Aina Cecilia
Seorang gadis yatim piatu yang terpaksa menjual keperawanannya untuk membiayai pengobatan sang nenek yang tengah terbaring di rumah sakit. Tidak ada pilihan lain, hanya itu satu-satunya jalan yang bisa dia tempuh saat ini. Gajinya sebagai penyanyi kafe tidak akan cukup meskipun mengumpulkannya selama bertahun-tahun.
Arhan Airlangga
Duda keren yang ditinggal istrinya karena sebuah penghianatan. Hal itu membuatnya kecanduan bermain perempuan untuk membalaskan sakit hatinya.
Apakah yang terjadi setelahnya.
Jangan lupa mampir ya.
Mohon dukungannya untuk novel receh ini.
Harap maklum jika ada yang salah karena ini novel pertama bagi author.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kopii Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GBTD BAB 4.
Arhan melangkah mendekati Aina, namun gadis itu semakin menjauh dan berdiri di balik kursi rotan yang sudah lapuk.
"Jangan mendekat, aku mohon!" lirih Aina, air matanya tumpah tanpa disengaja.
Melihat pipi Aina yang sudah basah, Arhan segera menghentikan langkahnya. Dia berdiri di sisi meja dan menatap wajah itu dengan intim.
"Tidak perlu takut padaku! Aku tidak hobi memakan orang." ucap Arhan, dia sadar kedatangannya tidak diharapkan di sana.
Aina menekuk wajah cantiknya, sepasang tangannya saling meremas dan memainkan ujung kemeja yang dia kenakan.
"Duduklah! Aku ingin bicara denganmu." pinta Arhan, suaranya terdengar lembut.
"Bicara saja kalau kau ingin bicara, jika tidak silahkan tinggalkan tempat ini!" jawab Aina, dia tak mau menatap wajah Arhan yang sudah berdiri di hadapannya.
Arhan mengacak rambutnya, kemudian menghela nafas berat dan membuangnya kasar. Dia kesulitan menghadapi sikap Aina.
Sebelum Arhan mengutarakan maksud kedatangannya, tiba-tiba seorang wanita paruh baya datang dan mendorong pintu dengan kasar. Hal itu membuat Aina dan Arhan terlonjak kaget.
"Aduh, aduh, ada tamu rupanya." ucap wanita itu sembari tersenyum sinis.
Wajah Aina tampak pucat, dia mendekati wanita itu dan membawanya ke teras rumah.
"Bu, tolong beri aku waktu! Aku janji akan membayarnya secepat mungkin." ucap Aina pelan, dia tidak ingin Arhan mendengar ucapannya.
"Tidak ada waktu lagi! Aku sudah cukup sabar menghadapi mu selama ini. Kalau kau tidak bisa membayarnya, maka pergilah dari rumahku! Masih banyak yang mau mengontrak di tempat ini." ketus wanita pemilik kontrakan itu.
"Jangan usir aku Bu, aku mohon! Aku tidak punya tempat tinggal lagi, kemana aku harus pergi?"
Air mata Aina kembali bercucuran, dia membungkukkan tubuhnya dan menyatukan telapak tangannya memohon keringanan.
Tanpa sepengetahuan Aina, ternyata Arhan dengan santainya menguping pembicaraan mereka. Tak tega melihat Aina menangis, Arhan keluar dari balik pintu dan berjalan menghampiri keduanya.
"Berapa hutang Aina padamu?" tanya Arhan, sorot matanya terlihat tajam.
"Tidak perlu ikut campur! Ini urusanku dengan Bu Susi, sebaiknya kau pergi saja dari sini." ketus Aina.
"Katakan padaku, berapa hutang gadis ini?" tanya Arhan lagi, dia tak menghiraukan ucapan Aina sama sekali.
"Bu, jangan, aku mohon!" Aina kembali menyatukan telapak tangannya, memohon agar wanita itu tidak memberitahu Arhan.
"Jangan dengarkan dia! Jika kau butuh uang, katakan saja padaku! Berapa nominal yang harus aku bayar?" tanya Arhan, hal itu membuat mata Aina membulat seketika.
"Tidak banyak Tuan, hanya lima juta." jawab Bu Susi.
"Baiklah, mana nomor rekening mu?" ucap Arhan, dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel miliknya.
"Jangan Tuan, tidak perlu! Aku bisa membayarnya sendiri." sambung Aina, dia mencoba meraih ponsel Arhan. Namun pria itu sangat sigap menepis tangan Aina.
Aina tak bisa berbuat apa-apa, dia terpaku saat wanita itu menyebutkan nomor rekeningnya.
"Sudah, aku sudah mentransfer nya dua kali lipat. Sekarang pergilah dari sini, jangan ganggu Aina lagi!" ucap Arhan, kemudian meraih tangan Aina dan membawanya masuk ke dalam.
Aina tak berkutik sama sekali, dia terdiam membisu layaknya sebuah boneka. Tak ada satupun kata yang keluar dari bibir seksinya.
Sesampainya di dalam, keduanya duduk di kursi rotan. Arhan menatap lekat wajah Aina tanpa kedip. Ada perasaan lain yang dia rasakan setiap memandangi kecantikan gadis itu.
"Maafkan aku, aku tau kedatangan ku membuatmu terkejut. Kita harus bicara." ucap Arhan dengan lembut.
"Bicara saja!" jawab Aina dingin.
Arhan menghela nafas panjang, kemudian membuangnya kasar. Tangannya bergerak ingin menyentuh wajah Aina, tapi niat itu kembali dia urungkan. Dia tidak ingin menakuti Aina dan kembali menjauh darinya.
"Kenapa malam itu kau bisa datang ke kamarku?" tanya Arhan memulai percakapan.
"Untuk apa membahas itu? Semua sudah terjadi, aku juga sudah meninggalkan pesan waktu itu. Kenapa masih mencari ku?" jawab Aina dengan pertanyaan pula, dia membuang pandangannya ke arah lain.
"Aina, lihat aku! Semua ini tidak sesimpel yang kamu bayangkan."
"Aku memang bejat, aku suka bersenang-senang semauku dengan wanita manapun. Tapi aku tidak pernah berniat mengambil kesucian mu, kenapa kau menjual itu hanya demi uang?" tanya Arhan.
Mendengar itu, Aina kembali menitikkan air matanya. Hatinya hancur, batinnya remuk mengingat kejadian malam itu. Sebuah pengorbanan yang berakhir dengan sia-sia.
"Jangan menangis Aina, katakan padaku apa yang terjadi! Seminggu ini aku tidak bisa tenang memikirkan mu, aku selalu dihantui rasa bersalah." ucap Arhan.
Aina menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, tangisannya pecah seiring nyanyian jangkrik yang berbunyi di luar sana. Apa yang harus dia katakan pada Arhan, menyesal pun sudah tidak ada gunanya lagi.
Arhan semakin merasa bersalah melihat keadaan Aina saat ini. Bagaimana caranya menyelesaikan semua ini jika Aina saja tidak berani memberitahunya apa-apa.
"Ikutlah denganku!" ajak Arhan, dia meraih tangan Aina dan menggenggamnya dengan erat. Kemudian membawanya keluar dari rumah itu.
"Lepaskan aku! Aku tidak mau ikut denganmu." isak Aina, sekuat tenaga dia berusaha melepaskan genggaman tangan Arhan. Tapi tenaganya tidak sebanding dengan pria itu.
Sesampainya di lorong depan, Arhan membuka pintu mobil dan memaksa Aina masuk. Dia dengan cepat mengaitkan sabuk pengaman agar Aina tidak kabur darinya.
Setelah Arhan duduk di bangku kemudi, dia segera menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya meninggalkan kawasan kumuh itu.
"Tuan, tolong lepaskan aku! Jangan sakiti aku, aku mohon!" isak Aina memohon belas kasihan.
"Aku tidak akan menyakitimu jika kau menurut padaku." jawab Arhan dingin.
"Apa salahku padamu, kemana kau ingin membawaku?" tanya Aina terisak.
"Sudah diam lah, jangan membuatku marah!" ketus Arhan.
Aina menyandarkan punggungnya pada tampuk jok. Air matanya terus menetes tiada henti. Masalah demi masalah selalu datang bertubi-tubi menghantam kehidupannya. Dia sudah lelah menghadapi hidup ini, ingin sekali dia menyusul sang nenek agar semua bebannya lenyap seketika.
Arhan menginjak pedal rem, mobilnya sudah terparkir di parkiran sebuah apartemen mewah. Arhan turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Aina.
Setelah membuka pengait sabuk pengaman Aina, Arhan kembali menggenggam tangan gadis itu dan membawanya masuk ke dalam.
Aina tampak pasrah, air matanya mulai mengering. Dia sudah tak peduli dengan dirinya sendiri, terserah Arhan ingin memperlakukannya seperti apa. Bahkan jika Arhan ingin membunuhnya sekalipun, dia sudah siap.
Kini keduanya sudah berada di dalam apartemen milik Arhan. Aina membatu seperti patung yang tak bernyawa. Hal itu membuat Arhan merasa iba.
Arhan membopong tubuh Aina dan membaringkannya di atas kasur. Lalu meraih selimut dan menutupi tubuh Aina agar tidak kedinginan.
"Istirahatlah dulu, jangan menangis lagi!"
Arhan mengusap rambut Aina, kemudian berjalan menuju kamar mandi membersihkan tubuhnya. Ada banyak pertanyaan yang mengganjal di dalam hatinya, namun dia tidak bisa memaksa Aina untuk berbicara saat ini.