku, guna meredam kesedihan yang tiba-tiba kurasakan. Dadaku mendadak terasa sesak saat mendengar kalimatnya, pikiran gila tiba-tiba hadir.
"Jangan nangis, Ge!" ucap Galen dengan pandangan kosong, sebelah tangannya ia masukkan ke dalam saku celana bahannya, "gue mohon," pintanya bersungguh-sungguh.
"Gue nggak akan segan bawa lo kabur kalau lo beneran nangis."
Bodohnya, detik berikutnya aku justru menangis. Isakanku tertahan, hal ini membuat dadaku terasa semakin sesak, aku mencengkeram rok jarik yang kukenakan guna melampiaskan emosionalku.
Tak berapa lama kemudian, aku mendengar Galen menggeram tertahan dengan kedua mata terpejam frustasi.
"Geya, lo beneran minta dibawa kabur ya?" serunya emosi, "niat gue ke sini baik dan tulus pengen ngucapin selamat ke lo, gue bahkan berencana ngikhlasin lo, tapi kenapa justru lo yang begini. Tolong, jangan bikin gue nekat ngerusak pesta pernikahan lo, Ge, gue beneran sayang sama lo."
Aku bahkan tidak mampu membalas kalimat Galen, yang kulakukan hanya lah menangis.
"Gue harus apa, Ge?"
Aku menggeleng cepat. Aku sendiri bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Semua terasa membingungkan, aku menginginkan Galen, tapi aku tidak mungkin melepaskan Mas Yaksa. Bukan karena jabatan kan kekuasaan yang dia miliki tapi Alin dan Javas, aku tidak mungkin meninggalkan mereka hanya demi perasaanku ya mungkin saja hanya sesaat ini.
Terdengar helaan napas berat dari Galen, sepertinya berbagi ruangan denganku membuatnya sesak. Karena aku pun merasakan hal yang sama. Tanpa pamit ia langsung keluar meninggalkanku begitu saja, mungkin karena takut akan ketahuan.
Sebenarnya ada apa denganku?
Benarkah aku masih begitu mengharapkan Galen padahal aku thu pasti itu sesuatu hal yang tidak mungkin?
***
Aku hanya mampu pasrah mengikuti langkah kaki Mas Yaksa saat menyapa tamu-tamu pentingnya, menebar senyum sepanjang acara, membiarkan tangan besarnya melingkar pada pinggangku atau sesekali telapak tangannya menggenggam tanganku. Entah apa yang sedang dia rencanakan, tapi sikapnya seharian benar-benar terlihat seperti suami posesif yang takut istrinya dibawa kabur tamunya.
"Ya elah, Sa, biasa aja, nggak usah lo gondelin gitu bini lo, anjir, kayak penganten baru aja deh."
Aku hanya tersenyum masam saat mendengar ledekan salah satu teman Mas Yaksa. Saat ini kami sedang berkumpul dengan teman-teman Mas Yaksa dan seharusnya saat ini aku juga berkumpul dengan teman-temanku, tapi Mas Yaksa memaksaku untuk ikut menemaninya.
"Tahu, najis banget kita lihatnya, Sa."
Teman Mas Yaksa yang lain ikut menyahut sambil memasang wajah jijiknya, sementara Mas Yaksa masih tetap pada wajah santainya, seolah apa yang dia lakukan adalah hal yang biasa. Padahal tidak biasanya dia begini, biasanya Mas Yaksa menempel denganku kalau ada maunya saja.
Tunggu sebentar, jangan bilang Mas Yaksa memang sedang ada maunya. Jangan-jangan dia nanti akan menagih malam pertama kami?
Mampus!
Aku tidak akan siap kalau itu terjadi, apalagi mengingat perasaanku yang kian bimbang karena kedatangan Galen tadi.
"Iri tinggal bilang." Mas Yaksa menyahut dengan santainya.
Aku tidak terlalu merespon atau mendengarkan obrolan random milik mereka lebih lanjut, fokusku saat ini adalah menghabiskan puding yang Mas Yaksa ambilkan. Kebetulan sejak pagi aku belum makan dengan benar karena takut begah kalau makan terlalu banyak. Ibu bisa mengomeliku sepanjang acara jika ini terjadi.
"Ayo!"
Aku menghentikan suapanku dan menoleh ke arah Mas Yaksa, yang kini sudah berdiri dan sedang merapihkan beskapnya. Sebelah tangannya terulur yang mau tidak mau harus kuterima uluran tangan, aku pun ikut berdiri tak lama setelahnya. Kali ini Mas Yaksa memintaku untuk menggandeng lengannya. Meski sempat bingung aku tetap menurut, tentu saja setelah tadi sempat berpamitan dengan beberapa teman Mas Yaksa.
"Mau ke mana, Mas?" tanyaku setelah kami sepenuhnya menjauh dari meja, "padahal aku masih laper." Bibirku mengerucut sedih, pandanganku mengedar ke arah ballroom, di mana kebanyakan tamu sedang menikmati hidangan mereka.
"Bicaramu terdengar seperti kamu belum makan seharian, Geya."
"Emang. Aku tadi pagi cuma makan dikit, Mas. Soalnya takut kalau makan kayak biasanya bikin perut aku jadi begah terus kebaya aku jadi nggak nyaman."
Mas Yaksa menghela napas lalu mengangguk. "Oke, sehabis ketemu tamu yang ini, kamu bisa makan sepuasnya."
Aku hanya mendengus sebagai respon karena tidak mungkin kulakukan, aku masih belum bisa makan sepuasku karena kami masih harus menerima tamu untuk beberapa jam ke depan.
"Memang ini tamu penting banget, Mas?"
Melupakan rasa laparku, sekarang aku begitu penasaran dengan tamu yang dimaksud Mas Yaksa.
Mas Yaksa langsung mengangguk cepat. "Banget. Dan Mas harap kamu ja--"
"..Ga sikap?" Aku mendengus setelah memotong kalimatnya, "memang di mata Mas Yaksa, aku ini sepayah ini dalam menjaga sikap ya, Mas?"
"Enggak gitu maksud Mas, Geya," decaknya tidak terima.
Pandangannya tiba-tiba fokus ke depan, membuatku ikut memfokuskan diri pada arah depan.
Oh, ternyata ini tamu penting yang Mas Yaksa maksud? Aku menoleh ke arahnya dengan ekspresi tidak percaya. Senyum Mas Yaksa tampak cerah saat menyapa dokter Ema.
Benar, tamu penting itu adalah dokter Ema, teman perempuannya yang sering kali digosipkan sebagai pasangan Mas Yaksa oleh karyawan rumah sakit.
Haruskah aku merasa terkhianati?
Tentu saja tidak, mengingat kehadiran Galen tadi pagi yang begitu tiba-tiba, sampai membuatku menangis tersedu-sedu dan nyaris meminta pria itu membawaku kabur. Aku akan ditertawakan jika merasa demikian.
Lalu sekarang, tamu penting Mas Yaksa adalah dokter Ema? Sebenarnya pernikahan seperti apa yang sedang kami jalani?
Pikiranku mendadak kacau. Telingaku tiba-tiba berdenging, pandanganku kabur lalu tiba-tiba semua terasa gelap.
Oh, tidak mungkin aku pingsan di hari resepsi pernikahanku sendiri kan?
Tolong katakan tidak!
Samar-samar aku mendengar suara Mas Yaksa memanggil-manggil namaku, sampai akhirnya aku tidak ingat apapun lagi.
To be continue,
komunikasi dewasa yg bisa merekatkan keduanya.... jaga yaa geya yg terbuka ...yeksa yg membimbing...
g enak banget ya..geya...dengernyaa
sabar yaa..
...ibu sedikit saja mengerti,memahami geya u bisa adaptasi dengan keadaannya... toh geya pada dasarnya anak penurut.