[Update tiap hari, jangan lupa subscribe ya~]
[Author sangat menerima kritik dan saran dari pembaca]
Sepasang saudara kembar, Zeeya dan Reega. Mereka berdua memiliki kehidupan layaknya anak SMA biasanya. Zeeya memenangkan kompetisi matematika tingkat asia di Jepang. Dia menerima hadiah dari papanya berupa sebuah buku harian. Dia menuliskan kisah hidupnya di buku harian itu.
Suatu hari, Zeeya mengalami patah hati sebab pacarnya menghilang entah kemana. Zeeya berusaha mencari semampu dirinya, tapi ditengah hatinya yang terpuruk, dia malah dituduh sebagai seorang pembunuh.
Zeeya menyelidiki tentang masa lalunya. Benarkah dia merupakan seorang pembunuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 | Di Mana Kairo?
“Mbak, mau cari siapa?” tanya anak kecil di depan panti asuhan tempat Kairo tinggal.
“Cari Kak Kairo,” jawabku.
“Oh, bentar ya. Aku panggilin dulu."
Anak itu masuk ke dalam bangunan sederhana itu, sementara aku menunggu di luar. Panti asuhan ini tidak pernah berubah sejak pertama kali aku mengunjunginya bersama Reega. Kami berdua selalu bermain bersama Kairo juga anak-anak lainnya dulu. Tiba-tiba kenangan itu teringat lagi olehku.
“Kairo sudah tidak tinggal di sini lagi ...” seseorang keluar dari balik pintu.
Bu Asti, pemilik sekaligus pengurus panti asuhan yang kukenal itu melanjutkan, “... lagian panti asuhan ini kekurangan dana, jadi saya kasih ijin dia pindah.”
“Lalu sekarang dia tinggal di mana ya, Bu?” tanyaku.
“Ya mana saya tau. Dia cuma bilang dapat beasiswa yang lebih besar. Palingan ya, udah nggak betah tinggal di sini. Coba kamu tanyakan ke teman sekolahnya.”
“Oh, begitu ya ...” aku merasa kecewa, “... apa ibu punya nomor HP Kairo yang baru? Sepertinya nomor yang lama sudah tidak aktif. Biar nanti saya hubungi dia sendiri.”
“Nggak ada! Udah kamu pulang aja sana!” jawab Bu Asti sambil membanting pintu.
...****************...
Dear, diary ...
Sewaktu aku pergi panti asuhan tempat tinggal Kairo, Bu Asti seakan mengusirku dari sana. Aku tidak tahu kenapa beliau tampak marah, kuingat dulu beliau adalah orang yang ramah dan baik kepada siapa saja.
Aku makin bingung mau menanyakan keberadaan Kairo ke siapa lagi, sedangkan aku tidak kenal dengan teman-teman Kairo di sekolahnya. Kenapa dia pergi tanpa bilang mau ke mana, sih. Kan aku jadi kerepotan mencari dia.
Kairo, aku jadi khawatir kalau kejadian itu terulang kembali. Aku takut kamu kalau sampai kenapa-napa. Saat ini aku hanya ingin tahu bagaimana keadaanmu.
^^^-Adila Zeeya Vierhalt-^^^
...****************...
Aku menutup buku harian yang baru saja kutulis dan merebahkan diriku di atas kasur. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kairo sudah tidak tinggal di panti asuhan itu.
Tok tok tok!
Ketukan pintu kamar membuyarkan lamunanku.
“Siapa ...?” aku bergegas membukanya dan seketika terkejut, “oh, papa!"
Aku memeluk seorang pria yang kupanggil papa itu. Kukira dia sedang berada di luar negeri sekarang.
“Hey, Honey. Papa pulang.” Papa memelukku sambil melepas rindunya.
Beruntung sekali papa pulang lebih cepat karena ada yang mau aku minta. papa mengajakku untuk makan malam karena kita sudah lama sekali tidak makan bersama sekeluarga. Setelah pindah ke rumah ini, kami jadi sibuk masing-masing, papa dengan pekerjaannya di luar negeri sementara aku dan Reega sibuk dengan agenda sekolah.
“Ayo, makan,” kata papa saat makanannya baru saja terhidang.
“Tapi Reega belum turun. Aku panggil dia dulu.” Aku beranjak dari kursi.
“Nggak usah ...” Papa mencegahku, “... Reega bilang ke papa kalau lagi nggak enak badan. Biarkan dia istirahat sekarang, nanti makannya akan Papa antar ke kamarnya.”
“Eh, padahal dia nggak kelihatan sakit tadi di sekolah.” Aku kembali duduk di kursiku.
Papa tidak bicara lagi dan mulai memakan hidangan yang ada di atas meja. Aku menyayangkan Reega yang tidak bisa makan bersama kami. Padahal papa jarang sekali meluangkan waktunya untuk sekedar berkumpul sekeluarga.
“Oh ya, Pa.” Aku teringat sesuatu.
“Ada apa?” papa menghentikan makannya.
“Papa kenal temanku Kairo, kan?”
“Kairo? Anaknya Om Galih yang tinggal di panti itu?”
“Iya, tadi aku mampir ke panti buat ngembalikan buku punya dia yang minggu lalu aku pinjam. Tapi Bu Asti bilang kalau Kairo sudah tidak tinggal di sana lagi." Lagi-lagi aku berbohong.
“Apa mungkin Kairo sudah tinggal sama ayahnya?” tanyaku.
“Papa nggak tahu Om Galih sudah keluar penjara atau belum. Nanti akan Papa cari tau,” jawab papa ala kadarnya.
“Emang Om Galih terkena kasus apa sampai lama nggak ada kabar?” tanyaku penasaran.
“Kamu nggak perlu tau. Belajar saja yang rajin di sekolah.”
Aku tidak tahu siapa lagi yang bisa ditanyai tentang keberadaan Kairo. Dia seperti hilang ditelan bumi. Aku kembali ke kamar setelah menghabiskan makananku.
Memandang jadwal pelajaran, membuatku makin muak. Besok hari Jumat, jam pelajaran pertama biologi. Itu adalah mata pelajaran yang paling kubenci karena aku tidak suka menghafal. Berbeda denganku, Reega suka sekali biologi. Aku sering meminta bantuannya ketika ada tugas.
.........
Seperti biasa aku datang ke sekolah. Kelas masih sepi. Ya iya lah, aku murid paling pertama yang datang.
Aku meletakkan tas di loker yang bertuliskan namaku, lalu bergegas keluar ruangan menunggu Hana di depan pintu kelas. Dia memang selalu datang setelahku.
“Hana!” aku memanggilnya yang baru sampai itu.
“Kenapa? Tumben lu nggak belajar.” Dia menghampiriku.
“Aku ada ‘misi’ jadi tolong bilang ke Nisa seperti biasa, ya,” ucapku sambil tersenyum manis dan meninggalkan Hana yang masih berdiri di ujung pintu.
“Eh ... tunggu, Zee!” Hana berteriak memanggilku.
Aku tetap berjalan cepat tanpa menghiraukan panggilannya. Matahari kian terik, satu persatu murid mulai berdatangan. Aku diam-diam pergi keluar gedung sekolah, lalu berjalan santai ke parkiran motor mengikuti murid-murid lain yang baru tiba. Di sebelah parkiran, terdapat gudang berisi meja dan kursi yang sudah usang. Aku bersembunyi di sana, menunggu suasana sepi.
Kring ...!
Bel sekolah sudah berbunyi, sudah cukup aku bersembunyi. Aku segera keluar gudang dan berjalan ke parkiran. Suasananya sudah benar-benar sepi. Aku memanjat tembok parkiran yang mengarah keluar sekolah dengan keahlian memanjatku. Temboknya hanya setinggi satu meter.
“Huh selamat ... aku berhasil kabur!”
Aku bergegas menjalankan ‘misi’ yang baru saja kukatakan. Hari ini aku akan pergi ke sekolah Kairo, menanyakan keadaannya pada teman-temannya. Pikirku mungkin mereka tahu kenapa Kairo tidak bisa dihubungi.
Sekolah kami berdua memang cukup dekat, hanya tinggal berjalan kaki aku sudah sampai di gerbang depan sekolah favorit itu. Aku mengamati area sekolah sambil bersembunyi, tapi ada yang menarik lenganku dari belakang hingga aku hampir jatuh.
“Astaga!!!” tak sadar aku berteriak.
“Hus! Jangan teriak.” Mulutku ditutup rapat oleh orang yang menarikku tadi.
“Hansel?!” aku ternyata mengenal orang itu.
“lu ngapain di sini, Zee?” Hansel bertanya padaku.
“Nggak ngapa-ngapain, kok.” Aku berusaha memalingkan wajahku dari tatapannya.
“Minimal kalo bolos jangan pakai seragam sekolah, dong. Nanti kelihatan kita dari SMA mana.”
Hansel menertawakanku, dia mengeluarkan jaket dari dalam jok motornya. Aku baru tahu kalau dia berangkat sekolah naik motor. Kukira dia diantar sopir sepertiku karena dia kaya, ayahnya seorang polisi di kota ini.
“Nih, pakai!” Hansel menyerahkan jaket itu padaku.
“Nggak mau, ah! Jorok!” kataku.
“Pakai aja, itu udah dicuci. Lagian lu ngapain bolos? Bosen belajar?”
“Suka-suka aku, dong.” Aku menerima jaket itu dengan terpaksa.
Gerombolan anak SMA memakai seragam olahraga keluar gerbang. Kami memerhatikan mereka. Kemudian aku mulai menyapa salah satu dari mereka.
“Maaf permisi, kalian dari kelas X IPA 2, bukan?” tanyaku pada salah satu cewek yang keluar gerbang.
“Kalian siapa?” cewek itu balik bertanya.
“Kami dari sekolah sebelah.” Aku bertanya kembali, “ngomong-ngomong kamu tahu yang namanya Kairo Saputra? Dia anak kelas X IPA 2. Oh iya, aku pacarnya.”
“Kairo? Anak yang nggak pernah masuk sekolah itu?” seorang cewek lainnya menyahut perkataanku.
“Hah?! Nggak pernah masuk sekolah?”
“Iya anak yang namanya Kairo itu nggak pernah masuk sejak hari pertama sekolah. Kebetulan aku sekretaris kelas X IPA 2, jadi aku tahu namanya. Gara-gara nggak pernah masuk, dia sudah drop out dari sekolah. Oh, iya. Kita boleh kenalan nggak? Namamu siapa?”
“Aku Zeeya, pacarnya Kairo. Dia lama nggak ngabarin aku, sudah kusamperin ke rumahnya juga.”
“Salam kenal, Zeeya. Aku Sarah.” Cewek itu tiba-tiba menjabat tanganku, “Hem ... mungkin Kairo sudah pindah sekolah dan nggak sempat ngabarin kamu. Oh ya, aku duluan ya. Mau ada pelajaran olahraga di stadion dekat sini. Aku udah ketinggalan, nih.”
Sarah berlari menyusul anak-anak yang lain meninggalkan aku dan Hansel berdua kembali. Lagi-lagi tidak ada yang tahu di mana keberadaan Kairo. Aku hampir putus asa.
“Gua baru tahu lu punya pacar, Zee,” ucap Hansel yang dari tadi di belakangku.
“Aku belum ditembak sama si Kairo itu. Tapi kami sudah kenal dari lama,” jawabku lesu.
“Udah lah, cari cowok lain aja,” kata Hansel sambil berjalan ke arah motornya.
“Tapi Kairo sahabatku dari lama, Han.” Aku mengikuti langkahnya.
“Ya kan cowok masih banyak, Zee.” Hansel menaiki sepeda motornya dan memakai helm, “satu lagi. Lo jangan sembarangan kenalan sama orang asing. Bisa bahaya tahu!”
“Maksudmu anak yang barusan? Dia cuma temannya Kai. Kamu mau ke mana?”
“Cari sarapan.” Hansel menyalakan mesin motornya, “lu mau ikut? Buruan naik!”
.........
- Hansel itu cowok apa cewek sih?😁
- Perkembangan ceritanya bakal rumit saat Zee satu tim dengan cowok idaman Nisa
- Tuduhan macam apa yang ada disurat itu?
- kenapa Ree dan Zee tidak pulang bersama?
Ceritanya bagus suka❤