Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan yang terus Agnia lakukan justru membuat Langit mengalami gangguan mental parah. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Demi menghindari pernikahan dengan Langit, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Sejak itu juga, cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan luka mental suaminya dengan tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Tujuh
“Langit sehat, dia sudah bisa menjalani hari-harinya dengan normal. Jalannya normal, wajahnya pun. Hanya ada sedikit bekas saja. Alhamdulillah,” ucap Haris, tapi Agnia yang ada di hadapannya jadi sibuk mengerjap, selain Agnia yang juga terlihat jadi sesak napas.
“L—Langit ... oh ternyata Langit sudah bisa aktifitas dengan normal? Bukankah terakhir itu, dia masih itu, ya. Lumpuh ...,” balas Agnia.
Detik itu juga Haris langsung nyengir. “Sebenarnya ... itu hanya pura-pura. Karena selama tiga tahun ini, semenjak kamu sibuk menolaknya. Sepertinya Langit dan orang tuanya sengaja melakukan pengobatan besar-besaran agar Langit kembali normal.”
“Berarti aku ditipu?” sergah Agnia yang merasa ditipu oleh Langit dan pihaknya. Padahal jelas, dirinya yang menipu Langit sekeluarga dengan menjadikan Dita sebagai pengantin samaran.
“Harusnya sih, setelah tahu kebenarannya, Agnia sadar. Bahwa alasan Langit pura-pura, murni karena mereka sedang mengetes ketulusannya kepada Langit!” batin Haris.
“Aku harus menemui Langit dan menjadikan amnesiaku sebagai alasan! Ternyata Langit hanya pura-pura, dia masih sempurna termasuk dompetnya! Serius ini, aku enggak perlu cari target lain. Mending sama Langit saja!” batin Agnia yang tak segan meminta nomor ponsel Langit kepada Haris.
“Nomor ponsel? Satu bulan terakhir, Langit enggak pegang ponsel. Yang aku tahu dari papanya, Langit diterapi istrinya. Enggak tahu terapi apa lagi sih, tetapi om Excel bilangnya gitu,” balas Haris.
Satu hal yang makin membuat Agnia penasaran. Siapa istri Langit? Benarkah masih Dita, atau wanita lain pilihan orang tua Langit?
“Terus, aku harus menemui Langit ke mana? Ke rumah orang tuanya?” pikir Agnia jadi ketar ketir sendiri. Agnia sungguh menyesal kenapa ia sampai menyuruh Dita menggantikannya. Padahal ternyata saat itu, Langit hanya pura-pura.
“Kamu kenapa?” tanya Haris. Baginya, perubahan emosi Agnia yang sangat drastis, menegaskan wanita itu tidak baik-baik saja.
Sementara itu di tempat berbeda, Langit dan Dita sedang bahagia-bahagianya. Keduanya tengah mengisi rumah baru mereka dengan barang belanjaan yang mereka beli. Namun saat Dita mencoba mengangkat satu karung beras berisi dua puluh lima kilo gram, Dita langsung meringis kesakitan. Sumber sakit yang Dita rasa ada di pangkal perutnya.
“Kok sesakit ini, ya? Biasanya angkat dua karung juga aman-aman saja,” pikir Dita berangsur melipir dan bermaksud duduk di kursi yang menghiasi dapurnya. Hanya saja, pangkal perutnya makin terasa sangat sakit. Selain jalan lahirnya seolah ada yang mengganjal.
“M—Mas ...,” lemah Dita seiring ia yang berangsur terduduk. Rasanya sakit sekali, ngilu luar biasa di setiap ia melangkah. “M—Mas ....”
“Kamu di mana?” Suara Langit terdengar dari luar.
“Dapur ...,” balas Dita dengan suara makin lemah. “Sakit banget, Mas!” Dita menyesali keputusannya mengangkat satu karung beras. Sebab perbedaan dirinya yang sekarang dan memang sedang hamil, dengan dirinya dulu yang serba bisa bahkan perkasa, nyatanya sangat berpengaruh.
“Kamu kenapa?” Langit langsung panik.
“Sakit banget, Mas!” Air mata Dita berjatuhan membasahi pipi.
“Kamu habis ngapain? Apanya yang sakit?” sergah Langit.
“Kaki ... jangan bikin kakiku ngangkang, Mas! Aku curiga jabang bayi yang ada di perut, turun ke jalan lahir. Tadi aku coba angkat beras!”
“Ya Allah Dita ... kamu kan lagi hamil, ngapain kamu angkat berat-berat? Aku sudah bilang, kan. Kamu boleh masak maupun beres-beres, tetapi jangan sampai kecapaian apalagi angkat yang berat-berat!” Langit bergegas membopong Dita.Ia melakukannya dengan hati-hati.
“Mas, tolong bawa aku ke rumah sakit. Aku enggak mau janin aku kenapa-kenapa,” rengek Dita.
“Bentar ... bentar. Aku beneran marah kalau kamu susah dibilangin seperti ini!” tegas Langit benar-benar marah.
Dita menyadari, sang suami kembali tempramental. Itu pula yang membuatnya meminta sang suami menghubungi ibu Azzura. Takutnya, alih-alih mengurusnya, Langit yang emosi dan kembali tempramental lagi, justru menghajarnya.
Semuanya dilakukan dengan buru-buru. Marlino sengaja diajak untuk menjaga Dita, memangku kepala Dita di tempat duduk penumpang. Sementara pak Fajar sengaja ditinggal untuk menjaga ibu Darsem. Langit menyetir mobilnya. Keadaan panik layaknya sekarang, membuat bibir Langit tak hentinya mngumpat. Bukan hanya Dita yang terus dimarahi dengan alasan yang sama, tetapi juga beberapa kendaraan yang tak tertib di luar sana dan membuat Langit harus lebih hati-hati dalam berkendara. Marlino sampai takut lantaran kakak iparnya mirip orang kurang waras.
“Enggak apa-apa. Mas Langit hanya terlalu sayang ke Mbak. Makanya beliau jadi berisik,” lirih Dita yang sudah tak berdaya. Ia sengaja tak membagikan fakta bahwa sang suami memiliki gangguan ji*wa kepada sang adik. Dita merasa tak perlu melakukanya karena takutnya, sang adik justru jadi takut ke Langit.
Rumah sakit ibu dan anak terdekat, menjadi pilihan Langit. Menggunakan kedua tangannya, Langit memboyong sang istri ke dalam IGD.
“Mas, tolong terus temani aku, ya?” lemah Dita. Rasanya sungguh tak karuan. Panas dingin, dan wajahnya juga dikata Langit sudah sangat pucat.
“Iya, ... takutnya kamu diapa-apain sama mereka. Cadar kamu dilepas saja ya. Takutnya kamu susah napa,” balas Langit terus terjaga di sebelah Dita.
Dita mengangguk-angguk dan membiarkan sang suami melepas cadarnya. “Mas yang tenang. Agar dokter dan tim yang menangani aku, bisa bekerja dengan maksimal. Sini ... sini. Biarkan aku memeluk Mas. Aku ingin memeluk Mas ... aku mau dipeluk, Mas.”
Melihat wajah Dita yang pucat dan air matanya tak hentinya berlinang. Selain itu, Dita juga tampak sangat lemah, membuat hati Langit hanc,ur-sehan,curnya. “Kamu jangan bikin aku takut! Tahu gini, mending kamu jangan hamil!” Tangis Langit pecah.
“Sttt, jangan bilang gitu!” lirih Dita yang buru-buru menggunakan kedua tangannya untuk meraih kepala maupun punggung Langit. Ia mendekap Langit erat dan mereka sama-sama menangis.
“Aku akan baik-baik saja. Yang penting Mas tenang. Demi Mas, dan juga calon anak kita, aku pasti bisa. Mas tenang ya ... biar aku juga bisa fokus menjalani pengobatan. Nah, dokternya sudah pada datang!” lirih Dita.
Beberapa saat kemudian, Dita langsung menjalani penanganan. Langit tetap di sana dan menyaksikan sang istri menjalani serangkaian pemeriksaan. Dita kesakitan ketika dokter memasukkan jemari tangan kanannya ke jalan lahir Dita untuk memastikan adanya pembukaan.
“Dok ...?!” bentak Langit benar-benar emosi.
Dita berharap, mertuanya segera datang. Agar sang suami ada pawangnya.
“Belum ada pembukaan. Aman. Tinggal ....”
Ucapan sang dokter barusan membuat Dita merasa sangat lega. Walau sakit di jalan lahirnya masih sangat luar biasa, harapan semuanya akan baik-baik saja, dirasa Dita sangat besar.
Setelah menjalani sederet pemeriksaan termasuk USG, Dita juga diizinkan pulang. Ibu Azzura dan pak Excel datang secara terpisah. Namun, keduanya sepakat untuk memboyong Dita ke rumah mereka. Ditambah lagi, lagi-lagi emosi Langit tak stabil.
“Kamu jangan nyetir sendiri. Biar sopir mama yang bawa mobil kamu, buat antar Marlino. Kamu temani istri kamu!” sergah pak Excel.
Tanpa diketahui siapa pun. Di tengah malam yang mulai menemani kehidupan, Agnia mengawasi kediaman pak Excel. Aqnia melakukannya dari balik kemudi mobilnya yang ia parkir di depan rumah tetangga kediaman pak Excel.
“Rombongan mobil siapa itu? Itu mobil papa mamanya Langit kan?” pikir Agnia yang masih mengenali mobil orang tua Langit.