Jakarta, di tengah malam yang sunyi, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Para remaja —terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 7
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Bayangan pohon di luar berkibar di bawah hembusan angin yang aneh, membuat suasana semakin mencekam. Napas ketiganya tertahan, merasakan ketegangan yang menggantung di udara seperti tali yang siap putus. Nizam berdiri tegap di depan jendela, rahangnya mengeras, namun di balik sikapnya yang tenang, tatapan matanya memancarkan kecemasan.
"Aku nggak suka ini..." gumamnya, matanya terus mengawasi kegelapan di luar.
Azzam, saudara kembar Nizam, menyandarkan punggungnya ke tembok dengan tangan yang mengepal erat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Kita nggak bisa terus di sini, Zam. Mereka semakin banyak," bisik Nizam, memecah keheningan yang terasa menekan.
Nafisah, yang sejak tadi sibuk di sudut ruangan dengan buku dan catatan, tiba-tiba angkat bicara. "Ini bukan bencana biasa," suaranya bergetar, namun ada keteguhan di dalamnya. "Ini... wabah. Penyebarannya terlalu cepat, mirip seperti yang pernah kubaca tentang pandemi yang menyerang populasi dalam waktu singkat. Tapi... ini lebih parah."
Kedua saudara laki-lakinya saling berpandangan, pertukaran tatapan itu penuh dengan ketakutan yang coba mereka sembunyikan. Nafisah melanjutkan, kali ini suaranya merendah seolah ia sedang berbicara pada dirinya sendiri. "Mungkin... mungkin ini sudah terlambat. Mungkin kita sudah terjebak."
Azzam, dengan suara yang lebih keras dari yang ia maksudkan, memotong pemikiran Nafisah. "Jangan ngomong kayak gitu! Kita masih bisa keluar dari sini. Kita cuma perlu..." Ia berhenti sejenak, matanya berpaling ke arah pintu depan yang terasa semakin dekat dengan ancaman di luar.
Nizam menggeram pelan. "Keluar ke mana? Mereka sudah di luar sana." Tangannya menggenggam jendela, mencoba membuka sedikit tirai tanpa menimbulkan suara.
Di luar, ketenangan mendadak pecah oleh suara teriakan mengerikan yang memekakkan telinga. Teriakan seorang tetangga. Nafisah tersentak mundur, wajahnya pucat pasi. Dari celah tirai, Nizam melihat seorang pria berlari terbirit-birit di jalanan, dengan zombie-zombie yang mengejarnya tanpa ampun. Mata pria itu melotot penuh ketakutan, mulutnya terbuka lebar memekik, dan detik berikutnya—jatuh. Tubuhnya dirobek tanpa ampun oleh gerombolan makhluk mengerikan itu.
"A-aku nggak percaya ini nyata," Nafisah bergumam, matanya membelalak ngeri. Hatinya berdebar-debar, terlalu cepat untuk bisa dikendalikan. "Secepat ini... mereka menyerang secepat ini?"
Azzam mendekat ke jendela, wajahnya kaku menahan keterkejutan. "Mereka... lebih cepat daripada yang kita kira," katanya pelan. "Kita harus bergerak sekarang, atau kita akan mati di sini."
Nizam mendengus, rahangnya kembali mengeras. "Mereka lambat, tapi kalau mereka sudah dalam jarak dekat, kita habis." Ia memalingkan wajah, matanya bertemu dengan pandangan Nafisah yang penuh kebimbangan. "Kak, kamu tahu ini. Kita nggak punya pilihan. Kita nggak bisa sembunyi selamanya."
Nafisah mengangguk lemah, tapi tangannya gemetar. "Aku tahu... tapi... bagaimana kalau di luar sana lebih buruk? Bagaimana kalau... kalau kita nggak sempat lari?"
Sebelum siapa pun bisa menjawab, suara kaca bergetar memecah keheningan. Seketika itu juga, semua terdiam. Mata mereka terfokus pada jendela yang mulai retak, diserang oleh pukulan dari luar.
"Zam... kita harus cepat," suara Nafisah berubah gemetar. Nafasnya mulai tak teratur, dan ia melangkah mundur, punggungnya menempel pada dinding.
Dengan gerakan panik, Azzam meraih Nizam dan menariknya ke belakang, "Kita harus kabur sekarang!" desaknya.
Tapi Nizam tidak segera bergerak. Pikirannya berpacu. "Kalau kita keluar sekarang... kita akan ketemu mereka. Kita terpojok."
Kaca jendela retak lagi, semakin besar, dan tiba-tiba, mereka melihat wajah mengerikan dari zombie yang menerobos masuk. Matanya yang kosong menatap mereka dengan tatapan dingin, tubuhnya terhuyung-huyung, tapi kuat.
Nafisah menjerit keras, memegangi mulutnya dengan tangan yang gemetar. "Mereka... mereka akan masuk!"
Di tengah kepanikan itu, Nizam meraih tongkat baseball dari pojok ruangan. "Kalau mereka masuk... kita harus lawan," katanya dengan nada yang berat namun pasti.
Azzam menggigit bibirnya, wajahnya memucat. "Kita... kita lawan, atau kita mati."
Namun, Nafisah justru mundur lebih jauh, tubuhnya bergetar. "Tidak... kita tidak bisa. Kita harus lari... kita harus lari sekarang!"
"Aku nggak tahu apakah ini keputusan yang tepat... tapi aku tahu satu hal—kita nggak bisa diam di sini dan mati." Batin Nizam dan Azzam secara bersamaan.
****
Suasana di kota itu telah berubah menjadi mimpi buruk yang mengerikan. Langit yang biasanya cerah, kini tertutup awan gelap yang bergerak cepat. Jalanan yang dulu dipenuhi dengan hiruk pikuk kehidupan kini terasa mati, hanya menyisakan mobil-mobil terbengkalai dengan pintu-pintu yang terbuka, dan di beberapa tempat, ada noda darah yang mengering di trotoar.
Queensha berjalan lebih dulu, tubuhnya tegang, matanya berkeliling mencari tanda-tanda bahaya. Rambut hitam panjangnya menempel di leher karena keringat yang mulai mengucur. "Aku nggak pernah membayangkan kota bisa berubah jadi kayak gini..." gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Jantungnya berdegup kencang, seakan hendak keluar dari dada. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah di bawahnya menjadi rawa yang menelan keberanian mereka.
Seno, yang berjalan di belakang, menggenggam tangan Masagena erat, seolah jika dia melepaskannya, dia akan kehilangan lebih dari sekedar kontak fisik. "Ini nggak masuk akal," bisiknya, pandangannya tak bisa lepas dari jalanan yang sunyi. Matanya berkedip-kedip, mencoba memahami kehancuran di depannya. Tubuhnya menegang setiap kali ada suara sekecil apapun. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"
Masagena berusaha menjaga ketenangannya, tapi dalam hatinya, ia berdebat dengan ketakutan yang perlahan menggerogoti keberaniannya. "Ini pasti mimpi buruk. Kita pasti akan bangun," pikirnya berulang-ulang, meskipun setiap pemandangan di depannya menguatkan realita mengerikan yang mereka hadapi.
Ketiganya berjalan di antara reruntuhan kota, dengan kaca-kaca toko yang pecah berserakan di sekitar mereka. Tiba-tiba, di kejauhan, terdengar suara erangan yang mengerikan. Mereka segera berhenti, tubuh mereka membeku.
Dari kejauhan, sosok-sosok berkulit abu-abu yang bergerak lambat namun pasti mulai terlihat. Zombie. Tubuh mereka terhuyung-huyung, tapi sorot mata mereka yang kosong terasa begitu mengancam. Suara erangan yang rendah semakin mendekat, dan pemandangan itu membuat Queensha tertegun.
"A-apa... ini nyata?" suaranya nyaris tidak terdengar, tangannya yang gemetar menutup mulutnya. Matanya melebar, menyaksikan pemandangan yang terlalu sulit untuk dipercaya. Tubuhnya bergidik, tetapi otaknya terus menolak untuk menerima kenyataan.
Seno terdiam, tidak ada lagi kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Pandangannya terpaku pada zombie-zombie yang semakin dekat. "Ini bukan... ini nggak mungkin terjadi," pikirnya dengan rasa takut yang mencengkeram hatinya. "Kita ada di film horor sekarang?"
Saat zombie yang paling dekat tiba-tiba berbalik ke arah mereka, tubuhnya bergerak kaku namun tujuannya jelas, jantung Seno seperti berhenti berdetak. Zombie itu menatap mereka dengan tatapan kosong, bibirnya yang robek mengeluarkan suara geraman rendah.
"Jangan bergerak... jangan sampai mereka tahu kita di sini..." bisik Masagena, suaranya nyaris tak terdengar di antara napasnya yang mulai terengah. Tapi meskipun mereka sudah mundur, mereka tahu mereka harus bergerak lebih cepat.
Ketika mereka melanjutkan perjalanan, keheningan yang mencekam tiba-tiba dipecah oleh suara jeritan mengerikan dari arah berlawanan. Orang-orang berlari, panik, mencoba menghindari zombie-zombie yang semakin banyak. Mereka berlari melintasi jalanan dengan ekspresi teror di wajah mereka, beberapa terjatuh dan tidak sempat bangkit sebelum ditangkap oleh zombie yang haus darah. Jeritan memenuhi udara, menjadi simfoni kematian di kota yang dulu damai.
Queensha merasa lututnya lemas melihat pemandangan itu, tubuhnya mulai gemetar. "Ini... ini gila! Mereka... mereka mati di depan mata kita!" pikirnya. Keringat dingin mengalir di punggungnya saat dia meraih lengan Seno, yang saat itu juga membeku, wajahnya pucat. "Seno, kita harus bergerak! Sekarang!" serunya dengan suara serak.
Namun sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, Seno tersandung dan jatuh ke tanah. Dalam kebingungannya, tanpa sadar, ia mendekati salah satu zombie. Zombie itu mengulurkan tangannya, menggapai ke arah Seno dengan gerakan lambat namun pasti. Queensha melihatnya dengan mata terbelalak, waktu terasa berjalan lambat ketika zombie itu hampir mencengkeram Seno.
Pada detik terakhir, Queensha menerjang ke depan dan menarik Seno dengan sekuat tenaga. "SENO, AYO CEPAT!" teriaknya, suaranya pecah karena adrenalin. Mereka terjatuh bersama ke tanah, napas mereka tersengal-sengal. Masagena segera berlari mendekat, wajahnya penuh ketakutan, namun tatapannya penuh dengan tekad.
"Dekat banget... dia hampir menyentuhku..." Seno menggelengkan kepalanya, napasnya tersengal. Dia merasa tubuhnya dingin, seperti baru saja berdiri di ambang kematian. "Aku... aku hampir mati..."
"Kita nggak bisa berhenti di sini," Queensha mendesis, menarik Seno untuk berdiri. "Kita harus keluar dari sini, sekarang!"
Dengan suara gemuruh yang terus menghantui dari kejauhan, zombie-zombie itu perlahan tapi pasti mengikuti jejak mereka, ketiganya berlari ke arah yang tidak mereka ketahui, sementara ketakutan menggenggam mereka semakin erat.