Menjadi penanggung jawab atas kesalahan yang tidak dia lakukan, itulah yang harus dilakukan oleh Arumi. Menanggung luka atas goresan yang tak pernah dia ciptakan. Terlebih lagi orang yang menyebabkan lukanya adalah lelaki yang dia cintai. Setiap pembelaan yang dia ucapkan hanya dianggap omong kosong. Kekuasaan membungkam semuanya.
Bintang, polisi tampan yang menangani kasus kematian adik kandungnya sendiri. hingga sebuah fakta dia dapatkan sehingga memaksanya untuk memilih antara cinta dan keluarga.
Pengorbanan, cinta, air mata, dan siksa akan menjadi satu dalam cerita ini. selamat membaca
ig : @nonamarwa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Marwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4
Selamat Membaca!!!
Dengan semangat Arumi menekan tombol hijau untuk mengangkat panggilan dari lelaki yang sangat dia cintai.
"Mas Bintang," sapa Arumi riang mengangkat teleponnya. Wanita itu pergi ke samping gedung cathering yang sepi agar tidak ada yang melihatnya.
Sedangkan Bintang di seberang sana tersenyum tampan. Terdengar sekali nada rindu dan riang dari Arumi mengangkat teleponnya. "Kamu lagi apa?" tanya Bintang di seberang sana.
"Ini lagi ditempat cathering. Mas apa kabar? Semuanya baik-baik aja kan?" tanya Arumi dengan nada serat khawatir.
"Mas baik. Maaf, ya satu bulan ini kerjaan Mas banyak banget. Jadinya baru bisa hubungi kamu sekarang."
Arumi bernafas lega. Dia senang mendengar kabar jika lelaki yang dia cintai ternyata baik-baik saja. Tapi terselip sendu dalam hatinya. "Aku juga baik disini, Mas," ucap Arumi berniat memberitahu meskipun Bintang tidak bertanya.
"Yasudah. Kalau begitu aku lanjut kerja ya, Mas. Aku takut nanti ada yang cariin. Kamu gak mau kalau orang lain tahu hubungan kita kan?" tanya Arumi berlanjut berniat menguji Bintang.
Biarin aja. Kalau perlu seisi dunia tahu bahwa kamu itu punya aku.
Kata-kata itulah yang ingin didengar oleh Arumi dari bibir Bintang. Namun semua terbantahkan dalam hitungan detik.
"Ya sudah. Aku tutup ya. Kamu baik-baik disana."
Arumi menjauhkan ponsel dari telinganya. Tanganya mengusap air mata yang tiba-tiba jatuh tanpa bisa dia cegah. Dia senang Bintang mengubunginya. Tapi di satu sisi dia juga sedih bahwa Bintang tidak bertanya bagaimana perasaanya saat ini.
Muncul ketakutan dalam diri Arumi. Bagaimana jika nanti Bintang tidak kembali dan bagaimana dengan janin yang masih ada di perutnya?
"Tolong bilang sama Allah buat kasih mama kekuatan ya, Nak," ucap Arumi mengusap pelan perutnya yang masih rata. Arumi memang belum memeriksa dan mengecek dengan pasti kehamilannya, tapi hatinya sangat yakin akan kebenaran atas dugaan kehamilan ini.
Arumi berbalik melangkah dan kembali memasuki dapur cathering. Arumi mengernyit melihat beberapa rekan sesama pegawainya yang nampak sangat antusias mendengar Buk Ida bercerita.
"Ada apa, Bu?" tanya Arumi ikut penasaran.
"Ini nduk, anaknya bu Eli kampung sebelah udah punya anak," ucap Bu Ida menjawab.
"Lalu apa yang salah?" tanya Arumi heran.
"Kamu ini gimana toh, kan dia belum nikah. Belum punya suami. Gak taunya udah lahirin anak aja. Ibunya sendiri aja kaget," ucap Bu Ida memberitahu lebih jelas.
Tubuh Arumi menegang mendengar perkataan Bu Ida. Dengan reflek dia langsung menyentuh perutnya yang masih rata. "La-lalu sekarang gimana, Bu?" tanya Arumi gugup.
"Di desa sebelah ketat, Nak. Kabar-kabarnya di hukum cambuk dan diarak keliling desa tanpa pakaian," jawab Bu Ida yang membuat Arumi menatap tak percaya.
"Sekejam itu, Bu?" tanya Arumi memastikan.
Bu Ida mengangguk. "Tidak akan ada toleransi bagi Zina, Nak. Apalagi di desa kita yang masih kental adat dan kuat agamanya," jawab Bu Ida jujur.
Arumi hanya bisa mengangguk. Ketakutan kini bersarang di hatinya. Tanpa mengatakan apapun lagi wanita itu langsung beranjak dan segera mengerjakan pekerjaan lain. Kepalanya semakin pusing jika semakin banyak mendengar berita buruk itu.
Selesai bergosip, Bu ida kembali melanjutkan pekerjaanya. Wanita paruh baya itu berbalik dan menatap terkejut pada punggung Arumi yang bergetar.
"Kamu kenapa, Nduk?" tanya Bu Ida menyentuh punggung Arumi.
Arumi terlonjak kaget. "Ini, Buk. Matanya perih karena bawang," jawab Arumi gugup.
Arumi mengalihkan pandangannya dari Bu Ida. Bu Ida yang penasaran menatap lekat mata Arumi. "Sekejam itu bawang ini, nduk?" tanya Bu Ida curiga.
Arumi tersenyum dan mengangguk. "Sampai-sampai aku terisak begini, Buk," jawab Arumi meyakinkan Bu Ida.
"Jika ada hal yang membuatmu luka, maka ceritalah, nduk. Kamu tidak menganggap ibu sebagai keluargamu sendiri?" tanya Buk Ida menatap iba pada Arumi.
Arumi tersenyum sendu. "Tapi Arumi baik-baik saja, Bu," jawab Arumi meyakinkan.
"Ibu tak tahu seberapa kejam air bawang ini sampai bisa membuat kamu tersedu begitu, Nak. Semoga ini memang hanya karena bawang, ya Nak," ucap Buk Ida tulus.
Tapi ini bukan tentang bawang, Bu. Batin Arumi menangis. Sangat sulit untuk menceritakan semuanya. Apapun yang akan dia katakan, maka dialah yang salah disini. Dia yang salah karena tidak bisa menjaga diri. Dia yang salah karena terlena oleh cinta. Buka suara hanya akan membuatnya semakin tersiksa.
Buk Ida menghela nafas pelan. "Kalau ada apa-apa Ibu siap membantu kamu, Nak," jawab Buk Ida penuh kasih sayang.
"Terimakasih banyak, Buk," jawab Arumi sopan.
.....
"Saya yakin jika sekolah seelit ini tidak mungkin membiarkan fasilitasnya rusak begitu saja," ucap Bintang menatap penuh intimidasi pada kepala sekolah SMA Nusantara. Sekolah yang menjadi tempat terakhir adik kesayangannya meregang nyawa.
Kepala sekolah laki-laki yang bernama Abdi Husin itu menghela nafas pelan. "Saya tidak berbohong, Nak Bintang. Kalau tidak percaya silahkan periksa rekaman CCTV empat tahu yang lalu. Rooftop itu jarang di periksa karena memang tempat itu jarang dikunjungi siswa atau guru," jawab Pak Abdi lelah.
"Tap-"
Ucapan Bintang terhenti begitu Angkasa memegang bahunya. Mereka berdua memang datang kesini untuk mencari rekaman CCTV rooftop saat kejadian itu terjadi.
"Apa kami bisa meminta CCTV lorong menuju rooftop?" tanya Angkasa dengan sabar. Lelaki itu memiliki stok kesabaran yang lebih banyak dari pada Bintang.
"Kalau itu ada. Ayo ikut saya," ucap Pak Abdi beranjak sari kursi kerjanya dan berjalan menuju ruang penyimpanan rekaman CCTV sekolah.
Berjalan menuju lorong membuat semua mata siswa terarah pada Bintang dan Angkasa. Dua lelaki dewasa yang sangat tampan. Apalagi ini adalah jam istirahat. Bintang dan Angkasa sengaja datang tidak memakai seragam polisi mereka karena tidak mau membuat warga sekolah berpikir yang tidak-tidak.
Sampai di ruang penyimpanan, kepala sekolah meminta penjaga untuk mencarikan CCTV tepat di hari terjadinya tragedi kematian Kintani. Tidak butuh waktu lama penjaga itu kembali menghadap Pak Abdi, Bintang dan Angkasa. "Ini, Pak," ucapnya sopan.
"Tolong putar, ya," pinta Pak Abdi dan langsung dianggukki oleh penjaga.
Bintang dan Angkasa nampak sangat fokus melihat rekaman itu. Tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan disana. Tepat pada rekaman pukul Empat sore lebih sembilan menit, Bintang dan Angkasa melihat Kintani yang berjalan seorang diri menaiki tangga menuju rooftop sekolah.
"Berhenti, Pak!" ucap Bintang menginstruksi sehingga rekaman itu di pause.
"Siapa wanita ini?" tanya Bintang menujuk seorang siswa wanita yang menaiki tangga setelah Kintani.
"Dia juga salah satu siswa disini dulu, Nak," jawab Pak Abdi yakin. Karena siapa lagi yang menaiki rooftop selain siswi di sekolah ini.
Angkasa dengan sigap langsung mengeluarkan ponselnya dan memfoto rekaman yang di pause itu.
"Saya Minta Rekaman lorong kelas Kintani. Adik saya dulu kelas XII. IPA 1," ucap Bintang lagi.
Pak Abdi mengangguk. Dia memberi kode pada penjaga untuk segera mencari rekaman itu.
Setelah beberapa menit, akhirnya rekaman yang diminta Bintang di putar.
Bintang dan Angkasa saling pandang begitu melihat seorang siswa menghentikan langkah Kintani yang hendak memasuki kelas. Setelah beberapa menit, Kintani nampak pergi. Tapi bukan menuju kelas maupun menuju tangga.
"Pause!" ucap Angkasa.
"Tolong di zoom siswi yang ini," ucap angkasa agar bisa melihat dengan jelas wajah siswi yang tadi bicara dengan Kintani. Semua ini pasti berkaitan.
Bintang dan Angkasa saling pandang. Dugaan mereka semakin kuat jika Kintani tidak meninggal karena bunuh diri.
"Kami minta data siswi ini, Pak."
...****************...
Jangan lupa like, komen dan favorit yaa, selamat membaca.
anakku setiap harinya juga gitu "dedek sayang mama"
"mama lebih sayang dedek"
yg sabar ya jihan. derita ibumu berat
cerita yang alurnya banyak menguras emosi dan sumpah serapah karna kelakuan dua pria. yang satu bintang nyaris tak berhati. kedua kakeknya yang emang ga punya hati. harus off lama? ahh semoga saja setelah ini kamu ator akan rajin Up