Selama 10 tahun lamanya, Pernikahan yang Adhis dan Raka jalani terasa sempurna, walau belum ada anak diantara mereka.
Tepat di ulang tahun ke 10 pernikahan mereka, Adhis mengetahui bahwa Raka telah memiliki seorang anak bersama istri sirinya.
Masihkah Adhis bertahan dalam peliknya kisah rumah tangganya? menelan pahitnya empedu diantara manisnya kata-kata cinta dari Raka?
Atau, memilih meladeni mantan kekasih yang belakangan ini membuat masalah rumah tangganya jadi semakin pelik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#5•
#5
“Ayo, pulang, sudah maghrib, Papa harus kembali ke Rumah Sakit,” bujuk Raka pada Qiran. gadis kecil itu masih betah memainkan gamelan dengan tongkat kecilnya. Raka membelikannya tongkat Drum sebagai pengganti pemukul gamelan yang terlalu besar untuk ukuran genggaman tangannya, agar Qiran bisa dengan mudah memukul gamelan tua yang ada di pendopo rumah orang tuanya.
Tapi Qiran menggeleng, “nda …” tolaknya dengan bahasa yang belum sempurna.
“Tunggulah sebentar lagi, Qiran merindukan kamu, karena kamu hanya mengunjunginya dua kali dalam seminggu, Adhis pasti melarangmu kemana-mana, kan?” sindir Bu Dewi, ketus seperti biasa. Membuat Raka geram, karena lagi-lagi Adhis yang disalahkan oleh ibundanya. Padahal Raka sudah menuruti kemauan Bu Dewi untuk menikahi Anggita, agar Bu Dewi tak terus-terusan merongrong Adhis perihal belum hadirnya anak diantara mereka.
“Bu …” tegur Raka singkat, karena jika dilanjutkan keduanya bisa kembali bertengkar hebat.
“Iya … iya … Ibu tahu, tak boleh menjelekkan Adhis,” gerutu Bu Dewi sambil meneguk wedang jahe favoritnya. “Padahal apa hebatnya wanita itu, hanya bisa bersolek aja, tapi seorang anak pun tak bisa ia lahirkan, mana bisa disebut wanita sempurna,” lanjut Bu Dewi, membuat Raka kembali bereaksi.
“Ibu … sampai kapan Ibu akan terus mengungkit-ungkit kekurangan istriku? apa salah Adhis, Bu? ia selalu baik dan menghormati Ibu dengan layak, lantas hanya karena Adhis belum pernah hamil, Ibu boleh menghina dan mengungkit-ungkit kekurangannya?” Raka tak bisa lagi membendung emosinya, ia bahkan tak peduli ada Anggi dan Qiran di dekatnya, biar saja, toh selama ini Anggi tahu posisinya di hati Raka. Dia memang istri yang melahirkan anak untuk Raka, tapi untuk cinta, Raka belum bisa menjanjikannya.
“Ibu tidak mengungkit-ungkit, tapi kenyataannya memang demikian,” lanjut Bu Dewi tak mau kalah, karena baginya seorang wanita jika belum bisa melahirkan anak, tak bisa dikatakan wanita sempurna.
Dan seolah merasakan suasana tak nyaman, Qiran seketika menangis kencang. Raka yang menyadari kesalahannya segera menggendong Qiran, hanya ditimang dan dibujuk sebentar, Qiran sudah kembali tenang dan tertawa.
“Anak Papa pintar, ya.”
“Tatik …”
“Oh cantik? tentu saja, kan anak perempuan,” puji Raka gemas. Tak bisa Raka pungkiri, memiliki seorang anak, sangatlah membahagiakan. Hidupnya lebih berwarna, walau walau rasa bersalah karena membohongi istrinya, terus bersemayam.
“Kapan hari, dia bilang kalau dia ganteng, jadi sekarang aku menstimulusnya dengan kata-kata cantik, agar di paham, kalau julukan untuk anak perempuan adalah cantik.” Anggi menjelaskan, Raka mengangguk paham.
“Jadi anak Papa baru berkenalan dengan kata-kata baru …” Raka kembali menciumi Pipi dan perut Qiran, membuat bocah itu tertawa geli.
Mereka terus melangkah meninggalkan halaman rumah. “Cantiknya anak Papa, jangan sakit lagi, ya?”
“Ya,” jawab gadis kecil itu.
“Yuk, sekarang sama Mama dulu, Papa harus kembali kerja.” Anggi nampak mencoba mengambil alih gadis kecil itu dari pelukan Raka.
“Dak mahu … mahu Papa,” rengeknya, sambil kembali memeluk erat leher Raka.
“Biarkan saja dulu, lagipula aku pun masih ingin menggendongnya,” timpal Raka, yang kemudian menggendong anak itu, hingga tiba di bawah pohon mangga yang sebentar lagi akan masuk masa panen, Raka terus menemani Qiran berceloteh sambil menatap langit yang mulai gelap.
“Kalau begitu, aku siapkan makan malam, ya? biar Mas, gak perlu makan malam di Rumah Sakit,” tawar Anggi.
Raka mengiyakan dengan senyuman, seperti halnya Adhis, Anggi pun terampil memasak hidangan. Tapi tetap saja cita rasanya berbeda, dan jika disuruh menebak dengan mata tertutup, sudah pasti Raka bisa membedakan, yang mana masakan Adhis, dan mana masakan Anggi.
Raka menatap sekeliling, suasana mulai lengang, karena awal malam telah datang. Tanpa sengaja matanya menatap sebuah mobil yang samar-samar ia hafal warnanya, sayangnya Raka tak bisa melihat dengan jelas, Raka bermaksud mendekat demi memastikan kebenarannya. tapi sepertinya si pemilik mobil memang hanya beristirahat sejenak, karena tak lama kemudian mobil menyala dan meninggalkan lingkungan tersebut.
Nanti kalau Anggi sudah sembuh, minta maaf atas perlakuan nya dulu ke Adhis. meskipun saat itu bu Dewi yg meminta Anggi utk menikah dgn Raka
Kalau bu Dewi dibuat sakit parah setuju saja, karena semua keruwetan ini bu Dewi lah tokoh utama nya
bikin adem
yg bikin gerah lagi diumpetin kak author (bu dewi 🤣🤣🤣)