Bukan aku tidak mencintainya. Tapi ini sebuah kisah kompleks yang terlanjut kusut. Aku dipaksa untuk meluruskannya kembali, tapi kurasa memotong bagian kusut itu lebih baik dan lebih cepat mengakhiri masalah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Sudah waktunya untuk kelas dengan instruktur yang selalu bikin penasaran.
“Nah, hari ini kita bakal ada kelas yang menarik, tapi aku peringatkan ya, kamu bakal lihat gambar-gambar yang cukup mengganggu. Mending kamu mulai terbiasa, soalnya kehidupan profesional kamu nantinya bakal penuh dengan pemandangan kayak gini. Ini adegan kejahatan,” katanya sambil nunjuk layar raksasa di ruangan.
Semua orang pada nunggu-nunggu, penasaran seberapa kuat gambar yang bakal ditampilkan.
“Pertama, kamu harus janji sama aku, ya, kamu bakal jaga rahasia ini. Anak-anak kelas satu belum seharusnya lihat materi kayak gini. Tapi menurutku, makin cepat makin baik. Apa kata orang-orang?” Dia nanya ke seluruh kelas.
Semua orang pada mengangguk, menunjukkan sikap terlibat dan diem.
Lalu dia mulai bercerita.
“Selama beberapa tahun di daerah ini, polisi udah berburu seorang pembunuh berantai yang suka membunuh anak perempuan dan remaja. Dia punya ketertarikan khusus sama mereka dan saking baiknya, mereka sampai nggak bisa nangkep dia.”
Dia mulai nunjukin gambar-gambar gadis-gadis itu, dan wajah mereka bikin aku merasa familiar.
“Dia menculik mereka, dari sekolah, di taman saat mereka main, bahkan dari acara-acara besar di mana mereka dikelilingi banyak orang. Dan anehnya, nggak ada yang bisa ngeliat siapa pelakunya, atau setidaknya nggak ada saksi yang bisa kasih tahu ciri-ciri fisiknya,” dia terus cerita.
Dia nunjukin foto-foto tempat-tempat di mana gadis-gadis itu diculik, dan saat aku lihat foto-foto itu, tiba-tiba aku kepikiran sekolah lamanya Lucia.
“Ini tempat acak, kan?” Dia nanya, dan semua orang pada mengangguk. Lalu dia tanya lagi, “Apa kesamaan tempat-tempat ini?”
“Semuanya tempat umum, mereka nggak sendirian,” jawab seorang siswa.
“Dan apa yang bisa kita simpulkan tentang si pembunuh?” Tanya instruktur.
“Bahwa dia ahli atau dia mengenal korbannya,” kata seorang gadis.
Tiba-tiba dia nanya ke aku, “Dan bagaimana menurutmu, Veronica?”
Aku merasa semua mata tertuju padaku, “Mungkin dia nggak kenal mereka, dia cuma berhasil dapetin kepercayaan mereka lewat kebohongan. Dan karena ini tempat umum, dia nunggu kesempatan buat menculik mereka,” jawabku, dan dia ngeliatin aku sambil senyum.
“Kesimpulan yang bagus sekali,” katanya dengan suara keras, dan beberapa temannya ngeliatin aku dengan tatapan marah karena pujian itu.
Dia lalu mulai nunjukin foto buku tahunan sekolah para korban. Waktu dia nunjukin foto yang paling kecil, aku terkejut banget pas liat foto terakhir yang diambil di Institut Lucia. Rasanya wajahku langsung pucat, dan aku berusaha keras buat menyembunyikannya.
“Sekarang kita bakal liat tempat di mana mereka ditemukan tewas. Aku mau kalian fokus dan menghafal apa yang kalian lihat, soalnya ini bakal jadi bahan laporan kalian tentang TKP. Dalam hal ini, setiap detail itu penting, bahkan hal yang paling sepele pun bisa mengungkap si pembunuh. Ayo kita mulai,” katanya, lalu mulai nampilin semua foto di layar raksasa beresolusi tinggi.
Kita bisa lihat tempat-tempat sepi, di luar ruangan. Selalu ada tempat berair di dekatnya, kayak sungai atau laguna.
Nggak ada apa-apa di sekitar jenazah yang pertama kali ditutup, baik pakaian maupun benda-benda pribadi. Bahkan, aku nggak lihat sampah sama sekali, dan itu bikin aku bingung. Biasanya, di alam, orang selalu meninggalkan jejaknya lewat sampah yang ditinggalkan. Tapi tempat-tempat ini lebih dari sekadar bersih.
Kemudian dia mulai menampilkan gambar yang bikin suasana jadi tegang.
Pergelangan tangan dan kaki kecilnya tampak merah, seolah-olah diikat terlalu erat. Beberapa wajahnya memar, lehernya merah; bahkan bisa terlihat bekas jari di salah satu tangannya. Jelas banget bahwa mereka mengalami kekerasan.
Gambaran yang paling bikin merinding adalah area panggulnya yang tertutup, tapi ada noda merah yang mengalir. Itu nunjukin bahwa mereka mengalami pelecehan. Kita bahkan bisa lihat luka-luka di bagian dalam pahanya, seolah-olah mereka sudah disakiti.
Dan gambaran terakhir yang bener-bener menghancurkan perasaanku. Tubuh Lucia, telanjang, dengan mata terbuka, ada tanda-tanda kekerasan, dan aku nggak bisa lihat lebih jelas karena rasanya aku mau pingsan.
Begitu aku terbangun, semuanya berasa bingung. Ada bau yang mengganggu, dan aku terbaring di lantai. Ruang kelas udah kosong, cuma ada instruktur yang masih di sana.
“Tenang, Veronica, di kelas kayak gini, aku selalu kedatangan murid yang pingsan. Wajar banget kalau kamu merasa terguncang setelah lihat gambar-gambar yang bikin kaget,” katanya sambil membelai pipiku dengan lembut.
Saat aku mulai sadar, aku lihat dia dengan wajah ramah dan senyum lebar. Kalau aku berpikir negatif, aku bisa bilang dia kayak senang melihatku pingsan. Tapi kalau itu bener, dia mungkin nggak ngerti kenapa dia merasakan itu. Rasa ketidakpercayaan ini makin menguat.
Aku perlahan duduk dan merapikan barang-barangku.
“Maaf ganggu kelas, aku pamit,” ucapku, sambil melangkah ke pintu keluar. Tapi dia langsung menghentikan lenganku.
“Kamu nggak bisa pergi sendiri, tekanan darahmu mungkin berubah. Aku bakal nganter kamu pulang,” katanya.
Aku berusaha melepaskan lenganku sambil bilang, “Aku udah mendingan, tenang aja.” Tapi dia semakin mengencangkan cengkeramannya dan nggak mau melepaskanku.
“Aku bertanggung jawab karena udah nunjukin gambar-gambar itu. Aku udah bilang bakal nganter kamu. Aku nggak mau kehilangan pekerjaan kalau kamu terjadi apa-apa di jalan,” ucapnya dengan nada tegas, dan aku cuma bisa ngangguk, menandakan kalau dia bakal nganter aku.
Di pintu keluar kelas, ada beberapa siswa yang ngeliatin kami dengan penasaran. Aku denger mereka bisik-bisik, bilang aku takut, bahwa aku nggak bakal baik-baik aja di hadapan polisi, dan ada juga yang bilang kalau aku cuma cari perhatian dari guru.
Dia masukin aku ke mobilnya dan pasang sabuk pengaman. Rasanya nggak nyaman banget karena dia terlalu dekat. Aku bisa mencium parfumnya yang masih nyisa di hidungku setelah dia mendekat.
Aku curiga dia tahu di mana aku tinggal, tapi aku nggak ngerti kenapa. Dua kali aku ketemu dia waktu kecil, dia cuma baik dan ngasih aku permen. Nggak pernah aku bilang dia kasar atau marah. Bahkan, fakta bahwa dia selalu punya sebotol permen di mejanya bikin aku ngerasa dia nyaman sama anak-anak. Ketidakpercayaan ini bener-bener bikin aku bingung.
Aku buka pintu kamar dengan kunci. Untungnya, semuanya udah kami atur dengan Rebeca.
“Yah, aku baik-baik aja di kamarku, kamu nggak usah khawatir lagi,” kataku padanya, tapi dia masih belum bergerak.
Dia malah mulai melihat-lihat, matanya yang hijau menyapu setiap sudut ruangan, seolah-olah mau mengingat semuanya. Aku cuma bisa ngeliatin dia dengan kening berkerut, bingung.
“Apa yang lagi kamu lakuin, instruktur?” tanyaku berani.
“Maaf, itu kebiasaan kerja,” katanya sambil senyum lebar. “Aku udah beberapa kali dimarahi karena kebiasaan buruk ini. Kalau udah berlatih bertahun-tahun, kamu bakal berperilaku aneh kayak gini, percayalah.”
Dia ngeluarin beberapa permen dari saku dan ngasih ke aku. “Ini bakal bikin kamu merasa lebih baik,” katanya dengan tatapan tajam dan ekspresi yang sulit aku pahami. Setelah itu, dia keluar dari kamarku.