Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wejenang tak Terduga
Matahari perlahan merangkak naik, menyinari sisa-sisa embun yang masih menempel di dedaunan. Pos penjaga yang semalam penuh dengan canda tawa kini mulai sepi. Semua orang telah bangun, mengemas barang-barang mereka, dan bersiap untuk perjalanan pulang. Hari yang melelahkan itu akhirnya berakhir, menyisakan rasa puas sekaligus kebanggaan atas pengalaman mendaki yang keren.
Setelah berpamitan dengan para penjaga pos pendakian, satu per satu pendaki menaiki kendaraan mereka dan meninggalkan tempat tersebut. Hanya tersisa lima orang yang masih duduk santai di area itu—Malik, Bimo, Susi, Rizal, dan Naima. Kelimanya memilih untuk tidak terburu-buru. Mereka sepakat menggunakan transportasi umum, ingin menikmati perjalanan pulang dengan sedikit tantangan tambahan.
"Jadi, semua udah siap, kan?" Rizal bertanya, memastikan tidak ada barang yang tertinggal.
"Siap, Bang," jawab Bimo sambil menepuk tas punggungnya.
Susi memperhatikan sekeliling. "Beruntung banget kita masih bisa santai gini. Yang lain pada buru-buru banget ya."
Naima hanya mengangkat bahu, sedikit tersenyum meski wajahnya masih menyimpan letih. Perjalanan pulang yang panjang seolah menjadi jeda sempurna untuk merefleksikan semua yang telah terjadi selama pendakian.
Malik berdiri di tepi jalan, memandangi Gunung Dieng yang perlahan tertutup awan tipis. Pemandangan itu memanggil kembali ingatannya akan semua yang terjadi selama pendakian. Beberapa hal memang terasa tidak terduga—dan sebagian lainnya begitu keren hingga sulit untuk dilupakan. Dia menarik napas panjang, membiarkan udara segar memenuhi dadanya. Ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya, meski dia belum bisa menamainya.
“Bimo, woy Malik! Ayo, bengong aja lu!” suara Rizal memecah lamunannya.
Malik tersentak, seolah kembali ke dunia nyata. "Iya, iya, bentar lagi," balasnya sambil tersenyum kecil. Dia bergegas menghampiri teman-temannya yang sudah siap dengan barang bawaan mereka.
“Ngapain lu melamun? Kangen Dieng?” goda Bimo sambil menepuk bahu Malik.
Malik hanya menggeleng kecil. "Cuma mikir, kita bakal balik ke sini lagi atau nggak."
“Pasti lah!” sahut Bimo semangat. “Next time, kita harus coba rute yang lebih ekstrem.”
“Kalau gue sih mau nyantai aja,” Susi menimpali sambil tertawa kecil. “Nggak kebayang lagi kalau kaki sampai pegal-pegal kayak kemarin.”
Naima, yang berjalan di belakang mereka, hanya diam. Namun, sesekali dia melirik Malik dari sudut matanya. Sesuatu tentang pendakian ini terasa lebih rumit daripada yang dia bayangkan, terutama dengan kehadiran Malik.
"Udah, yuk, keburu panas nanti," ajak Rizal, menyuruh mereka bergerak.
Malik menarik tali ranselnya lebih erat dan tersenyum kecil. Di dalam hatinya, perjalanan pulang kali ini terasa lebih berat, seolah ada yang belum selesai dari pendakian mereka—atau mungkin dari dirinya sendiri.
...***...
Malik melangkah dengan santai, meski pikirannya sedikit gelisah. Entah kenapa, selama perjalanan pulang ini, dia merasa lebih sering berada di dekat Naima. Bukan karena sengaja, tapi seolah langkah mereka berdua terus menyelaraskan diri tanpa direncanakan. Di sisi lain, dua sejoli itu—Bimo dan Susi—terus menempel pada Rizal, seolah dia adalah magnet yang tak bisa mereka abaikan. Malik hanya melirik sesekali, sedikit lega mereka tidak mengusiknya.
Kejadian semalam masih terngiang di benaknya. Tatapan Naima yang penuh emosi, ucapan singkatnya yang tajam, dan langkahnya yang tegas meninggalkan Malik di tengah kegalauan. Dia merasa cukup bingung dengan semua itu, dan tidak siap harus menghadapi tambahan drama dari tingkah Bimo dan Susi.
Namun, justru keheningan antara dia dan Naima ini yang membuat Malik semakin tak tenang. Sesekali dia mencuri pandang ke arahnya. Naima tampak tenang, bahkan terlalu tenang untuk seseorang yang semalam begitu emosional. Dia berjalan dengan ransel di punggung, wajahnya terarah ke depan tanpa sedikit pun melirik Malik. Seolah-olah dia tidak ada di sana.
“Kamu kelihatan capek,” ucap Malik akhirnya, mencoba memecah keheningan.
Naima menoleh sedikit, ekspresinya datar. “Yah, mendaki kan memang bikin capek.”
Malik mengangguk, mencoba membaca raut wajahnya, tapi gagal. “Tapi kamu kuat juga, ya.”
Naima mendengus kecil, suara yang samar-samar terdengar di antara tawa dan sindiran. “Kuat? Kita sama-sama tahu apa yang terjadi saat pulang, ‘kan.” Ucapannya ringan, tetapi jelas memuat nada mengingatkan.
Malik terdiam sejenak, seperti butuh beberapa detik untuk mencernanya. Namun, begitu memori itu kembali, wajahnya menunjukkan sedikit penyesalan bercampur rasa bersalah.
Ia mengingat jelas kejadian saat mereka menuruni Gunung Dieng beberapa bulan lalu. Hujan deras turun tanpa ampun, disertai suhu dingin ekstrem yang tiba-tiba menyerang. Naima dan Mikaya mulai gemetar karena kedinginan, sementara beberapa anggota lainnya hampir kehilangan keseimbangan di jalan setapak yang licin. Malik dan Bimo akhirnya harus berlarian, membantu satu per satu anggota tim yang nyaris tumbang.
"Ya... aku ingat," ucap Malik akhirnya, nada suaranya melembut. Matanya terpaku pada Naima, mencari cara untuk menebus ucapan sebelumnya yang kurang tepat. "Itu kejadian yang ga terduga.”
“Ya,” balas Naima pelan, seperti sebuah bisikan.
Percakapan mereka terputus di sana. Malik tidak tahu harus menjawab apa lagi. Naima kembali fokus pada jalan di depannya, meninggalkan Malik dengan pikirannya yang berkecamuk. Dia tahu dia harus mengatakan sesuatu—mungkin meminta maaf atau menjelaskan sesuatu—tapi semuanya terasa salah waktu. Ah, perjalanan pulang ini terasa lebih panjang dari yang dia bayangkan.
...***...
Bimo merangkul Malik, saat mereka berdua berdiri menunggu angkutan umum menuju Wonosobo. Dalam diam, ekspresi Bimo tampak kecewa, matanya menatap tajam ke depan, seolah ada sesuatu yang mengganjal. “Lo ngapain sih, Malik?” gumamnya, meski cukup pelan agar tidak terdengar oleh orang lain.
Malik hanya mengangkat bahu, matanya terfokus pada jalan yang tampak lengang. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, tidak ada reaksi apapun yang bisa membuat Bimo merasa sedikit lebih lega. Padahal, mereka sudah susah payah mengeksploitasi Rizal demi mendekatkan Malik ke Naima—tapi apa yang terjadi? Malik hanya diam selama perjalanan. Tidak bicara apa-apa. Bimo merasa seolah-olah seluruh usaha mereka sia-sia.
Susi yang sedang bersama Naima dan Rizal, tak jauh dari mereka, juga mulai memperhatikan interaksi antara Malik dan Bimo. Susi sedikit tertawa dalam hati, meski kesalnya tak jauh berbeda dengan Bimo.
"Ya ampun, gimana mau berkembang kalo sepanjang perjalanan lo cuma diem-diem aja?" ucap Bimo berbisik, suaranya mengandung nada kesal yang tak bisa disembunyikan.
Malik mendengus pelan, matanya terfokus ke luar jendela, berusaha mengabaikan Bimo. "Nggak gampang ngajak Naima ngomong," ujarnya pelan, seolah merenung dalam diam.
Bimo tertawa sinis, menatap Malik yang sepertinya semakin tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Tapi ya ga dengan biarin kesempatan Lo pergi dong, Malik,” ucap Bimo gemas.
Malik membuka mulut, hendak membalas dengan protes, namun sebelum kata-kata bisa keluar, suara Rizal terdengar lebih dulu. “Oi, Malik, Bimo! Ayo naik, angkutannya udah datang,” serunya dari jauh, menghentikan percakapan yang mulai mengarah ke ketegangan.
Mereka bergegas naik ke dalam mobil. Keadaan mobil sedang sesaknya. Malik dan Rizal duduk di samping supir, sementara Naima dan Susi memilih duduk di pojokan belakang. Bimo duduk di belakang supir, menatap ke depan dengan ekspresi sedikit kesal. Mobil pun mulai bergerak, membawa mereka melewati perjalanan panjang yang diperkirakan akan memakan waktu sekitar satu hingga satu setengah jam.
Di dalam mobil yang penuh keheningan itu, Bimo tak bisa menahan rasa frustrasinya. Matanya tertuju pada kaca spion, dan dia melihat pantulan Malik di sana. Tangan Bimo bergerak menuju saku celananya, mengeluarkan ponsel pintar yang dia miliki. Tanpa bicara lebih lanjut, ia mengisyaratkan pada Malik lewat kaca spion untuk membuka ponselnya.
Malik mengernyit, namun akhirnya membuka ponselnya. Sebuah notifikasi grup dengan nama "Malik si pujangga lapuk" muncul di layar. Malik mendengus, menyembunyikan sedikit rasa malu yang mendalam.
Bimo membuka percakapan di grup dengan gaya yang formal, seolah-olah dia sedang memimpin rapat resmi. "Selamat datang para member, tujuan pembuatan grup ini adalah untuk membantu teman kita yang bernama Malik untuk mengejar pujaan hatinya," tulisnya dengan serius. "Baiklah, kepada saudara Malik, adakah sepatah dua patah kata yang ingin disampaikan?" lanjut Bimo pada baris chat berikutnya, memberi ruang bagi Malik untuk bereaksi.
Beberapa detik kemudian, chat itu muncul di layar ponsel Malik. Wajahnya yang awalnya tenang, berubah menjadi cemas. Malik mengernyit, melihat pesan itu, dan kemudian mengetik perlahan. “Lo berlebihan Bim,” tulisnya, sedikit kesal. Namun, di akhir kalimat, dia menambahkan, "But, thanks. Gw akan usaha sendiri”
“Oh ayolah, kalo Lo terus begini sampe kapanpun Lo ga akan dapetin yang Lo mau, Malik,” tegur Bimo "Terus apa itu tadi, 'kamu kuat ya.' Duh, Malik, gue pengen ketawa dengernya, kalo Naima yang hampir tumbang aja Lo bilang kuat, terus Lo yang nerobos hujan untuk nyelamatin pendaki yang lain tuh apa, hero?" ejek Bimo, memperlebar senyum di wajahnya saat menulis kalimat itu.
Susi, yang merasa Bimo dalam memberikan dorongan langsung menimpali percakapan di grup. “Lo kayanya berlebihan deh, Bim,” tulisnya, sambil menambahkan emoji wajah kesal, seolah mengingatkan Bimo itu keputusan Malik.
Bimo tidak gentar dan malah membalas dengan cepat. “Sorry, tapi gw serius, Malik,” tulisnya dengan tegas. “Kalo Lo terus kaya begitu, ga akan ada perkembangan. Gue nggak mau Lo terus terjebak di tempat yang sama, lo paham 'kan maksud gw?”
Malik mengusap wajahnya dengan tangan, menghapus kelelahan yang semakin terlihat. Layar ponselnya memantulkan cahaya biru yang semakin redup. Jari-jarinya mengetik dengan cepat, tapi setiap kata terasa berat, seakan kata-kata itu seperti beban yang harus dipikulnya.
“Gue tahu,” tulisnya singkat. “Cuma ya gitu, setiap kali gw mulai dia cuma bales singkat.”
Susi membaca pesan itu, merasa ada ketegangan yang menggantung di antara mereka. Dia tahu tidak mudah terbuka dengan orang baru. Namun melihat Malik menunjukan kecemasannya menjadi penanda bawa lelaki itu cukup frustasi. Susi mengambil napas dalam-dalam sebelum mengetik balasan.
“Kalau lo bingung mau ngomong apa sama Naima,” tulis Susi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Lo bisa mulai dari sesuatu yang umum, kaya abis ini kita mau ke Wonosobo. Lo bisa ngomongin makanannya, tempat-tempat penting, atau apapun yang nyambung... Lo nggak perlu terlalu pusing sama apa yang dia rasain. Mulai aja pelan-pelan.”
Tidak ada balasan dari Malik atas sarannya. Susi melirik Bimo, dan pandangan mereka bertemu sejenak. Susi mengerutkan dahinya, bertanya-tanya tentang Malik. Bimo membalasnya dengan mengangkat bahu, seperti memberi sinyal bahwa dia juga tidak tahu harus bagaimana.
Susi menghela napas pelan. Meskipun Malik tidak membalas, Susi tahu betul bahwa dia pasti sudah membaca pesan yang dia kirimkan. Karena itu, Susi kembali berkutat dengan ponselnya, mengetik dengan perlahan, menyusun kata-kata yang lebih lembut.
“Lo nggak harus selalu punya jawaban atau ngejar-ngejar dia. Coba aja kasih dia ruang. Kalau dia nyaman, semuanya bakal ngalir sendiri,” tulis Susi dengan hati-hati, berharap Malik bisa mencerna pesannya dengan tenang.
Tak lama kemudian, Susi kembali mengetik, menambahkan pesan baru. “Malik, kadang orang itu bisa jadi malu-malu. Mungkin dia nggak ngungkapin langsung, tapi bukan berarti dia nggak peduli. Coba aja terus, pelan-pelan, tanpa paksaan.”
Lalu, Susi menambahkan pesan terakhir dengan sedikit canda, berharap bisa meringankan suasana. “Oiya Malik, satu hal dari gw. Sejauh gw kenal Naima. Dia ga suka jadi pusat perhatian. Jadi ya… hindari kata-kata ini,” tulisnya sambil men-tag kata-kata Bimo yang sempat tertulis di obrolan mereka, "Terus apa itu tadi, ‘kamu kuat ya’? Duh, Malik, gue pengen ketawa dengernya. Kalo Naima yang hampir tumbang aja Lo bilang kuat, Lo yang nerobos hujan buat nyelamatin pendaki lain tuh apa, hero?"
Malik yang membaca pesan Susi meringis, sekaligus merasa malu. Wajahnya memerah sedikit, dan dia hanya bisa tersenyum kaku, seolah baru saja melakukan kesalahan besar yang tidak bisa diubah. "Oke, thanks sarannya gaes," tulis Malik dengan cepat, mencoba meredakan rasa canggung yang mulai merayap.
Susi membalas dengan senyum nakal, "Siap, Malik. Sekedar penyemangat untuk lo." Setelah itu, dia mengirimkan sebuah foto dirinya bersama Naima, yang sedang memandang jalanan sambil bertopang dagu dengan ekspresi penuh pemikiran. Di bawah foto itu, Susi menambahkan teks, "Perjuangkan aku, bang!" yang membuatnya terkekeh kecil.
Susi tertawa dalam hati, mengetahui betul bahwa aksinya pasti berhasil membuat Malik merasa sedikit terkejut atau bahkan malu. Foto itu, dengan caption yang sedikit bercanda, hanya menambah kekonyolan situasi yang sudah cukup lucu.
Malik hanya bisa tersenyum kecut, sedikit merasa canggung dengan tingkah laku mereka. Dia menghela napas dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku dengan gerakan agak terburu-buru.
Bimo, yang sedari tadi menyimak obrolan mereka dengan keheningan, akhirnya menyudahi aksinya. Dia menatap layar ponselnya sejenak sebelum menatap Susi dan Malik, "Ya, terkadang perempuan memang lebih perasa," gumam Bimo dengan nada yang penuh makna.
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak