Di Bawah Umur Harap Minggir!
*****
Salahkah bila seorang istri memiliki gairah? Salahkah seorang istri berharap dipuaskan oleh suaminya?
Mengapa lelaki begitu egois tidak pernah memikirkan bahwa wanita juga butuh kepuasan batin?
Lina memiliki suami yang royal, puluhan juta selalu masuk ke rekening setiap bulan. Hadiah mewah dan mahal kerap didapatkan. Namun, kepuasan batin tidak pernah Lina dapatkan dari Rudi selama pernikahan.
Suaminya hanya memikirkan pekerjaan sampai membuat istrinya kesepian. Tidak pernah suaminya tahu jika istrinya terpaksa menggunakan alat mainan demi mencapai kepuasan.
Lambat laun kecurigaan muncul, Lina penasaran kenapa suaminya jarang mau berhubungan suami istri. Ditambah lagi dengan misteri pembalut yang cepat habis. Ia pernah menemukan pembalutnya ada di dalam tas Rudi.
Sebenarnya, untuk apa Rudi membawa pembalut di dalam tasnya? Apa yang salah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Meminta Dukungan Orang Tua
"Kita sudah sampai. Kamu yakin mau turun?" tanya Trian.
Setelah menempuh tujuh jam lebih perjalanan, akhirnya mereka tiba di depan rumah Lina. Tanpa pikir panjang, Lina melepaskan sabuk pengamannya dan berjalan memasuki pekarangan rumahnya. Ia melihat ayah ibunya tengah duduk bersantai di teras rumah. Trian menyusul di belakang.
"Lina! Ya tuhan!"
Ibu dan Bapak begitu senang melihat kepulangan putri mereka. Akan tetapi, sesaat kemudian mereka terkejut melihat kondisi wajah Lina yang penuh memar.
"Lina! Kamu kenapa?" tanya ibu seraya memeluk tubuh putrinya.
"Apa yang terjadi?" Bapak ikut bertanya khawatir.
"Kita bicara di dalam saja," ajak Lina.
Ibu melirik ke arah depan. Seorang lelaki berdiri tak jauh dari sana, wajahnya tampak tak asing.
"Itu Trian, ya?" tanya ibu memastikan.
Lina mengangguk.
"Trian, ayo ikut masuk dulu!" seru Lina.
Trian kembali melangkah. Ia membuntuti Lina masuk ke dalam rumah.
"Bapak, Ibu, apa kabar? Lama tidak bertemu." Trian menyalami kedua orang tua Lina dengan sopan. Ia duduk di ruang ramu setelah dipersilahkan.
"Yah, kabar kami baik. Ibu sampai pangling melihat kamu," guman Ibu. Ia tidak menyangka teman baik putrinya akan berkunjung kembali ke sana.
"Ini ceritanya bagaimana? Kok kalian bisa bersama? Terus, kenapa wajah Lina babak belur begitu?" Bapak berbicara agak ketus. Seakan lelaki tua itu menuduh Trian yang melakukannya.
"Kenapa Rudi tidak ikut, Nak? Ada masalah apa sebenarnya?" imbuh Ibu.
"Aku dipukuli Mas Rudi," ucap Lina.
"Apa?" Bapak dan Ibu terkejut bersamaan.
"Mana mungkin Rudi begitu. Dia anaknya baik sekali, masa tega memukulimu," ujar ibu. Mengingat menantunya sangat royal memberikan uang kepadanya. Ia anggap Rudi orang yang baik dan bertanggung jawab.
"Kami ada masalah sedikit. Mas Rudi tidak terima makanya sampai memukulku begini," ucap Lina.
Ia sengaja menceritakan apa yang dialami kepada keluarga untuk mendapat dukungan. Kalau sudah menyinggung kekerasan, pastilah orang tua akan membela anaknya. Lina hanya berharap agar segera bisa bercerai supaya masalahnya selesai.
Selama perjalanan ia termenung memikirkan awal kesalahannya. Mengapa ia bisa sampai salah memilih orang. Ia kira suaminya lelaki yang normal, dilihat dari sikapnya yang penyayang dan romantis ketika pacaran.
Akan tetapi, setelah menikah justru hubungan mereka semakin renggang. Suaminya jarang pulang, juga malas diajak tidur bersama. Rudi seolah tidak tertarik lagi kepadanya meskipun ia sudah berusaha memakai pakaian minim saat tidur.
Baru ia sadari sekarang jika selera suaminya bukan perempuan. Lina merasa pernikahannya hanya sekedar formalitas belaka. Rudi tidak benar-benar mencintainya. Nafkah uang dan segala hadiah ternyata untuk menutupi itu semua.
Lina sudah tidak tahu lagi harus berkata apa. Tetap mempertahankan pernikahan tentu saja ia tidak bisa. Ia ingin bercerai. Meskipun begitu, ia tidak mau masalah suaminya diketahui orang lain.
"Memangnya masalah apa? Kenapa Rudi bisa main pukul segala?" telisik Bapak.
"Lina tidak bisa cerita, Pak. Pokoknya kita tidak bisa bersama lagi. Lina mau bercerai!" Lina mengatakan keinginannya dengan tegas.
"Loh, loh ... Kok gampang banget bicara cerai. Kalau ada masalah kan harus dibicarakan dulu. Bapak Ibu juga belum bertemu suamimu," tegur Ibu.
"Masalahnya Mas Rudi sudah main tangan, Bu! Lina dipukuli. Ibu mau lihat Lina dipukuli lagi?"
"Kalau tidak percaya, bisa tanya Trian. Dia lihat sendiri aku dipukuli."
Ibu menoleh ke arah Trian. "Apa benar, Trian?" tanyanya.
Trian tersenyum kikuk. Ia seolah dibawa dalam masalah yang tidak ia mengerti. Lina juga tidak menceritakan apapun masalah kepadanya.
"Iya, Bu. Kebetulan saya tetangga Lina. Saya dengar suara ribut-ribut dari rumah Lina. Ternyata dia sedang dipukuli suaminya."
"Terus, masalah mereka apa?" tanya Bapak.
"Saya juga tidak tahu, Pak. Lina tidak mau cerita."
"Sudahlah, Pak. Masalah itu tidak penting. Yang paling penting, Rudi memang tega memukuli aku. Bahkan dia menjambak dan mencekikku seperti orang kesurupan."
"Mungkin kamu duluan yang memukul Rudi. Masa dia tiba-tiba marah kalau tidak ada sebab?" tepis Ibu.
"Aku tidak memukul dia sama sekali, Bu. Rudi yang justru marah-marah. Kalau sebab, pasti ada. Tapi itu tidak penting dibahas. Lina mau persetujuan Bapak Ibu untuk mendukung perceraianku!"
Bapak dan Ibu saling pandang. Mereka juga tidak tahu akan memberikan respon apa. Hal itu terlalu mendadak untuk mereka ketahui.
"Bagaimana kalau kita telepon Rudi dulu?"
"Jangan!" bentak Lina. Ia menyela sebelum ibunya benar-benar menghubungi suaminya.
"Pokoknya Bapak dan Ibu jangan sampai menerima telepon dari dia! Jangan memberi tahu aku ada di sini!"
"Itu tidak adil, Lina. Suamimu sudah banyak membantu keluarga kita. Masa kamu tidak mau memberi kesempatan kepada dia? Siapa tahu kalian hanya salah paham." Ibu terus berusaha memberi nasihat agar Lina tak mengambil keputusan secara gegabah.
Lina menghela napas panjang. Ia tak mungkin memberi tahu kondisi suaminya. Namun, jika ia tetap diam, orang tuanya pasti akan membela Rudi. Terlepas kali ini suaminya memang lepas kendali.