aku berdiri kaku di atas pelaminan, masih mengenakan jas pengantin yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. tamu-tamu mulai berbisik, musik pernikahan yang semula mengiringi momen bahagia kini terdengar hampa bahkan justru menyakitkan. semua mata tertuju padaku, seolah menegaskan 'pengantin pria yang ditinggalkan di hari paling sakral dalam hidupnya'
'calon istriku,,,,, kabur' batinku seraya menelan kenyataan pahit ini dalam-dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
awal yang canggung
Ketika sampai di rumah setelah acara resepsi selesai, keluargaku menyambut Alda dengan hangat. Ibu langsung memeluknya, berusaha membuatnya merasa diterima. Ayah dan Abangku, meskipun masih sedikit kaku, berusaha menunjukkan bahwa mereka mendukung pernikahan ini. Alda tersenyum sopan, tapi aku bisa melihat matanya menahan rasa lelah dan kecanggungan.
Ibu mengantarkan Alda ke kamar kami, kamar yang kini harus kami bagi bersama. aku mengikuti di belakang mereka dengan perasaan tak menentu. ini adalah kamar yang telah menjadi ruang pribadiku selama bertahun-tahun, tetapi kini harus kubagi dengan seorang wanita yang sebenarnya baru saja kuikat dalam ikatan suci.
"semoga kalian cepat merasa nyaman ya, nak," kata Ibu dengan nada lembut sebelum meninggalkan kami berdua di depan pintu kamar.
aku membuka pintu dan membiarkan Alda masuk lebih dulu. kamar itu sudah ditata ulang oleh Ibu, sprei baru, bunga-bunga kecil di sudut meja, bahkan ada lilin aroma terapi yang belum sempat aku nyalakan. semua tampak serba indah, tetapi suasana di antara kami justru sebaliknya.
Alda memilih duduk di tepi ranjang, mengamati sekeliling ruangan dengan gugup. sedangkan aku berdiri tak jauh darinya, berusaha mencari topik untuk mengurangi kecanggungan, tapi tak satu pun kata terlintas di pikiranku.
"kalau kamu mau ganti baju dulu, kamar mandi ada di sebelah," ucapku akhirnya, mencoba memecah keheningan.
dia hanya mengangguk kecil. "terima kasih," jawabnya pelan. dia membawa tas kecilnya dan masuk ke kamar mandi tanpa banyak bicara.
setelah dia keluar, giliranku untuk masuk ke kamar mandi. aku menatap diriku di cermin, mencoba menenangkan pikiran yang berputar-putar tanpa arah. aku tahu ini akan sulit, tetapi aku tidak pernah membayangkan seberapa canggungnya situasi ini.
ketika aku keluar, Alda sudah duduk di sisi kanan tempat tidur, membelakangiku. dia terlihat ragu-ragu, seperti sedang menunggu sesuatu.
"Alda," panggilku pelan. dia menoleh, matanya bertemu denganku sejenak sebelum dia kembali menunduk.
"kalau kamu merasa nggak nyaman, aku bisa tidur di sofa," kataku akhirnya, menunjuk sofa kecil di sudut ruangan.
dia tampak kaget, tetapi tidak langsung menolak. "kamu tidak apa-apa?" tanyanya, nada suaranya terdengar penuh kekhawatiran.
aku tersenyum kecil. "nggak apa-apa. aku tahu ini... mendadak. aku tidak mau kamu merasa tertekan."
dia menatapku dalam diam, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. akhirnya, dia mengangguk pelan. "kalau itu membuatmu lebih nyaman, aku juga setuju," katanya dengan suara hampir berbisik.
malam itu, aku mengambil bantal dan selimut tipis lalu merebahkan diri di sofa. Alda mematikan lampu utama, menyisakan lampu kecil di meja samping tempat tidur.
"selamat malam, Alda," ucapku sebelum menutup mata.
"selamat malam, Rama," jawabnya pelan.
namun, meski mata ini terpejam, pikiranku tak bisa berhenti bekerja. aku memikirkan banyak hal, tentang pernikahan ini, tentang alda, dan tentang masa depan yang kini terasa seperti teka-teki besar.
di tempat tidur, Alda sepertinya juga mengalami hal yang sama. dia memandang langit-langit kamar dengan perasaan bercampur aduk. di satu sisi, dia ingin mendukungku sebagai suami, tetapi di sisi lain, dia masih merasa sulit menerima perubahan besar dalam hidupnya.
malam pertama kami sebagai suami istri berlalu tanpa banyak kata, tanpa sentuhan, tanpa kehangatan. tetapi mungkin, di tengah kecanggungan ini, kami sedang mencoba memahami satu sama lain.
hari ini adalah awal yang canggung, tetapi aku berharap, seiring waktu, kami akan menemukan cara untuk menjalani pernikahan ini bersama-sama.
*****
pagi setelah pernikahan, matahari mulai menyelinap masuk melalui celah tirai kamar. aku terbangun dengan tubuh sedikit pegal akibat tidur di sofa kecil yang tidak dirancang untuk orang seukuranku. sekilas, aku melirik ke arah ranjang. Alda masih tertidur pulas, wajahnya terlihat damai meskipun aku tahu pikirannya semalam pasti sama beratnya denganku.
aku bangkit perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara. setelah merapikan selimut di sofa, aku keluar kamar untuk mencuci muka dan bersiap menghadapi hari pertama kami sebagai pasangan suami istri meskipun rasanya masih sulit untuk menyebut diri kami seperti itu.
di meja makan, Ibu sudah sibuk menyiapkan sarapan. aroma tumis sayur dan gorengan memenuhi rumah, membuat suasana pagi terasa sedikit lebih hangat.
"bagaimana tidurmu semalam, nak?" tanya Ibu dengan nada lembut sambil menyiapkan piring.
aku hanya tersenyum kecil. "baik, Bu. terima kasih."
Ibu menatapku sebentar, seolah tahu aku tidak mengatakan yang sebenarnya. namun, dia tidak ingin mendesakku. "ajak Alda sarapan, ya. jangan biarkan dia terlalu lama di kamar," katanya sambil tersenyum.
aku mengangguk dan kembali ke kamar. saat membuka pintu, ternyata Alda sudah bangun. dia sedang duduk di tepi ranjang, memandang keluar jendela dengan wajah sedikit melamun.
"pagi," sapaku pelan.
dia menoleh, lalu tersenyum tipis. "pagi."
“kamu mau sarapan? Ibu sudah masak,” tanyaku, mencoba mencairkan suasana.
dia mengangguk pelan. "iya, aku ganti baju dulu."
setelah dia selesai bersiap, kami berjalan bersama ke ruang makan. keluargaku sudah menunggu di sana, dan mereka langsung menyambut Alda dengan ramah. Ibu bahkan menarik kursi untuknya, memperlakukan Alda seperti seorang putri.
"bagaimana tidurmu, nak?" tanya Ayah sambil menyendok nasi ke piringnya.
Alda tersenyum sopan. "baik, om... eh, Ayah," koreksinya cepat. aku tau dia masih beradaptasi dengan menyebut orang tuaku sebagai ayah dan ibu.
kami makan dalam suasana yang cukup hangat. Ibu terus berbicara dengan Alda, menanyakan hal-hal sederhana seperti apa makanan favoritnya, kebiasaan pagi, dan topik ringan lainnya. Alda menjawab dengan santai, meskipun aku tahu dia masih merasa canggung.
“kalau begitu, kamu ini seorang guru ya, Alda? mengajar di mana?” tanya Ayah sambil melanjutkan makan nya.
"iya, Ayah. saya mengajar di SMA Harapan Jaya, mengambil alih pelajaran bahasa Indonesia," jawab Alda sopan.
"wah, hebat! anak-anak pasti sangat suka dengan kamu, masih muda, sopan dan cantik" komentar Ibu dengan senyum lebar.
Alda hanya tersenyum kecil. aku bisa melihat dia berusaha menjaga sikap, meskipun jelas dia masih canggung menghadapi keluargaku.
setelah sarapan selesai, Ibu mengajak Alda berkeliling rumah, mengenalkan setiap sudutnya. sedangkan aku mengikuti nya di belakang, memperhatikan bagaimana Alda mencoba mencairkan suasana dengan menjawab setiap pertanyaan Ibu dengan ramah.
ketika Ibu selesai dan kami berdiri di titik terakhir, yaitu halaman belakang, Alda tiba-tiba berbicara dengan ragu. "Ibu, Rama,, Alda ingin minta izin sebentar. ada sesuatu yang harus saya urus di tempat saya bekerja. saya belum sempat memberitahu sekolah soal pernikahan ini, dan sepertinya Alda harus mengurus cuti juga"
Ibu tampak sedikit terkejut, tapi dia langsung mengangguk mengerti. "tentu, Nak. kalau itu penting, kamu harus segera mengurusnya. biar Rama yang menemanimu"
Alda melirikku sejenak. "Alda tidak ingin merepotkan, Ibu. Alda bisa sendiri. mungkin Rama ada baiknya istirahat saja, pasti dia juga lelah dengan acara kemarin" katanya pelan.
"tidak, aku akan temani mengurus cuti mu" jawabku cepat. aku tidak ingin Ibu menilai ku tidak bertanggung jawab dengan dia. aku pun juga harus mulai belajar melibatkan hal-hal kecil di kehidupan Alda.
"dengar kan, Nak? Rama sudah setuju. sekarang kalian bersiaplah dan lekas pergi sebelum terlalu siang" aku bisa melihat bagaimana Ibu sangat perhatian dengan Alda, tatapan tulus dari Ibu sudah seperti dia memperlakukan putra nya sendiri.
"baik Bu"
akhirnya setelah itu, aku dan Alda berjalan kembali kearah kamar, sedangkan Ibu memilih berlalu ke arah dapur.
"kamu yakin mau langsung mengurus nya hari ini? bukannya kamu juga butuh istirahat?" tanyaku.
Alda menghela napas pelan. "aku nggak mau menunda-nunda, Rama. lagipula, aku tidak ingin sekolah kebingungan kalau tiba-tiba aku nggak masuk tanpa kabar."
Aku mengangguk pelan, mengikuti langkah Alda yang tetap tenang namun penuh keyakinan. "tapi, kalau kamu kecapekan, aku bisa bantu urus apa yang bisa aku bantu, Da," ujarku, mencoba menawarkan sedikit keringanan untuknya.
Alda tersenyum tipis, menoleh sekilas padaku. "terima kasih, Rama. tapi, untuk urusan pekerjaan, aku rasa aku harus menyelesaikannya sendiri Ram. aku cuma butuh kamu mendukungku."
aku diam sejenak, memandangi wajahnya yang tampak lelah namun tetap memancarkan semangat. "aku selalu mendukungmu, Alda. apapun yang kamu butuhkan, aku ada."
dia tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih lebar sebelum melanjutkan langkahnya ke kamar. aku tahu, ini bukan hanya soal pekerjaan baginya. ini tentang tanggung jawab dan dedikasi yang selalu jadi bagian dari dirinya, sesuatu yang membuatku semakin menghargainya.
sesampainya di kamar, Alda mulai mengambil beberapa dokumen yang diperlukan dari tasnya. ia memeriksa semuanya dengan cermat, memastikan tidak ada yang tertinggal. aku hanya berdiri di dekat pintu, memperhatikannya dengan seksama.
"jangan terlalu buru-buru, Da. pastikan saja apa yang kamu perlukan sudah lengkap" ucapku memastikan.
"sudah kok Ram, aku cuma perlu menyerahkan surat pengunduran diri sementara dan ngobrol sebentar dengan kepala sekolah," jawabnya tanpa ragu, sambil memasukkan dokumen terakhir ke dalam map.
beberapa menit kemudian, kami keluar dari kamar. aku mengambil kunci mobil di meja dekat pintu, sementara Alda merapikan kerudungnya di depan cermin.
tak lama kemudian, kami berdua sudah berada di dalam mobil sederhana yang biasa aku kendarai setiap harinya. SUV hitam yang masih terlihat kokoh meski sudah terbeli sejak 2 tahun lalu.
Alda meletakkan map dokumennya di pangkuan, jari-jarinya menyentuh permukaannya seolah memastikan segalanya siap. ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, memandang keluar jendela sesaat, tampak seperti sedang memikirkan sesuatu.
aku tersenyum kecil sambil menyalakan mesin mobil, kemudian melajukan menuju sekolahnya.
perjalanan berlangsung dalam keheningan yang nyaman, aku sesekali melirik Alda yang tampak sibuk memikirkan sesuatu sambil memandangi jendela. mungkin ini bukan hal yang mudah untuknya, tapi aku tahu Alda cukup kuat untuk menghadapi semuanya.
setelah beberapa waktu, kami sampai di depan gerbang sekolahnya. aku memarkir mobil dan mematikan mesin. "kalau butuh aku temenin masuk, bilang aja, ya," tawarku.
Alda menggeleng kecil sambil tersenyum. "Nggak perlu, Rama. aku hanya sebentar kok. tunggu dimobil saja, ya."
aku mengangguk, melepas sabuk pengaman dan bersandar di kursi. "hati-hati, Da. semoga semuanya lancar"
Alda membuka pintu dan turun dengan tenang, membawa map dokumen di tangannya. aku memandangnya berjalan menuju pintu sekolah dengan langkah nya yang mantap.