Kesalahan di masa lalu membuat Maudy memiliki seorang anak.
Seiring bertambah usia, Jeri merindukan sosok seorang ayah.
"Apa kamu mau menikah denganku?" tanya Maudy pada pria itu.
"Aku tidak mau!" tolaknya tegas.
"Kamu tahu, Jeri sangat menyukaimu!" jelas Maudy. Semua demi kebaikan dan kebahagiaan putranya, apapun akan dilakukannya.
"Aku tahu itu. Tapi, aku tidak suka mamanya!"
Akankah Maudy berhasil memberikan papa untuk Jeri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hai_Ayyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 - Akan Menakuti
"Sayang, Jeri jangan nangis lagi ya." bujuk Maudy sambil memeluk sang putra.
Tadi guru tk Jeri menelepon dan mengatakan jika putranya menangis dan tidak mau berhenti. Makanya ia pun buru-buru datang.
"Hu, hu, hu... Kata Nanda, Jeri tidak punya papa, ma." bocah kecil itu menangis sampai terisak-isak. Ia sedih karena tidak memiliki papa seperti teman-teman lainnya.
"Sudah ya, Jeri jangan nangis lagi. Nanti mama belikan robot-robotan." bujuk Maudy. Ia sudah tidak berani lagi mengatakan jika papanya Jeri, sudah mati dan dimakan cacing. Nanti putranya bisa makin bersedih. Jadi menyesal pernah membuat alasan itu.
"Tadi Nanda juga bilang, katanya Jeri anak haram. Padahal Jeri kan anaknya mama." bocah kecil itu mengadukan semua apa yang dikatakan temannya itu.
Maudy meremas tangannya, anak sekecil itu kenapa bisa mengatakan hal tersebut. Pasti mendengar pembicaraan orang tuanya.
"Mama akan bicara sama Nanda, biar dia tidak menganggu Jeri lagi ya." Maudy mengelus kepala lalu mengusap air mata di wajah polos itu. Hatinya begitu sangat sedih melihat putra kesayangannya menangis sampai sesedih itu.
Maudy kini melihat bocah laki-laki yang berdiri melihati mereka, wajah anak itu tampak ketakutan.
"Kamu yang bernama Nanda?" tanya Maudy dengan tatapan tajam. Anak sekecil itu berani sekali membuat putranya menangis. Ia tidak akan merasa kasihan karena menganggap masih anak-anak.
"I-iya, tante." jawab Nanda yang ketakutan. Mamanya Jeri seperti hantu, sangat menyeramkan.
"Kamu dan Jeri kan teman sekelas. Sebagai teman kamu tidak boleh mengatakan hal buruk pada temanmu. Kalau membuat teman sekelas menangis, kamu bisa dicampakkan ke neraka. Dibakar hidup-hidup. Mulut kamu yang bicara buruk pada Jeri, akan tusuk dengan besi panas!" Maudy menakuti bocah kecil itu.
"Bu, sudahlah!" ucap Bu guru mengingatkan. Mamanya Jeri bukan menasehati malah menakuti.
"Huwa... Mama!!!" Nanda pun menangis, Maudy membuatnya takut.
"Kenapa kamu membuat anakku menangis?" tanya seorang wanita yang tiba-tiba masuk ke ruang guru.
Melihat orang yang masuk, Nanda pun berlari ke arahnya.
"Mama, aku takut!" ucapnya masih sambil menangis.
"Kenapa kamu membuat anakku menangis?" tanya wanita itu tidak senang.
"Kita perlu bicara!" Maudy menarik wanita itu.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Kenapa kamu membuat anakku menangis?" tanya Angel tidak terima wanita itu memarahi anaknya. Mereka kini berada di ruangan lain yang sedang kosong.
"Anakmu yang mulai duluan! Dia membuat anakku menangis!" jawab Maudy tidak mau kalah.
"Apa kamu tidak bisa mendidik anak? Kamu itu tidak becus!" Maudy berkacak pinggang dengan gaya sombongnya.
Angel memelototi Maudy. Seenaknya saja mengatakan ia tidak becus jadi orang tua.
"Anak sekecil Nanda saja, bisa mengatakan hal buruk. Orang tua macam apa yang mengajarkan keburukan pada anaknya!" Maudy melengos. Putranya Angel bisa bicara perihal anak haram, pasti mendengar dari mulut wanita jahanam ini saat bicara yang tidak-tidak.
"Aku tidak pernah mengajarkan anakku hal buruk. Kamu jangan sembarangan bicara!"
"Terus kenapa anak sekecil itu bisa mengejek Jeri tidak memiliki papa? Dan yang lebih parah, anakmu itu mengatakan anakku anak haram! pasti mulut busukmu pasti yang mengatakan itu!" Maudy memelototi wanita yang tampak kaget.
Angel kaget mendengar putranya mengatakan hal itu. Ia tidak pernah bercerita apapun pada Nanda. Wanita itu mulai mengingat, saat ia sering menggosipi Maudy di telepon. Dan mungkin saja anaknya mendengar pembicaraannya.
"Ka-kamu omongan anak kecil saja didengar dan dipermasalahkan. Kekanak-kanankan sekali sikapmu!" Angel membela diri. Maudy lebay, hal sepele saja jadi masalah.
Maudy rasanya mau menerkam wanita di hadapannya itu. "Masih kecil saja sudah berucap buruk, bagaimana besarnya nanti! Anak itu dari kecil harus diberitahu!"
"Kamu juga harus beritahu anakmu asal usulnya dari mana dan masa lalumu itu. Sudah kabur dari pernikahan, hamil dengan pria lain. Dan anakmu tidak diakui ayahnya. Apa kamu sudah memberitahu itu?" Angel tersenyum sinis. Maudy sok menasehati cara bijak mendidik anak, wanita sombong itu saja tidak jelas.
"Kau!" Maudy akan melayangkan tangannya. Ia geram sekali ingin menampar mulut jahanam wanita itu.
"Maudy-Maudy. Makanya jadi wanita yang benar, kasihan anakmu itu. Anak haram dan tidak diakui ayahnya. Kan jadi kasihan sekali nasibnya, tidak bisa mendapatkan kasih sayang yang utuh seperti Nanda. Kasih sayang dari papa dan mama, bisa mempengaruhi pertumbuhan anak lho!" Angel berkata dengan senyuman miring.
"Makanya di masa lalu jadi wanita bener, jangan seperti jallang!" bisiknya kembali.
Plak... Tangan Maudy pun melayang juga. Angel lebih baik ditampar. Makin menjadi-jadi menyulut emosinya.
"Kau berani menamparku?!" Angel akan membalas dan Maudy menahan tangan Angel.
"Aku akan jadi jallang dari suamimu!" ucap Maudy menaikkan alisnya.
Angel tampak bingung mencerna apa maksud perkataan Maudy.
"Apa kamu mau jadi pelakor? Kamu mau merebut suamiku?" Angel tidak habis pikir. Maudy berniat begitu.
"Katamu aku jallang! jadi aku akan menggoda suamimu. Lihatlah aku cantik, seksi dan begitu menggoda. Mustahil suamimu bisa menahan diri!" Maudy tersenyum sinis. Ia akan memberikan pelajaran pada wanita itu.
"Kamu!!! Ja-jangan macam-macam pada suamiku!" Angel mulai takut. Ia bagaikan upil jika dibandingkan dengan Maudy. Maudy itu wanita yang sangat, sangat, sangat cantik. Bahkan saat di kampus dulu wanita itu begitu populer dan digilai para lelaki.
Jika Maudy benar-benar menggoda suaminya, habislah dia. Keluarganya bisa hancur berantakan.
"Jika tidak mau aku menggoda suamimu, ajari anakmu yang benar. Jika ku dengar anakmu berucap buruk pada putraku lagi, aku tidak segan merebut papanya untuk menjadi papanya Jeri!" ancam Maudy.
"Maudy!!!" teriak Angel kesal. Ia kalah telak dari wanita itu.
Maudy tersenyum puas dan meninggalkan wanita itu.
Maudy kini kembali pada putranya. "Ayo nak kita pulang!"
Maudy pun menggendong Jeri.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Pak-Pak Roni?"
"Kamu mengenal saya?" tanya Roni melihat ke pria yang order ojeknya.
"Saya dulu bawahan anda di Perdana grup, Pak." Satria mengingatkan.
Pengendara ojek itu mengangguk. Ia mulai mengingat.
Satria pun mengajak Roni ke sebuah kafe. Ia ingin mengobrol dengan atasan lamanya.
"Jadi kamu sudah tidak bekerja di perusahaan itu lagi?" tanya Roni. Ia juga dulu sempat lama bekerja di sana, tapi terpaksa keluar karena itu perusahaan milik suami dari wanita yang pernah ditinggalkan saat hari pernikahan.
"Tidak, pak. Semenjak anda resign, suasana kantor sudah tidak nyaman lagi. Apa lagi dengan bu Upik, mantan anda itu sangat menyebalkan!" cerita Satria mengingatkan sedikit.
Roni malah terkekeh mendengar bu Upik mantannya. "Bu Upik bukan mantan saya, Sat!"
"Tapi bu Upik galau dan uring-uringan tidak jelas semenjak anda resign. Ia juga jadi kejam dan mau marah-marah saja!" cerita Satria. Itu yang membuatnya resign juga, tidak sanggup jadi bawahan wanita itu.
"Sekarang pak Roni bekerja di mana?" tanya Satria. Ia melihat penampilan Roni yang kusam dan kulitnya agak gelap. Mungkin karena kena polusi dan panas-panasan di jalan.
Padahal dulu saat masih bekerja di kantoran, Roni itu salah satu karyawan populer di kalangan para karyawan wanita. Makanya bu Upik mengejar-ngejarnya.
"Lagi tidak ada kerjaan, saya narik ojek." jawab Roni. Ia jadi agak minder dengan kehidupannya sekarang.
"Oh... saya boleh minta nomor anda, pak."
Roni mengangguk dan memberikan nomor ponselnya.
Kini Satria melirik arlojinya, sudah masuk jam makan siang. Ia harus segera ke kantor, nona Maudy akan memarahinya jika ia mengular.
.
.
.