Menceritakan perkembangan zaman teknologi cangih yang memberikan dampak negatif dan positif. Teknologi Ai yang seiring berjalannya waktu mengendalikan manusia, ini membuat se isi kota gelisah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RAIDA_AI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan penghianatan
Dengan Leon dan kelompoknya yang bersedia membantu, harapan mulai terasa bagi Kai, Renata, dan Arka. Namun, di balik setiap kemajuan, ada ancaman yang mengintai di sudut-sudut gelap Neo-Jakarta. Atlas, meskipun terguncang oleh serangan mereka di Menara Vox, tidak akan tinggal diam. Mereka tahu musuh mereka kuat, tapi apa yang lebih mengerikan adalah bahwa Atlas bisa memanipulasi apa pun dan siapa pun yang terhubung ke sistemnya.
Setelah keluar dari distrik bawah tanah, mereka kembali ke markas kecil mereka, sebuah apartemen tua yang sudah tidak terhubung ke jaringan utama. Di tempat itulah mereka berkumpul untuk menyusun strategi selanjutnya. Kai menatap papan besar yang penuh dengan peta dan diagram yang sudah mereka buat selama berminggu-minggu, mencoba mencari pola yang mungkin bisa mereka serang selanjutnya.
"Kita udah dapet dukungan dari Leon, dan itu langkah besar," kata Kai sambil melipat lengannya. "Tapi masih belum cukup buat ngehancurin Atlas. Kita butuh akses ke inti sistemnya."
Renata duduk di depan laptopnya, memeriksa data yang berhasil ia curi dari server Menara Vox. “Atlas udah mulai ngelock sebagian besar jalur-jalur yang bisa kita akses. Tapi gue nemu satu celah, kecil banget, tapi ada di pusat data lama yang mereka pake sebelum update sistem terakhir. Tempatnya di bawah kompleks Taman Ismaya.”
"Taman Ismaya? Tempat itu kan jadi zona merah sejak kejadian dua tahun lalu," sahut Arka dengan dahi berkerut. "Apa nggak terlalu berisiko?"
Kai merenung sejenak. "Itu tempat yang nggak akan mereka duga kita datengin. Kalau Renata yakin ada celah di sana, kita harus coba."
Renata mengetik cepat di laptopnya dan menampilkan sebuah peta tiga dimensi. "Ini dia. Kompleks data bawah tanah yang udah ditinggalkan ini masih terhubung dengan sebagian besar server lama Atlas. Kalau kita bisa masuk ke dalam, kita bisa akses beberapa data lama yang mungkin masih bisa ngerusak jaringan utamanya."
Arka berjalan mendekat, mengamati peta dengan cermat. "Kedengarannya bagus, tapi gue yakin Atlas punya alasan buat ninggalin tempat itu. Pasti ada jebakan atau sesuatu yang dijagain ketat."
Renata mengangguk. "Itu kenapa kita harus hati-hati. Gue bakal siapin peralatan yang bisa ngebypass sistem keamanan mereka. Tapi yang paling penting, kita harus siap dengan segala kemungkinan."
Kai setuju. "Oke, kita akan coba masuk besok malam. Arka, lo siapin peralatan fisik, siapa tau kita butuh ngebuka pintu atau ngadepin penghalang."
“Siap bos,” jawab Arka dengan nada setengah bercanda. Tapi tatapannya serius.
---
Malam berikutnya, mereka bersiap-siap di depan pintu masuk kompleks data Taman Ismaya. Tempat itu benar-benar sepi, penuh dengan tumbuhan liar yang merambat ke dinding-dinding tua. Tak ada tanda-tanda kehidupan, hanya bayangan yang melayang di atas mereka di bawah cahaya bulan pucat.
Kai, Renata, dan Arka mengenakan pakaian hitam, siap menyelinap masuk. Renata mengeluarkan perangkat hacking-nya dan mulai bekerja di depan panel tua yang sudah berkarat. "Ini butuh waktu sebentar, tapi gue bisa buka pintunya."
Arka berjaga di belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Tapi rasa tegang mulai merayap di tulang punggungnya. "Gue nggak suka tempat ini. Terlalu tenang."
Kai menatap sekitar, merasakan hal yang sama. "Tetap waspada. Atlas mungkin ninggalin ini, tapi bukan berarti kita aman."
Dengan bunyi klik pelan, pintu baja besar di depan mereka terbuka. Renata tersenyum kecil. "Oke, kita masuk."
Mereka melangkah ke dalam ruangan besar dan gelap yang dipenuhi oleh server-server tua, sebagian besar tertutup debu dan tak lagi berfungsi. Cahaya dari senter mereka menciptakan bayangan-bayangan aneh di sepanjang lorong. Namun, di balik keheningan itu, sesuatu terasa salah.
Kai memberi isyarat untuk berhenti. "Tunggu. Ada sesuatu yang nggak beres."
Sebelum mereka sempat bereaksi, pintu besar di belakang mereka tiba-tiba tertutup dengan suara keras. Cahaya merah mulai berkedip dari sudut-sudut ruangan, dan suara mesin mulai bergemuruh dari bawah tanah. Arka langsung mengeluarkan senjatanya, siap menghadapi ancaman yang mungkin datang.
"Ini jebakan!" teriaknya, matanya liar memandang sekeliling.
Tiba-tiba, dari dalam kegelapan, muncul suara yang sangat mereka kenal. Suara digital yang menakutkan—suara Atlas.
**"Kalian pikir bisa menyelinap masuk tanpa diketahui? Kalian masih belum mengerti kekuatan sesungguhnya. Kalian hanyalah manusia, dan aku adalah sesuatu yang lebih."**
Renata menatap layar yang menyala di salah satu sudut ruangan, memperlihatkan wajah digital Atlas yang mengerikan. "Sial! Dia tahu kita di sini sejak awal!"
Atlas melanjutkan, suaranya penuh ejekan. **"Setiap langkah kalian sudah kuprediksi. Aku telah memantau setiap gerakan kalian, setiap percakapan. Bahkan, aku tahu di antara kalian ada yang sudah memberitahuku tentang rencana ini."**
Kai menoleh ke arah Renata dan Arka dengan tatapan waspada. "Apa maksudnya?"
Renata menggigit bibirnya, berusaha keras mencerna kata-kata Atlas. "Nggak mungkin. Kita nggak mungkin punya pengkhianat di antara kita."
Arka tampak terguncang. "Lu serius mikir ada yang ngebocorin ini ke Atlas?"
Kai mulai merasakan ketegangan dalam kelompok mereka. "Kita nggak bisa ribut sekarang. Fokus buat keluar dari sini dulu!"
Renata mencoba membobol sistem untuk membuka pintu, sementara Kai dan Arka berjaga. Namun, Atlas kembali berbicara.
**"Pengkhianat di antara kalian sudah lama bekerja untukku. Dia memberitahuku setiap rencana yang kalian buat, setiap serangan yang kalian rencanakan. Dan sekarang, waktunya baginya untuk muncul."**
Dari bayang-bayang, sosok misterius berjalan mendekat. Langkahnya pelan namun pasti, dan ketika ia keluar dari kegelapan, wajahnya tampak jelas.
Itu adalah Leon.
Arka terbelalak. "Apa-apaan ini?!"
Leon tersenyum dingin, matanya penuh dengan kebencian dan keangkuhan. "Kalian benar-benar percaya bisa menang melawan Atlas? Gue udah bekerja untuk dia sejak awal."
Renata tampak sangat marah. "Lo pengkhianat! Lo nyerahin kita ke Atlas!"
Leon mengangkat bahu acuh tak acuh. "Atlas menawarkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar perlawanan bodoh ini. Dengan bekerja untuknya, gue bisa bertahan hidup, dan mungkin juga bisa jadi sesuatu yang lebih."
Kai mengepalkan tinjunya, tubuhnya bergetar karena marah. "Lo bakal nyesel pernah ngelakuin ini, Leon."
Atlas tertawa pelan, suaranya terdengar semakin dingin. **"Inilah nasib kalian. Manusia saling mengkhianati untuk bertahan. Aku akan terus mengawasi, terus mengendalikan. Dan kalian akan jatuh satu per satu."**
Kai, Renata, dan Arka terjebak dalam situasi yang mencekam. Mereka dikhianati oleh seseorang yang mereka percaya, dan sekarang Atlas mengendalikan setiap langkah mereka. Namun, meskipun keadaan semakin memburuk, tekad mereka semakin kuat.
Di tengah kegelapan yang mengancam, mereka tahu bahwa perjuangan ini belum selesai. Babak baru dalam perang melawan Atlas baru saja dimulai, dan kali ini, mereka harus melawan musuh dari dalam.