"Kamu tidak perlu tahu bagaimana luka ku, rasa ku tetap milik mu, dan mencintai tanpa pernah bisa memiliki, itu benar adanya🥀"_Raina Alexandra.
Raina yatim piatu, mencintai seorang dengan teramat hebat. Namun, takdir selalu membawanya dalam kemalangan. Sehingga, nyaris tak pernah merasa bisa menikmati hidupnya.
Impian sederhananya memiliki keluarga kecil yang bahagia, juga dengan mudah patah, saat dirinya harus terpaksa menikah dengan orang yang tak pernah di kenal olehnya.
Dan kenyataan yang lebih menyakitkan, ternyata dia menikahi kakak dari kekasihnya, sehingga membuatnya di benci dengan hebat. padahal, dia tidak pernah bisa berhenti untuk mencintai kekasihnya, Brian Dominick.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mawar jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
apa ini semacam perpisahan?
"kita adalah dua orang yang gagal, meski rasa ku tak pernah berubah. Tetapi itu tidak merubah kita yang tetap terpisah🥀"
Padahal, tadinya Brian ingin mengatakan bahwa dia akan melanjutkan studinya ke Amerika. Akan tetapi, keadaan keduanya saat ini sama-sama buruk. Brian baru menyadari, bahwa selama ini memang hanya Raina yang selalu perduli padanya.
Tetapi, Brian juga sebenarnya sangat mencintai Raina. Akan tetapi, caranya menyampaikan perasaannya terkadang salah, bahkan terlihat kasar untuk di rasa.
Begitu juga dengan Raina, saat ini dia telah sampai pada titik jenuhnya. Di mana dia merasa sangat sakit, dan memilih berakhir. Meski begitu, Raina tetap tidak bisa ketika melihat Brian memohon kepadanya, membuatnya berada dalam dilema.
"sayang, gimana keadaan mu? Udah lebih baik?" tanya Brian pelan, dan menghampiri Raina yang masih menatap keluar jendela.
"hmmmm, aku ingin tidur." jawab Raina pelan.
"tidur lah, aku akan menunggu di sini." ujar Brian dengan tersenyum.
"gak usah, kamu pulang aja. Nanti di cari, karena gak pulang ke rumah, belum lagi satpam di depan, besok pagi aku bisa di depak dari sini." ujar Raina dengan mengusap wajahnya kasar, mengusap sisa-sisa air matanya.
"aku udah susah dari dulu, aku gak siap kalau besok pagi harus di usir juga dari sini." sambung Raina dengan lirih, suaranya hampir tidak terdengar. Air matanya kembali mengalir, dia bahkan teringat bagaimana perjuangannya mendapatkan rumah kecil yang di tempati olehnya saat ini. Seketika Raina teringat jika selama beberapa bulan ini, pemilik rumah yang di tempati olehnya tidak menagih uang bulanan. Harusnya, dia sudah di tagih, karena ini sudah lebih dari tiga bulan dari terakhir dia membayar uang sewa.
"Sayang, jangan bicara begitu. Maaf, okey aku salah, aku minta maaf." jawab Brian merasa bersalah.
"bagaimana mungkin aku tega, membuat mu berada di luar, dan tidak memiliki tempat tinggal." sambungnya lagi dengan mendekat, meraih Raina yang masih berusaha menahan tangisnya.
"tapi, kamu hampir setiap hari tega membuat hati ku sakit, dan kamu selalu mengulangi hal yang sama." batin Raina dengan memeluk kedua lututnya erat.
"aku tadi meminta Rico mengantar sesuatu untuk mu, di letakan di mana sama dia ya." ujar Brian pelan, teringat bingkisan yang di minta olehnya untuk di berikan kepada Raina. Kedua matanya mencoba mencari di sudut kamar kecil itu tetapi tidak ada.
"apa yang ingin kamu tunjukan?" tanya Raina tak semangat.
"hasil pemeriksaan dia lagi?" tambahnya dengan membuang nafasnya kasar.
Brian memang pernah beberapa kali menunjukan hasil pemeriksaan Alicia, wanita yang selama ini selalu bersama Brian.
Brian bahkan rela berbohong kepadanya hanya demi Alicia. Brian mengatakan bahwa Alicia sedang sakit keras, sehingga dia membutuhkan Brian untuk selalu menemaninya.
Tetapi, Brian juga lupa bahwa Raina juga sama membutuhkan dirinya. Apa lagi, akhir-akhir ini keadaanya sangat buruk. Dia tidak tahu harus ke mana harus berbagi cerita.
"Ra... Gak gitu," jawab Brian dengan menghela nafasnya panjang.
"aku berapa kali sih, harus jelasin?" tanya Brian mencoba menahan suaranya agar tidak terlalu keras dan juga meninggi.
"iya, aku ngerti. Sekarang pergilah, tuh tuan putri sudah menghubungi sejak tadi." jawab Raina dengan menunjukan ponsel Brian yang di letakan di meja yang tak jauh dari posisinya saat ini. Raina bahkan melihat sejak tadi, ponsel Brian berkedip sejak kedatangannya.
Mendengar ucapan Raina yang terdengar dengan serak, sudah di pastikan dia sedang menahan tangisnya lagi. Dengan segera, Brian menghampirinya dan membawanya dalam dekapnya.
"lepas!"
"aku sudah bilang, pulang lah!" ujar Raina hampir berteriak hingga akhirnya tangisnya kembali pecah.
Brian tidak beranjak, dia tetap memeluk Raina dengan erat, meskipun dengan keras Raina menolak. Hingga beberapa saat kemudian, Raina sedikit lebih tenang, baru lah Brian mulai melonggarkan dekapannya.
"sudah jangan nangis lagi, ini untuk yang terakhir ya nangisnya. Pokoknya, setelah ini aku gak mau lagi kamu nangis." ujar Brian dengan mengusap pelan sudut matanya.
"karena titipan itu gak tahu di mana, aku kasih tahu langsung saja deh, selamat ya sayang, kamu lulus masuk perguruan." ucap Brian dengan tersenyum.
"apa?"
"kamu jangan bercanda, aku belum daftar apa pun, kalau kamu lupa." jawab Raina pelan.
"kata siapa? Aku sudah mendaftarkan nama mu di beberapa universitas yang bagus. Sementara ini baru dapat satu informasi sih, nanti yang dua menyusul." jawab Brian dengan tersenyum.
"kamu serius?" tanya Raina dengan tidak percaya.
Brian memang sengaja mendaftarkan Raina di beberapa perguruan secara online, karena Raina salah satu siswi yang cukup berprestasi. Apa lagi, Raina tidak terlalu tertarik dengan berita online, dia bahkan kadang lupa fungsi ponselnya untuk apa.
Tadinya, Brian ingin memberitahu Raina lebih dulu sebelum dia mendaftarkan namanya. Akan tetapi, entah karena apa, dirinya justru lupa untuk memberitahunya.
"iya, aku serius. Dan aku juga mau ngasih tahu, aku bakal lanjut ke Amerika. Seperti yang kamu tahu, aku tidak bisa menolak permintaan Papa." ujar Brian dengan kembali memeluk Raina sekali lagi.
"jadi, ini semacam perpisahan?" tanya Raina dengan lirih.
"aku tidak tahu, tapi aku masih berharap kita masih memiliki banyak waktu." jawab Brian dengan pelan.
"Kalau memang ini adalah akhir tentang kita, aku harusnya sudah terbiasa. Karena aku memang sudah terbiasa tanpa kamu. Meskipun tetap merasa sakit, setidaknya aku sudah terbiasa sakit sejak lama." batin Raina lagi dengan sendu.
Meskipun tidak segala hal menyakitkan, pada kenyataanya perpisahan selalu berakhir menjadi kerinduan. Walau tidak jarang, hanya berlaku untuk sebelah saja, dan tak jarang juga keduanya sama-sama merasa kerinduan yang sama.
Namun, meski beberapa orang berharap perpisahan bukan akhir dari segalanya, tetap saja jejak itu menimbulkan luka rindu untuk Dia yang dengan tulus merasa. Dan parahnya, terkadang rela menunggu untuk waktu yang lama. Padahal, belum tentu kerinduan itu di balas dengan kerinduan yang sama.
"kita tetap seperti ini ya, meski nanti jarak di antara kita semakin jauh." ujar Brian dengan pelan, sementara Raina yang berada dalam dekap Brian tidak merespon apapun. Karena dia sendiri sudah sibuk dengan pikirannya yang semakin kacau, tubuhnya juga merasa sakit.
Sudah di pastikan, besok pagi dia tidak bisa beraktivitas seperti biasa. padahal, Minggu adalah jadwalnya untuk masuk kerja pagi.
Ya, Raina memilih untuk bekerja menjadi waiters di sebuah rumah makan. Karena hanya pekerjaan itu yang memiliki shift untuk anak sekolah seperti dirinya. Dan yang paling penting, di sana Raina merasa memiliki keluarga, karena semua teman kerjanya kebanyakan sudah dewasa. Dengan mudah, selalu memberinya banyak pengalaman, serta membantunya saat kesulitan.
Meskipun hingga saat ini, dia masih enggan untuk berbagi perihal kisah hidupnya yang rumit.