Nai, seorang wanita yang menjadi janda diusia yang masih muda dan memiliki dua orang anak yang berusia enam tahun dan tiga tahun.
Suami tercinta meninggalkannya demi wanita lain. Tudingan dan hinaan dari para tetangga acap kali ia dengar karena kemiskinan yang ia alami.
Akankah Naii dapat bangkit dari segala keterpurukannya?
Ikuti kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
empat
Pagi menjelang. Naii dan juga Ahnaf baru saja selesai shalat subuh berjamaah, sedangkan Aliyah masih meringkuk diatas tempat tidur.
"Kakak, hari ini kan masih libur sekolah. Jagain adik, ya. Ibu mau pergi mulung, buat beli makanan," Pesan Naii pasa si Sulung.
"Kakak ikut, Bu. Biar bantuin bawa barangnya, nanti ibu kepayahan kalau dapat banyak," ujarnya menawarkan bantuan. Biasanya Naii membawanya, namun saat ini Aliyah masih tertidur dan tidak mungkin dibangunkan, apalagi suasana masih sangat gelap dan udara juga sangat dingin.
"Nanti siang saja kita mulung sama-sama. Hari masih terlalu subuh ini, kamu jagain adik," Naii menatap penuh pengharapan pada si sulung.
"Iya, Bu," jawabnya lemah, sembari menganggukkan kepalanya.
Naii tersenyum tipis. "Jangan nakal ya, dan jangan menyusahkan tante Fhitry," pesan Naii lagi sebelum benar-benar berangkat pergi.
Si sulung kembali menganggukkan kepalanya, dan mencoba menjaga amanah sang ibu.
Naii meraih karung berukuran besar, dan tak lupa hijab lusuh yang selalu menemaninya. Ia hanya memiliki dua buah hijab saja sebagai pengganti jika satunya sudah terlalu kotor.
"Bu," Panggil si sulung.
"Ya," Naii menoleh kembali ke arah puteranya.
"Ini, jaket ibu ketinggalan, nanti ibu kedinginan," ucapnya, lalu setengah berlari memberikan jaket yang biasa Naii pakai untuk menjajakan kue dagangannya.
"Makasih sayang," ucap Naii, lalu mengusap ujung kepala puteranya, dan segera berlalu.
Ia terpaksa sepagi ininharus memulung rongsokan, sebab tak lagi memiliki sepeser uangpun. Ia tidak mungkin terus-terusan bertopang pada Mbak Fhitry yang telah memberinya tumpangan tempat tinggal.
Naii ingin kembali mengumpulkan modal untuk ia dapat lagi berdagang kue keliling, dan bermiat merubah hidupnya.
Sebab Rabb sendiri memerintahkan: Ia tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika tidak kaum itu sendiri yang merubahnya :QS. Ar'rad:11
Ia berharap disubuh yang masih dingin ini mendapat sebagian rahmat dari sang pemberi rezeki.
Wanita itu berjalan menyusuri jalanan sembari matanya liar mencari botol-botol bekas minuman barang-barang yang sudah dibuang pemiliknya ditempat sampah.
Udara dingin tak mematahkan semangatnya untuk menjemput rezeki yang sudah dijanjikan Rabb pada setiap makhluknya, asalkan makhluk itu mau mencarinya dan tidak bermalas-malasan.
Naii mulai mengumpulkan barang-barang yang ditemuinya. Botol-botol minuman plastik ia pisahkan dengan kaleng minuman yang terbuat dari aluminium, karena harganya yang berbeda jauh.
Naii akan merasa tersenyum saat menemukan kaleng minuman yang terbuat dari aluminium, sebab bayangan untuk membeli sebungkus nasi untuk kedua anaknya akan jelas didepan mata.
Matahari mulai meninggi, dan terlihat orang-orang sudah berlalu lalang dengan aktifitasnya masing-masing.
Aliyah sudah terbangun, dan ia melihat Naii tak berada disisinya. "Ibu, ibu," rengeknya sembari mengusap kedua matanya.
Ahnaf yang masih sibuk mengerjakan tugas sekolahnya, bergegas menghampirinya. "Ibu keluar cari uang, dik. Diam ya.. Sini main sama kakak," bocah laki-laki itu mencoba menenangkan sang adik.
"Liyah mau Ibu," rengeknya dengan semakin keras.
Ahnaf memeluk sang adik. "Ssssstt.. Jangan menangis, nanti kedengaran sama ayah adik dimarahi. Adik tidak maukan dimarahi ayah?" si Kakak mencoba menakuti adiknya.
Dan ternyata jurusnya berhasil, ia mampu membuat Aliyah terdiam dengan cepat, sebab sang adik sangat takut dengan ayah mereka.
"Nah, gitu dong. Adik main sama kakak saja, ya," ucap Ahnaf lagi.
Aliyah menganggukan kepalanya.
Sementara itu, Naii masih mencari rongsokan yang ia dapatkan sangat lumayan banyak dari menyusuri jalanan. Ia terlihat sangat kesusahan untuk membawanya, namun bayangan untuk membeli sarapan untuk anak-anaknya, membuatnya kembali tersenyum menghapus rasa lelahnya.
Dikejauhan terlihat dua pemulung yang sama dengannya berjalan menghampirinya. "Heei, anak baru, ini kawasan kami. Kalau mulung jangan mengarah kemari!" hardik salah seorang pemulung yang menggunakan topi capil untuk menghindari wajahnya dari sengatan matahari.
Naii menatap keduanya. Mengapa mengumpulkan barang rongsok saja harus ada larangan, bukankah jalanan ini milik semua orang. Tetapi Naii lagi tak ingin berdebat, ia memilih untuk menghindari kedua orang tersebut.
Naii mengambil jalan yang berbeda, lalu kembali lagi memulung dan berharap dua karung berukuran besar yang dibawanya segera terisi penuh.
Nai melirik jam didinding warung yang berada dipinggir jalan. Waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Ia harus berpacu dengan waktu, sebab Aliyah akan sedikit rewel, dan ia kasihan dengan Ahnaf yang nantinya akan kewalahan.
"Aku jual saja yang sudah terkumpul, nanti mencari lagi jika sudah agak siangan," gumam Naii lirih.
Naii menuju tempat pengepul rongsokan. Betisnya sudah sangat keram karena terlalu jauh berjalan dan beban berat dari dua karung yang dibawanya.
Hari ini ia sedikit beruntung dengan mendapatkan banyak kaleng minuman yang terbuat dari alumunium.
Tampak orang sudah sangat ramai dipengepul. Seperti mereka pemulung yang bekerja pada malam hari dan menjualnya pagi ini.
Setelah mendapatkan giliran antriannya, ia menyerahkan barang rongsokan yang didapatnya kepada agen yang siap menimbang rongsokan hasil kerja kerasnya hari ini.
Setelah penghitungan yang akurat, Naii mendapatkan hasil 25 ribu dari semua rongsokkan yang kumpulkan tampak menggunung dalam karung besar, tetapi ia mencoba bersyukur.
Naii melipat karungnya, lalu berjalan menuju pulang dan ingin singgah membeli sebungkus nasi untuk sarapan kedua anaknya yang sudah sangat telat jika dikatakan sarapan.
Ia singgah diwarung pinggir jalan, lalu memesan sebungkus nasi. Saat menunggu pesanannya siap, tanpa sengaja ia melihat Hardi sedang berbocengan dengan wanita yang menggunakan pakaian sangat minim menggunakan motor baru. Entah motor siapa yang ia pakai.
"Bang Hardi," ucapnya lirih,
Namun entah apa yang membuatnya tidak merasa sakit hati. Apakah hilang sudah cinta dihatinya, terkikis setiap penderitaan yang selalu ditorehkan oleh pria tersebut.
Ia memandang dengan nanar, rasa sesak saat mengingat pria itu merampas uang miliknya membuat ia sangat sakit hati, namun ia mencoba bersabar, karena itu semua tidak akan terjadi bila saja Allah tak meridhai-Nya.
Naii menarik nafasnya dengan berat, mencoba mengikis semua kenangan buruk dari pria tersebut.
"Mbak, ini pesanannya," pedagang itu menegurnya, dan membuyarkan lamunannya, "Cantik-cantik koq suka melamun, gak baik tau, pamali," pedagang yang merupakan seorang pria yang masih muda dan ditaksir sekitar usia 30-an tahun itu tersenyum manis padanya.
Cantik? Dan kata itu baru ia dengar lagi setelah sekian lama tak lagi ada yang menyebutkannya. Sebab, kata itu pertama kali diucapkan Hardi saat mereka masih awal bertemu, dan perlahan seiring waktu pernikahan mereka, kata itu tak lagi didengarnya.
Haruskan Naii merasa terlonjak girang mendengarnya? Tidak, Naii saat ini tak ingin lagi terjebak dengan kata tersebut, sebab pria baginya sama saja, manis diawal dan menorehkan luka mendalam diakhirnya.