Pada abad ke-19, seorang saudagar China yang kaya raya membawa serta istri dan anaknya menetap di Indonesia. Salah satu anak mereka, Jian An, tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berwibawa. Ketika ia dewasa, orang tuanya menjodohkannya dengan seorang bangsawan Jawa bernama Banyu Janitra.
Pada malam pertama mereka sebagai suami istri, Banyu Janitra ditemukan tewas secara misterius. Banyak yang menduga bahwa Jian Anlah yang membunuhnya, meskipun dia bersikeras tidak bersalah.
Namun, nasib buruk menghampirinya. Jian An tertangkap oleh orang tidak dikenal dan dimasukkan ke dalam sumur tua. berenang di permukaan air sumur yang kini tidak lagi berada di abad ke-19. Ia telah dipindahkan ke kota S, tahun 2024. Dalam kebingungannya, Jian An harus menghadapi dunia yang jauh berbeda dari yang ia kenal, berusaha menemukan jawaban atas misteri kematian suaminya dan mencari cara untuk kembali ke masa lalu yang penuh dengan penyesalan dan rahasia yang belum terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Jian An berdiri mematung, tubuhnya gemetar hebat. Tangannya berusaha menahan diri agar tidak menyentuh kain itu lagi, tetapi pandangannya terpaku pada motif sidomukti yang terasa seperti membuka kembali luka lama. Air matanya jatuh tanpa bisa dia cegah, mengalir deras seakan menggambarkan betapa dalam trauma yang mengikatnya.
Saka yang berdiri di sampingnya langsung melihat perubahan itu. "Jian An..." panggilnya lembut, tapi Jian An tidak merespons. Dia terlalu larut dalam ingatannya, kenangan yang begitu gelap hingga membuat dadanya terasa sesak.
"Dia... dia membawa kain ini," suara Jian An bergetar. "Aku ingat... orang itu... dia memegang kain ini sebelum..." Jian An tak mampu melanjutkan. Bibirnya bergetar, dan tangannya terangkat untuk menyeka air matanya, tapi sia-sia karena tangisnya semakin pecah.
Saka merasa hatinya ikut tercabik melihat Jian An seperti itu. Dia segera memeluknya, mencoba menenangkan. "Hei, aku di sini," bisik Saka pelan. "Kamu aman sekarang, Jian An. Tidak ada yang akan menyakitimu lagi."
Tapi Jian An menggelengkan kepalanya, pelukannya pada Saka terasa erat seakan tidak ingin kehilangan pijakan. "Aku takut... aku takut, Saka," katanya di sela isakannya. "Kenapa kain ini ada di sini? Kenapa semua ini terasa seperti mimpi buruk yang belum selesai?"
Saka mengusap punggung Jian An dengan lembut, berusaha meredakan ketakutannya. "Aku tidak tahu kenapa kain ini ada di sini, tapi aku janji akan mencari tahu," katanya dengan nada penuh keyakinan. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi."
Jian An perlahan mulai tenang di pelukan Saka, meskipun rasa takut itu masih melekat kuat. Dia tahu trauma yang menghantuinya tidak akan hilang dalam semalam, tetapi kehadiran Saka memberinya sedikit rasa aman. Namun, di balik ketenangan itu, sebuah pertanyaan besar muncul di benaknya: apakah motif sidomukti ini hanyalah kebetulan, atau ada rahasia besar yang selama ini tersembunyi?
Sesampainya di rumah, Saka masih diliputi rasa khawatir. Sepanjang perjalanan, dia terus melirik Jian An yang duduk diam di sampingnya, memeluk kedua lututnya. Jian An tidak mengatakan sepatah kata pun sejak mereka meninggalkan galeri, dan itu membuat Saka semakin gelisah.
Setelah memarkir mobil di garasi, Saka membantu Jian An keluar, tapi wanita itu tampak begitu linglung. "Jian An, kamu mau istirahat di kamar dulu? Atau aku buatkan teh hangat untukmu?" tawar Saka lembut, berharap setidaknya Jian An mau berbicara.
Jian An mengangguk pelan, masih tanpa suara. Dia berjalan masuk ke rumah, langsung menuju sofa ruang tamu, dan duduk dengan pandangan kosong. Saka hanya bisa memandangnya dengan cemas. Trauma yang baru saja muncul jelas mengguncang Jian An, dan Saka tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk menenangkannya.
"Jian An, aku benar-benar ingin membantu, tapi aku butuh kamu bicara padaku," kata Saka akhirnya, duduk di hadapan wanita itu. Suaranya terdengar tulus, penuh perhatian. "Aku tahu tadi di galeri ada sesuatu yang mengganggumu. Jika kamu siap, tolong ceritakan padaku, ya?"
Jian An menghela napas panjang, menunduk, lalu akhirnya berkata dengan suara kecil, "Aku takut, Saka. Kain itu... motif itu... mengingatkanku pada malam terburuk dalam hidupku. Ada seorang pria yang... dia menculikku, menyiksaku, lalu membuangku ke dalam sumur. Dan aku ingat dia memegang kain itu... kain dengan motif yang sama." Air mata mulai menggenang di matanya.
Saka merasa dadanya sesak mendengar pengakuan itu. Dia mencoba menahan diri agar tidak terlalu emosional, tetapi jelas bahwa Jian An telah mengalami sesuatu yang sangat mengerikan di masa lalu. "Jian An," katanya dengan lembut, "kamu aman sekarang. Tidak ada yang akan menyakitimu lagi. Aku akan mencari tahu kenapa kain itu ada di galeri dan siapa yang terhubung dengannya."
Jian An memandang Saka, matanya penuh ketakutan sekaligus harapan. "Kamu janji?" tanyanya pelan.
Saka mengangguk tegas. "Aku janji. Apapun itu, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi."
Malam itu, meskipun rasa takut masih menyelimuti Jian An, setidaknya dia merasa tidak sendirian. Saka memutuskan untuk memulai penyelidikannya esok hari, memastikan bahwa apa pun yang menghubungkan masa lalu Jian An dengan galeri itu terungkap sepenuhnya.
***
Malam itu, Jian An tidak bisa memejamkan matanya dengan tenang. Tubuhnya terasa lelah, tetapi pikirannya terus dihantui oleh kenangan kelam yang kembali muncul. Ketika akhirnya ia tertidur, mimpi buruk segera menghampirinya.
Dalam mimpinya, Jian An berada di tempat gelap, sumur tua yang sama seperti yang pernah ia alami dulu. Ia bisa merasakan dinginnya air menyentuh kulitnya, suara gemericik air yang memantul di dinding sumur terdengar menakutkan. Di atas sana, ada seorang pria berdiri dengan kain jarik bermotif sidomukti melingkar di tangannya, wajahnya buram, tetapi tatapan matanya tajam dan menyeramkan.
"Jangan mencoba kabur lagi," suara pria itu menggema di dalam sumur, suaranya terdengar dingin. Jian An berusaha berteriak, tetapi suaranya tak keluar. Tubuhnya terasa berat, seolah-olah ditarik oleh kekuatan tak terlihat ke dasar sumur yang semakin gelap.
Ia mencoba meraih dinding sumur, berjuang untuk naik, tetapi setiap usahanya hanya membuat tangannya terluka. "Tolong! Siapa pun, tolong aku!" Ia akhirnya bisa bersuara, tetapi suaranya terdengar jauh dan lemah. Kegelapan semakin menelan tubuhnya, dan ia merasa napasnya semakin pendek.
Jian An terbangun dengan teriakan, tubuhnya penuh keringat dingin. Napasnya terengah-engah, dan tangannya gemetar hebat. Ia memegang dadanya, mencoba menenangkan diri. Tangis kecil mulai pecah, tetapi suaranya tertahan agar tidak terdengar oleh siapa pun.
Saka, yang kebetulan masih terjaga di kamarnya, mendengar suara itu. Dengan cepat, ia berlari ke kamar Jian An. "Jian An! Kamu kenapa?" tanyanya panik sambil menyalakan lampu kamar.
Jian An menatap Saka dengan mata berkaca-kaca. "Aku... mimpi buruk," jawabnya dengan suara parau. "Aku kembali ke tempat itu, ke sumur itu..." Air matanya mulai mengalir deras.
Saka langsung menghampiri dan memeluk Jian An erat. "Tenang, Jian An. Itu hanya mimpi. Kamu aman di sini. Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu," bisiknya, mencoba menenangkan wanita itu.
Dalam pelukan Saka, Jian An merasa sedikit lebih tenang, tetapi rasa takut masih menggenggam hatinya erat. Malam itu, Saka memutuskan untuk tetap berada di dekatnya, memastikan Jian An bisa tidur dengan aman tanpa dihantui mimpi buruk lagi.
Saka merasakan sesuatu yang aneh saat melihat Jian An dalam kondisi seperti itu. Jantungnya berdebar kencang, tak terkendali, seperti ada rasa sakit yang menular dari Jian An kepadanya. Ia tidak pernah melihat wanita itu terlihat begitu rapuh, begitu hancur, dan itu membuat dadanya sesak.
"Jian An," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar, tapi penuh rasa peduli. Tangannya masih memegang pundak Jian An, mencoba memberikan rasa aman. "Kamu nggak sendirian. Aku di sini," lanjutnya dengan nada yang lembut, tapi tegas.
Jian An mengusap air matanya, berusaha keras untuk menenangkan diri, tetapi tatapannya kosong. Trauma dari masa lalunya terasa begitu nyata, seolah-olah peristiwa itu baru saja terjadi lagi. "Aku nggak tahu kenapa semua ini harus kembali," ucapnya pelan. "Aku pikir, aku sudah melupakan semuanya..."
Saka menatapnya dengan penuh perhatian. Rasa simpati bercampur kekesalan pada dirinya sendiri karena tidak bisa melindungi Jian An dari rasa sakit ini. Ia menggenggam tangan Jian An, mencoba menyalurkan kekuatan lewat sentuhannya. "Aku nggak tahu apa yang sebenarnya kamu alami, Jian An," katanya lirih, "tapi aku janji, aku akan ada di sini. Kamu nggak perlu melawan ini sendirian."
Kata-kata Saka membuat Jian An sedikit terkejut. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang mengerti beban yang ia rasakan tanpa menuntut penjelasan apa-apa. Perasaan hangat perlahan menyusup ke dalam dirinya meskipun trauma itu masih mengintai di sudut pikirannya.
Saat itu, Saka menyadari sesuatu yang mendalam. Bukan hanya belas kasih yang ia rasakan untuk Jian An, tapi sesuatu yang lebih kuat. Ia tidak ingin melihat wanita itu menderita lagi, tidak ingin kehilangan senyum Jian An yang perlahan-lahan mulai ia rindukan.