"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Apa Yang Terjadi Padannya?
Hana melangkah menyusuri jalan, langkahnya cepat dan gelisah. Udara sore terasa dingin, menusuk sedikit di sela-sela napas yang pendek dan kesal. Sepatunya menghentak trotoar, suara langkahnya nyaris seperti ritme yang dipaksakan.
tap tap tap
Pikirannya berputar pada kejadian tadi di sekolah. Ryan tiba-tiba pergi begitu saja, mengabaikannya seolah-olah mereka tidak pernah saling kenal. Padahal dia hanya ingin menanyakan sesuatu tentang tugas. Ia merasa dihantam kekesalan yang menumpuk.
'Kenapa dia seperti itu?'
Angin sore menerpa wajahnya, meniup rambutnya hingga beberapa helai jatuh mengganggu pandangannya. Ia mengembuskan napas kesal.
huft…
Meniup rambut yang terjuntai di wajahnya, mencoba menenangkan diri, tapi itu tidak berhasil. Bayangan saat mereka duduk bersama di kelas tadi kembali mengganggu pikirannya.
---
Di ruang kelas, Hana, Ryan, Farah, dan Cici duduk berkerumun mengelilingi meja. Di atas meja, lembaran-lembaran kertas, gunting, dan lem berserakan, sisa bahan untuk kerajinan tangan yang mereka buat bersama. Cici, yang selalu perfeksionis, tampak serius.
"Kita harus selesaikan ini hari ini," katanya sambil melirik semua orang dengan tatapan tegas.
Farah mengangguk setuju. "Ayo, biar cepat selesai. Ryan, kamu bisa potong kertas ini sesuai bentuknya."
Ryan meraih gunting dengan canggung, tangannya sedikit gemetar saat memegang gagangnya. Ia mencoba menggunting, tapi hasilnya tidak sesuai harapan.
kresek kresek
Potongan kertas itu menjadi tidak rapi, sisi-sisinya berantakan. Farah mengerutkan dahi, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak puas.
"Aduh, bukan begitu. Kamu malah merusaknya," komentar Farah, suaranya terdengar ketus.
Ryan menundukkan kepala, merasa bersalah. "Maaf..."
Hana, yang duduk di sebelahnya, tersenyum menenangkan. “Tidak apa-apa, Ryan. Aku bantu ya.” Tangannya mengulurkan bantuan untuk merapikan potongan kertas.
Farah mendelik tajam ke arah Hana. "Hana, kamu terlalu memanjakan dia. Dia harus belajar sendiri. Ini kan tugas kelompok," gumamnya dengan nada sindiran.
Hana membalas dengan lembut. "Kita kan tim, Farah. Saling membantu itu wajar."
Farah mencibir, matanya menyipit penuh selidik. "Iya iya, kalian memang kompak. Jangan-jangan kalian pacaran ya?"
Perkataan itu membuat pipi Hana memerah, ia gugup dan merasa tak nyaman. "Tidak! Kami hanya teman baik," jawabnya cepat.
Ryan menoleh, wajahnya kebingungan mendengar tuduhan itu. "Apa? Pacaran?" Ekspresinya kaget, tidak tahu harus merespon bagaimana.
Farah tertawa kecil, ekspresi puas menghiasi wajahnya. "Lihat tuh, reaksinya lucu. Kalian memang cocok."
Cici yang sedari tadi terdiam, berdeham kecil. "Ehem, bisa fokus lagi? Kita ini dikejar waktu. Kalau masih mau bercanda, lebih baik nanti saja."
Suasana menjadi hening seketika. Hanya suara gunting yang mengiris kertas dan lem yang dipakai menjadi pengisi kekosongan.
kresek kresek
Hana melirik Ryan. Wajahnya masih sedikit tegang, dan tangannya terlihat gemetar saat kembali memegang gunting. Jelas ada yang tidak beres, tapi Hana tidak berani menanyakan lebih jauh, khawatir mempermalukannya di depan yang lain.
'Kenapa cuma aku yang cowok di sini…' protes batinnya, tapi tak berani diutarakan.
---
Lamunannya buyar saat menyadari dirinya sudah sampai di depan rumah. Hana menarik napas, berusaha menenangkan hati yang masih bergejolak. Ia membuka pintu.
klik
Langkahnya pelan saat memasuki rumah, suara sepatu bergesekan dengan lantai kayu yang berderit. Dalam hati, ia masih bergumul dengan kekesalan dan kebingungannya terhadap sikap Ryan.
"Aku harus bicara dengannya besok. Ini tidak bisa dibiarkan begini," gumamnya lirih.
Sepatunya ia lepaskan dengan asal di depan pintu, berjalan cepat menuju kamar tanpa memedulikan keadaan sekitar.
kreeek
Pintu kamarnya tertutup pelan. Begitu masuk, Hana melepaskan tasnya ke lantai, lalu merebahkan diri di tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong, pikirannya kembali pada Ryan dan kejadian tadi.
"Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Kenapa dia bertingkah aneh?" gumamnya.
Ia ingat saat-saat Ryan terlihat canggung, hampir seperti seseorang yang takut melakukan kesalahan. Kenapa dia jadi begitu gelisah akhir-akhir ini?
'Kenapa dia terlihat begitu tertekan hari ini?'
Hana menutup mata, berharap bisa meredakan pikirannya yang kacau. Tapi perasaan resah itu tidak juga pergi.
Di luar, hujan turun dengan ritme yang lembut, mengisi keheningan yang menyelubungi malamnya.
drip... drip...
Ingatan kembali menyeretnya ke kejadian di sekolah tadi, saat Ryan beranjak begitu saja, meninggalkannya tanpa penjelasan. Hati Hana terasa sesak. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Ryan tiba-tiba berubah?
'Kenapa dia mendadak menghindar?' pikirnya, menahan perasaan yang mulai menyeruak. 'Apakah semua ini ada hubungannya dengan gosip itu?'
Tatapan aneh teman-teman, bisik-bisik yang tersebar di lorong-lorong, semuanya tiba-tiba terasa menghantuinya. Hana menghela napas panjang, membiarkan udara dingin masuk ke paru-parunya, tapi hatinya tetap saja gelisah.
tik... tik... tik...
Hana duduk, melempar selimut, lalu meraih cardigan di kursi dan mengenakannya. Langkah kakinya pelan menuruni tangga kayu yang berderit lembut di setiap pijakan.
creak...
Di ruang tamu, piano putihnya berdiri kokoh, memancarkan kesunyian yang sama. Tanpa sadar, ia sudah berjalan mendekat. Jari-jarinya menyentuh permukaan piano, merasakan dinginnya di kulit. Dia duduk di bangku, jemarinya mulai menekan tuts, membiarkan nada "Clair de Lune" mengalir pelan.
ting... ting... ting...
Setiap dentingan membawa pikirannya semakin dalam. Dia membiarkan matanya terpejam, berharap melodi itu mampu mengusir resah di dadanya. Rasanya aneh, denting-denting ini seperti menggantikan kata-kata yang tak pernah bisa ia sampaikan pada Ryan. 'Kenapa aku harus peduli?' tanyanya dalam hati, meski tahu jawabannya lebih dari sekadar kata.
'Ryan... kamu nggak tahu apa yang aku alami sekarang,' batinnya getir. 'Kenapa kau harus menarik dirimu pergi di saat aku ingin lebih dekat?'
Nada demi nada terus mengalir. Hana seolah berbicara dalam keheningan itu, berbicara pada Ryan yang tidak bisa ia temui. Alunan musik membawa kehangatan yang perlahan mengisi ruang hatinya. Namun, rasa hampa itu tetap saja mengintai.
shhh...
Hujan di luar semakin deras, tetapi suara piano tetap mengalir, mendominasi. Sesekali Hana merasa ingin berhenti, tetapi tangannya bergerak otomatis, menerjemahkan resah dan rindu yang ia sendiri tak mampu ungkapkan.
Lagu itu selesai, bergema pelan sebelum lenyap di udara. Hana membuka mata, mengembuskan napas panjang. Setidaknya, bermain piano memberinya sedikit kedamaian. 'Mungkin, memang tak seharusnya aku menunggu...' batinnya. Tapi suara hatinya berontak, menolak menyerah begitu saja.
Hana menutup piano dan berdiri. Ia mendekati jendela, menatap hujan yang sudah mulai reda. Rintik-rintik kecil yang tersisa membuatnya teringat pada rasa yang tak tuntas, tersembunyi, tak pernah diucapkan.
drip... drip...
"Kalau besok aku masih belum bertemu... apa aku harus menyerah?" tanyanya pada bayangan dirinya di jendela. Tapi hatinya bergeming. “Aku nggak bisa menyerah begitu saja, kan?”
Langkahnya kembali ke tangga, membawanya naik ke kamarnya. Meski dadanya terasa lebih ringan, ada sesuatu yang masih tertahan di sana. Bayangan Ryan, sikap dinginnya, semua itu membuat Hana merasa ingin tahu, tapi sekaligus takut untuk mencari jawaban.
Dengan napas panjang, Hana memejamkan mata. 'Besok...' batinnya pelan, seakan berjanji pada dirinya sendiri.
Besok, ia akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, entah apapun yang harus ia hadapi.
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂