“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DHIEN ~ Bab 34
Bila sahabat tetap belum bisa menghilangkan rasa malu, izinkan aku menjadi Abang mu.
......................
“Banyak kali cengkonek ( tingkah) kau, Yek! Mau ikut tak? Kalau enggan, ku kuncir nanti bibir memble mu tu!” Meutia memanggul tebu yang setinggi badan trio Cebol.
Ke empat sosok beda usia itu mengendap-endap menjaga jarak agar tidak ketahuan Amala, sesekali bersembunyi dibalik pohon yang besarnya tidak cukup menyembunyikan badan mereka.
“Bocah Eddiann!” Bibirnya melengkung seraya menggeleng kepala, Amala yang bersuku Jawa, sesekali mengatai penggemar berat sahabatnya.
“Kan … kan, Kak Mala masuk kakus tu! Pastinya mau berak, tak mau lah aku menunggu, malas mencium bau busuk macam bau kentut habis makan kuning telur!” Ayek hendak berbalik, tetapi kaos singlet nya langsung ditarik.
“Berani kau tak setia kawan, ku jadikan Burung Ayam-ayam'an mu santapan makan malam, mau?!” Meutia melototkan matanya, yang berhasil membuat nyali Ayek menciut.
Di bawah pohon durian, ke-tiga sosok tadi malah melukis tanah, membuat garis permainan engklek, mulai dari bulatan kepala, leher, bahu, perut, wanita mengenakan rok, lalu kaki.
“Ayo hompimpa dulu!” Meutia lebih dulu mengulurkan punggung tangannya yang langsung ditimpa lainnya.
“Astaga … Meutia memang luar biasa,” gerutunya yang sengaja masuk WC seraya membawa air di timba, dia kira penguntit nya akan segera pergi, tetapi malah asik bermain sambil menjerit-jerit heboh.
Mau tidak mau, Amala keluar dari tempat pembuangan hajat yang terbuat dari dinding karung beras setinggi orang dewasa.
“Capek kan Kak, berpura-pura mengedan, tapi tak ada yang keluar? Pasti tu kaki kesemutan dikarenakan kelamaan jongkok, mana banyak Nyamuk lagi. Kasihan betul lah Kak Mala ni!” cibir Meutia dengan suara menggelegar, mereka sedang berada di dekat sumur halaman belakang rumah Mak Syam.
Mala membuang air dalam timba berukuran sedang, lalu mendekati Meutia dan lainnya. “Mau kalian apa?”
“Tak usah sok berlakon macam orang lupa ingatan lah Kak, jelas-jelas dari 5 hari yang lalu, kami merengek macam anak Ayam yang kehilangan induknya, mencari Kak Dhien … sampai kaki Tia tergores ilalang!” Meutia menarik sedikit ujung celana longgar nya, memperlihatkan bekas luka yang terlihat masih baru.
“Kan sudah Kakak beri tahu, bila Dhien sedang berada di rumah Ninik.”
“BOHONG!” seru kompak Trio Cebol dan Meutia.
“Ya Allah Yang Maha Pengasih, lagi Maha Mengetahui, tolong bila Kak Amala sudah Innalillahi … buatlah kuburannya _”
“Meutia. Jangan!” Mala membekap mulut gadis yang kalau bicara asal bunyi.
“Wee … ternyata Kak Mala takut juga kalau kuburannya sempit,” kekeh nya dengan raut menyebalkan.
“Kak, aku baru saja sembuh loo, coba raba bathuk ku ni! Masih terasa hangat loo!” Ayek membawa telapak tangan Amala ke keningnya. “Betul ‘kan? Semua tu karena ulah Kak Dhien yang membuang kompeng ku!”
“Kakak, kami rindu menyerampang (menyambit) buah Mangga bersama Kak Dhien!” Danang dan Rizal ikut merengek, sedangkan Meutia tersenyum culas.
Amala menarik napas panjang, kalau sudah begini mana bisa dia menghindar lagi. “Baiklah, tapi harus janji dulu! Tak boleh memberitahukan siapapun! Kalian wajib tutup mulut, bisa?”
“Bisa lah!”
Berakhir mereka berjalan melewati barisan pohon pinang, serta rumput jalan setapak. Amala yang melangkah di depan, diikuti oleh Meutia dan lainnya.
“Pantaslah Pakcik tidur di warung Abang, ternyata disini Landak betina bersembunyi!” Meutia mencebik, rautnya sungguh masam.
“Sia-sia kita berjalan melewati persawahan, naik turun bukit, belum lagi terguling-guling macam hewan Trenggiling … eh, tak tahunya Kak Dhien cuma ngungsi di rumah Makcik! Bukan main memang!” sambungnya lagi.
“Dasarnya memang kau Paok, mencari orang macam ngajak begadoh bisingnya, macam mana nak dapat kalau suara kalian sudah terdengar dari jarak satu kilometer!” Dhien membuka pintu dapur, bersedekap tangan, menatap jengah komplotan Meutia.
“Kakak ku!” Ayek yang duluan menangis, diikuti oleh Danang, dan Rizal, sedangkan Meutia bibirnya sudah bergetar menahan isak nya.
“Ayo masuk!” Mala menaiki undakan tangga, setelah semuanya masuk, cepat-cepat ia menutup pintu.
Di sinilah mereka berada, mengerumuni Dhien seperti anak Monyet ke Induknya, Ayek dan Rizal duduk di lantai papan, tangan mereka memeluk masing-masing kaki Dhien yang duduk di amben, Meutia tiduran di paha sahabatnya, dan Danang memijat tengkuk gurunya dari arah belakang.
“Tunggu!” Meutia segera duduk, memperhatikan lekat wajah Dhien, matanya membulat sempurna.
“Katakan pada Tia, Kak! Siapa yang telah berhasil membanting dirimu? Biar diri ini sungkem dan mengucapkan terima kasih, setelah sekian lama, puluhan kali Tia di bantai, akhirnya ada juga sosok yang bisa mengalahkan Kak Dhien! Alhamdulillah.”
PLAK.
Dhien menghentikan jari Meutia yang hendak meraba sudut bibirnya. “Mau ku banting kau, Tia?!”
“Eits … tahan! Tak boleh memakai kekerasan, kalau masih bisa dibicarakan.” Meutia menahan tangan Dhien yang hendak mencekik lehernya, lalu memeluk erat.
“Kakak ku adalah sosok yang kuat, takkan tumbang bila diterjang badai, takkan layu walaupun kekurangan sinar matahari, tak mudah menyerah meskipun terjatuh berkali-kali. Kau tu macam kaktus di padang pasir Kak, tetap hidup kendatipun tak disirami!” ucapnya begitu lirih, hanya dirinya dan Dhien yang mendengar, sedangkan Danang sudah duduk dilantai dengan lainnya.
Dhien tidak mampu berkata-kata, netranya langsung berkaca-kaca, yang dilakukan hanya mengusap sayang punggung Meutia, gadis banyak akal yang sedari dulu selalu mengikutinya.
***
Malam hari.
“Kak, ini ada titipan dari Bang Dzikri!” Meutia memberikan kardus mie yang dilakban dan diikat tali. Malam ini Meutia menemani Dhien di rumah Makcik, sedangkan sang pemilik hunian tidur di warung abangnya.
Dhien membuka kardus itu, mengeluarkan isinya. ‘Memang gila kau, Dzikri.’
Ternyata isinya belasan renteng permen karet Yosan, dua toples permen Davos, dan tiga set alat makeup lengkap dengan merk berbeda, ada juga pouch nya. Dhien mengambil sepucuk surat dalam amplop kertas berwarna coklat.
Meutia yang paham situasi, segera keluar dari kamar sederhana itu, dia memilih memberikan ruang bagi Dhien.
Kamar tidak seberapa luas itu menjadi saksi bisu, sosok wanita menangis dalam diam, duduk di kursi kayu, dengan penerangan lampu teplok yang terletak di meja kecil. Dhien membaca saksama setiap bait-bait tulisan tangan Dzikri Ramadhan.
...~ Teruntuk mu wahai wanita tangguh berhati teguh. Tak banyak kata yang ingin kurangkai, hanya sedikit berbasa-basi sebagai salam perpisahan....
^^^Dhien … ku tahu kalau kita dalam posisi serba salah, kecanggungan begitu mendominasi, sampai diri ni sendiri bingung bagaimana hendak menyikapinya.^^^
...Tapi, yang jelas … demi Tuhan, hati ini selalu dirundung cemas kala mengingat tatapan kosong bagai raga tanpa jiwa. Dhien, bolehkah awak meminta sesuatu?...
^^^Bertahanlah sampai kesedihan segan mendatangi mu. Berjuanglah hingga sukses dalam genggaman. Maju terus, singkirkan semua penghalang yang menghadang langkah kakimu! Dhien … percayalah kalau kau tu kuat, mampu, berbakat, serta begitu berharga.^^^
...Dhien … bila dengan bersahabat, engkau masih merasa malu dan enggan dekat lagi dengan ku, izinkan diri ini memintamu untuk menjadi Adik ku … bukankah seorang Abang sudah sepantasnya melindungi adiknya ‘kan?...
^^^Dek … Abang mu ni pamit dulu ya, semoga di masa mendatang, Tuhan masih bermurah hati mempertemukan kita lagi … Aamiin. ~ Dzikri Ramadhan ~^^^
"Adik …? Mengapa aku tak bahagia mendengarnya? Bukankah selama ni memang sosok Abang yang sangat ku ingin dan rindukan ...?
.
.
"Abang sedikit PAOK! Sudah Tia katakan ... kalau diri ni tak cinta dengannya! Mengapa tetap memaksa, hah?!"
.
.
Bersambung.
katanya puasa ini
duh Abang Agam bikin diriku malu🤭
Kumenanti BONCHAP nya
Sehat selalu thor