Laras terbangun di tubuh wanita bernama Bunga. Bunga adalah seorang istri yang kerap disiksa suami dan keluarganya. Karna itu, Laras berniat membalaskan dendam atas penyiksaan yang selama ini dirasakan Bunga. Disisi lain, Laras berharap dia bisa kembali ke tubuhnya lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Elmu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gosip
Seperti yang sudah dia duga, gara-gara Aksa menemuinya pagi tadi, dia kembali dihujani tatapan julid. Terutama dari Dina dan Loli, si tukang gosip nan reseh.
"Pasti pak Aksa diguna-guna. Yakin deh."
Laras menyimpan alat kebersihan di tempatnya. Dia dengar, tapi malas berdebat. Anjing memang suka menggonggong, jadi biarin aja.
Dan saat dia hendak keluar, dengan sengaja Dina menabrak bahunya.
Laras mendecak. Menyorot galak.
"Apa? Gak terima, lo?" sinis Dina.
Laras merotasikan bola matanya. Tidak berniat menanggapi.
"Heh! Jangan sok, lo! Mentang-mentang pak Aksa datengin lo, gak akan ngerubah kalau lo itu gak pantes buat pak Aksa."
Laras menurunkan tatapannya. Menyungging senyum miringnya.
"Terus?"
"Lo itu cuma pengganggu hubungan pak Aksa sama mbak Lita."
Laras terkekeh. Menatap dua gadis yang dari kedatangannya, paling menampakkan ketidak sukaan padanya.
"Kalian babunya Lita, ya?"
Seketika wajah keduanya berubah. "Heh! Mulutnya dijaga, ya!"
Laras tertawa. "Terus? Segitunya belain dia. Dibayar berapa sih?" menaikkan sebelah alisnya.
Wajah Dina memerah. Dia tampak marah, tapi juga pias. Laras bersidekap, menyungging senyum remeh.
Plak!
Satu tangan melayang dari arah samping mengenai pipinya. Laras meringis. Serangan tak terduga. Tatapannya beralih ke sebelahnya. Menyorot tajam.
"Kenapa? Gak nyangka ya, gue berani tampar," Loli menyeringai remeh.
Laras meloloskan tawanya. Ya Tuhan ... Dia benar-benar gak habis pikir, ada karyawan rendahan seperti mereka seberani itu memperlakukan istri bossnya.
Dalam sekejap tawanya berubah menjadi singa yang lagi marah. Dengan gerakan cepat merauk mulut yang sedari tadi banyak bicara itu.
Dan, keributan tak terelakkan.
.
.
Laras berantakan. Tapi, gak separah dua wanita di sebelah sana. Mereka bahkan nangis-nangis kesakitan. Rambut kusut, beberapa malah bercerai berai di lantai. Di pipi dan tangan ada bekas cakaran segar. Apalagi kalau bukan akibat dari serangan membabi butanya.
Kepala divisi sampai turun tangan gara-gara kehebohan yang terjadi karna keributan itu.
Wanita berumur empat puluhan itu menghembuskan napas kasar berkali-kali. Menatap tiga bawahannya itu bergantian. Meraup wajahnya kasar. Nampak jelas wanita itu marah.
"Dia yang mulai duluan, bu Desi. Kami hanya memberi tahu kalau dia salah. Tapi dia malah marah-marah dan menyerang kami."
Laras menyeringai kecil. Aduan macam apa itu? Huh! Mereka yang bikin masalah duluan, mereka juga yang berlagak jadi korban.
Wanita yang dipanggil Desi itu menatap dirinya. Melontarkan tatapan kesalnya.
"Saya sebenarnya malas mengatakan ini, tapi, sebagai istrinya presdir, bukannya seharusnya anda jaga sikap?"
Oh, itu artinya wanita itu mempercayai aduan mereka? Laras sih, ketawa aja.
"Bagaimana kalau sampai pak Aksa tahu, istrinya justru bertindak arogan? Beliau akan marah besar. Dan anda yang akan dirugikan. Jadi, sebelum anda bertindak gegabah, sudah seharusnya jangan sampai pak Aksa mendengarkan hal memalukan ini."
Laras mengangkat pandangannya. "Kenapa begitu?"
Desi menatap remeh. "Karna pak Aksa tidak akan membela anda. Beliau paling tidak suka ada keributan di kantornya. Apalagi, kalau sampai tahu penyebabnya istrinya sendiri."
Laras tertawa kecil. "Oh ya?"
"Sudah bukan rahasia umum. Kami juga tahu, bagaimana hubungan anda dengan pak Aksa."
Mengangkat bahunya malas, Laras beranjak dari duduknya. "Terserah mulut kalian sajalah," tukasnya, malas membuang-buang tenaga.
"Tunggu! Mau kemana, anda?"
Laras menghentikan langkahnya. Menoleh. "Mau kemana aku, bukan urusan anda," santainya.
"Sudah saya bilang, jangan sampai pak Aksa tahu."
Laras mengerutkan dahi. Sejurus kemudian mengiaskan senyum miring. "Tenang saja, aku bukan pecundang," tukasnya.
"Terus, kenapa anda pergi?"
"Bukan urusan anda," ketusnya. "Dan lagi ...." menjeda ucapannya. Melempar pandangannya ke Loli dan Dina, yang segera keduanya langsung menghindari tatapannya.
"Dua lawan satu saja masak kalah. Apa gak malu?" ejeknya.
Mereka berdua bungkam. Tak berani berkata-kata.
Hah, percuma menghadapi pecundang. Laras terlalu malas berada disini. Se-toksic itu orang-orang di kantor Aksa.
.
.
Aksa menatap kesal pada office boy yang mengantar makanannya.
"Dimana Bunga?"
"Maaf, pak. Bu Bunga ...."
"Suruh dia yang kesini."
Yang disuruh menunduk takut-takut.
"Kenapa diam? Cepat bawa keluar. Dan suruh Bunga yang kesini! Atau, kamu saya pecat!" bentaknya. Kesal karna gerakan lambat OB itu.
"Ba-baik, pak." OB itu buru-buru mendorong kembali troli. Ketakutan.
Aksa mendesah kasar. Melonggarkan dasinya. Membuatnya kesal saja.
"Lagian kemana dia, kenapa malah menyuruh orang lain yang mengantarnya. Apa dia menyuruhku makan dengan OB itu? " gerutunya, kesal.
Sepuluh menit. Bahkan lebih. Tapi yang ditunggunya gak kunjung muncul-muncul. Kekesalan Aksa bertambah.
"Apa dia sengaja menghindariku?" duganya. Gara-gara semalam?
Aksa beranjak dari duduknya. Dia gak sabar. Namun, urung, saat pintu di buka dari luar. Senyumnya terbit, melihat yang ditunggunya akhirnya muncul.
Aksa membenarkan duduknya. Bersikap tenang, menjaga gengsinya kalau dia sedari tadi menunggu kedatangan gadis itu. Pandangannya tak terlepas dari gerak-gerik gadis yang tengah menata makanannya itu. Aksa menautkan alisnya. Sesuatu mengalih perhatiannya. Laras memakai topi yang dirundukkan, juga masker. Aksa menelesik wajah itu. Rautnya berubah.
Makanan sudah tertata dimeja. Siap santap. Gadis bertopi itu memegang gagang troli. Hendak membawanya keluar. Namun ... Dengan cepat Aksa mencengkram tangannya. Gadis itu terkejut. Ditambah, Aksa menarik topi dan melepas maskernya dengan gerakan cepat.
"Kamu ....." tatapannya mendingin.
Gadis itu menegang.
.
.
Hendak menepis, tapi gerakannya kalah cepat dengan Aksa. Bahkan pria itu menyentuh wajahnya. Laras membuang tatapannya ke arah lain. Sorot Aksa terlalu tajam menusuknya.
"Apa yang terjadi?"
Ucapannya saja jadi sedingin itu.
"Gak papa," menyahut singkat. Netranya bergerak sembarang.
"Jawab jujur."
Laras mendesah pelan. "Nabrak pohon," jawabnya asal.
"Gak masuk akal," Aksa menarik dagunya. Membuatnya terpaksa bersitatap pandang dengan iris legam itu. Laras menelan salivanya. Aksa kok nyeremin sih.
"Jujur, Laras."
Laras mengela napas. "Ada bentrok dikit. Tapi gak sakit sih," jawabnya enteng. "Awh! Ish!" reflek menepis tangan Aksa yang tiba-tiba menekan lukanya.
"Katanya gak sakit," enteng banget Aksa menyahut.
"Ya tapi gak dipencet juga kali," sungutnya, mengelus pinggiran lukanya.
Aksa berlalu, mengabaikan gerutuannya. Dasar, si cuek nyebelin.
Gerutuannya terhenti, saat Aksa kembali dengan kotak p3k-nya. Bibirnya langsung bungkam. Aksa meneteskan alkohol ke kapas. Hendak menyentuhkan ke pipi Laras.
"Aku bisa sendiri."
Tapi sorot tajam Aksa membuatnya urung. Akhirnya dia biarkan pria itu mengobati lukanya. Termasuk menempelkan plester. Dalam beberapa hari saja, sudah dua kali Aksa mengobati dirinya. Dan, lagi-lagi di ruangan ini.
"Siapa yang menganggumu?" Aksa melipat tangan, menyorot Laras.
"Bu ...."
"Kamu tidak lupa, kan, aku pemilik tempat ini. Berbohong pun percuma. Aku bisa menyelidikinya langsung," Aksa lebih dulu memotong ucapannya.
Laras mendesah pelan. "Oke, gak usah diselidiki. Gak sepenting itu juga," ujarnya. Daripada malah bikin runyam.
Aksa masih menunggunya.
"Gue ada sedikit bentrok sama anak OG. Biasalah, debat dikit. Kayaknya lo juga gak heran sama tingkah gue. Intinya, yah, gue yang bikin masalah duluan. Tapi udah beres sih. Udah diurus sama kepala bagian. So, kalau lo mau marah, marahin gue aja."
Aksa tetap diam. Tapi sorotnya biasa saja. Tidak marah, juga gak kaget. Lagian apa yang diharapkan? Aksa juga pasti gak sekali menghadapi situasi ini. Menilik seberani itu mereka sama dia, berarti dulu pas Bunga juga pernah. Jadi, membela juga kayaknya percuma. Seperti yang mereka bilang, Aksa gak bakal membelanya.
"Pulang saja."
Hah? Laras mengerjapkan matanya.
"Pulang?"
Aksa mengangguk. "Aku antar. Ayo."
"Eh, tapi ...."
Aksa menarik tangannya. Membawanya meraih kunci mobil, dan tanpa melepas membawanya keluar. Aksa serius, membawanya pulang tanpa mendengar penolakannya.
Sepanjang jalan, Aksa tidak mengatakan apa-apa. Namun, bisa Laras lihat, ada gurat kekesalan yang terpendam dari sorot Aksa. Sudah dia duga, Aksa marah padanya. Dan pria itu membawanya pulang karna tidak mau nama baik kantor tercemari gara-gara dia membuat masalah.
Sudahlah, apa yang dia harapkan? Aksa membelanya? Haha ... Mana mungkin.
"Aku mau ke rumah mama," tukas Laras, memecah keheningan. Berkata tanpa melihat ke arah Aksa.
"Hmm." Dan hanya deheman singkat sebagai balasan atas permintaannya.
Setelah itu kembali hening. Hanya deru halus mesin yang terdengar.
Sampai di rumah mama, Laras membuka pintu sebelahnya. Masih enggan menatap Aksa.
"Pulang kantor aku jemput," ujar Aksa.
"Ya." Gantian Laras yang menjawab singkat. Tanpa menunggu Aksa pergi, Laras berlalu lebih dulu. Entah kenapa, dia kesal karna seolah Aksara ikut menyalahkannya. Padahal, harusnya dia tidak heran lagi. Apa yang dia harapkan?
"Eh, sayang .... Sama siapa?"
Mama menyambutnya hangat begitu dia nongol di ruang tengah. Mama sedang merangkai bunga.
"Aksa, Ma," sahutnya, tersenyum tipis.
"Terus Aksanya mana?"
"Em, balik lagi ke kantor. Cuma nganterin."
"Oow. Kamu udah makan? Loh, ini pipinya kenapa?"
Sepertinya Laras lupa dengan keadaan wajahnya. Untung saja dia bisa memberi alasan, yang jelas lebih masuk akal dari yang dia berikan pada Aksa. Dan untungnya mama percaya.
Mengobrol dengan mama setidaknya membuat pikirannya lebih tenang. Dia dan mama merangkai bunga-bunga pesanan khusus klien dengan sesekali terdengar tawa akrab.