Luna Amanda, seorang aktris terkenal dengan pesona yang menawan, dan Dafa Donofan, seorang dokter genius yang acuh tak acuh, dipaksa menjalani perjodohan oleh keluarga masing-masing. Keduanya awalnya menolak keras, percaya bahwa cinta sejati tidak bisa dipaksakan. Luna, yang terbiasa menjadi pusat perhatian, selalu gagal dalam menjalin hubungan meski banyak pria yang mendekatinya. Sementara itu, Dafa yang perfeksionis tidak pernah benar-benar tertarik pada cinta, meski dikelilingi banyak wanita.
Namun, ketika Luna dan Dafa dipertemukan dalam situasi yang tidak terduga, mereka mulai melihat sisi lain dari satu sama lain. Akankah Luna yang memulai mengejar cinta sang dokter? Atau justru Dafa yang perlahan membuka hati pada aktris yang penuh kontroversi itu? Di balik ketenaran dan profesionalisme, apakah mereka bisa menemukan takdir cinta yang sejati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teror
Keesokan harinya, Luna sudah kembali dalam kondisi prima untuk melanjutkan syuting. Meski masih ada sisa-sisa rasa lelah, semangatnya mulai kembali. Hari itu, syuting film yang tengah digarap sangat intens, dengan jadwal yang padat. Setelah adegan demi adegan terselesaikan, Luna akhirnya mendapat waktu istirahat siang. Saat Luna duduk sendiri di sudut lokasi syuting, tiba-tiba seorang kru datang dan meletakkan sebuah kotak makanan di hadapannya. "Ini ada kiriman untukmu, Luna," ucap kru tersebut sambil tersenyum. Luna mengerutkan keningnya, bingung siapa yang mengirim makanan itu.
"Siapa yang mengirim?" tanyanya, mencoba mencari petunjuk. Namun kru itu hanya menggeleng. "Tidak tahu. Tapi ini pasti untukmu."
Luna melihat ke arah kotak makanan yang tertutup rapi. Aroma lezat tercium, membuatnya tergoda. Awalnya, ia ragu. Mungkin ini dari penggemar atau bahkan dari seseorang yang berniat jahil. Namun, sebuah pikiran tiba-tiba muncul di kepalanya. "Mungkinkah ini dari Dafa?" pikir Luna. Ia tersenyum membayangkan kemungkinan itu, merasa hatinya hangat sejenak. Tanpa berpikir panjang lagi, Luna memutuskan untuk memakan makanan itu. Rasa yang lezat langsung menyebar di mulutnya, dan Luna merasa makanan itu dibuat dengan penuh cinta—atau setidaknya itulah yang ingin ia percayai. Ia makan dengan lahap hingga semua habis. Setelah merasa kenyang, Luna beristirahat sejenak, menunggu syuting dilanjutkan.
Ketika waktu istirahat berakhir, Luna kembali ke set dengan semangat baru. Namun, tak lama setelah itu, perutnya mulai terasa tidak nyaman. Awalnya, hanya sedikit rasa sakit yang datang, tetapi semakin lama, rasa sakit itu makin intens. Luna mencoba menahan, berpikir mungkin hanya masalah pencernaan biasa, namun rasa sakitnya semakin tak tertahankan. Saat sedang melakukan adegan, Luna tiba-tiba meringis kesakitan. Wajahnya pucat, keringat dingin mulai membasahi keningnya. "Cut!" teriak sutradara. Semua orang di set panik melihat kondisi Luna yang terlihat sangat tidak sehat.
Aurel yang ada di lokasi segera menghampiri Luna. "Luna, kamu kenapa?" tanyanya panik sambil memegang bahu Luna. "Aku nggak tahu, perutku sakit banget," jawab Luna lemah, memegangi perutnya. Aurel langsung sigap. "Kita harus bawa kamu ke rumah sakit sekarang juga!" Ia memanggil kru untuk segera memanggil mobil dan membawa Luna ke rumah sakit terdekat. Dalam perjalanan, Aurel mencoba mengingat-ingat apakah Luna memakan sesuatu yang tidak biasa selama istirahat. Ia lalu teringat dengan makanan yang tiba-tiba dikirimkan ke Luna.
"Luna, tadi kamu makan apa?" tanya Aurel dengan nada khawatir. "Ada kiriman makanan, aku pikir itu dari Dafa..." Luna menjawab sambil terengah-engah, rasa sakit semakin mendera. Aurel semakin khawatir. "Kiriman dari siapa? Kamu nggak tahu siapa yang kirim?" Luna menggeleng. "Aku nggak tahu... aku cuma berpikir itu dari Dafa."
Sesampainya di rumah sakit, Luna langsung dibawa ke ruang gawat darurat. Dafa, yang kebetulan bertugas hari itu, langsung menghampiri begitu mendengar nama Luna disebut. Kekhawatirannya memuncak saat melihat Luna yang terbaring lemas di ranjang. "Luna! Apa yang terjadi?" tanya Dafa dengan nada panik. Aurel menjelaskan dengan cepat, "Dia memakan makanan yang tidak kita ketahui siapa pengirimnya, lalu perutnya mulai sakit."
Dafa segera memerintahkan tim medis untuk melakukan pemeriksaan. Setelah beberapa tes cepat dilakukan, Dafa menduga bahwa Luna mengalami keracunan makanan. "Ini bisa jadi keracunan ringan, tapi kita harus memastikan lebih lanjut," katanya dengan nada serius. Luna berbaring dengan wajah pucat, pandangannya terfokus pada Dafa yang tampak sibuk menangani kondisinya. Di dalam hati, meskipun sakit, Luna merasa lega melihat Dafa ada di sampingnya, memastikan dirinya aman.
"Jangan khawatir, aku akan memastikan kamu baik-baik saja," kata Dafa lembut, berusaha menenangkan Luna. Namun, di balik sikap tenangnya, ada rasa cemas yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit akibat keracunan makanan, kondisi Luna mulai berangsur membaik. Namun, meski fisiknya sudah mulai pulih, suasana hatinya masih diliputi rasa cemas. Ada sesuatu yang terus mengganggunyaperasaan aneh bahwa kejadian keracunan itu bukan kecelakaan biasa.
Pada suatu malam, saat Aurel sudah pulang dan ruangan rumah sakit sunyi, Luna terbangun dari tidurnya. Suara bisikan pelan terdengar dari sudut ruangan. Awalnya ia berpikir mungkin itu hanya suara angin atau perawat yang berbicara di luar, tetapi bisikan itu terdengar lagi lebih jelas dan aneh. "Kamu seharusnya tidak selamat, Luna." Luna terkejut, tubuhnya merinding, dan ia merasakan ketegangan merayap di sekujur tubuhnya. Ia menoleh ke kanan dan kiri, namun tidak ada siapa pun di dalam ruangan. Jantungnya mulai berdegup kencang, ketakutan menjalar dalam dirinya. Ia mencoba menenangkan diri, berpikir mungkin itu hanya halusinasinya.
Namun, tak lama setelah itu, lampu ruangan tiba-tiba berkelip-kelip, lalu mati sepenuhnya. Gelap gulita menyelimuti kamar rawatnya. Luna menelan ludah, merasa semakin cemas. Dia mengambil ponselnya, tapi ponselnya mati, meskipun ia yakin baterainya penuh sebelum tidur. Dalam kegelapan, ia mendengar suara langkah kaki yang pelan, seperti seseorang sedang berjalan di lorong rumah sakit. Perlahan-lahan, pintu kamarnya berdecit terbuka. Luna menahan napas, berharap seseorang masuk dan memberitahu bahwa semua ini hanyalah kesalahpahaman atau permasalahan teknis.
Namun, yang masuk hanya angin dingin yang menyentuh kulitnya. Tidak ada satu pun perawat atau orang lain yang masuk. Pintu itu tetap terbuka, seolah-olah seseorang memang sengaja membiarkannya begitu. Ketika Luna hendak memanggil perawat lewat tombol darurat, tiba-tiba sebuah suara yang tidak asing terdengar di ruangannya. "Ini belum selesai, Luna." Suara itu dingin, hampir berbisik di telinganya, membuatnya terlonjak. Wajah Luna pucat, tubuhnya bergetar. Suara itu mengingatkan Luna pada seseorang, tetapi ia tidak bisa mengingat dengan pasti siapa.
Luna langsung menekan tombol darurat dengan panik, namun tombol itu tidak berfungsi. Sambil menahan rasa takut yang semakin memuncak, ia berusaha bangkit dari tempat tidur, tetapi kakinya masih terasa lemah. Tiba-tiba, ia melihat sebuah bayangan samar berdiri di sudut ruangan, dekat jendela. Mata Luna melebar, jantungnya semakin berpacu. Saat ia mencoba fokus untuk melihat siapa bayangan itu, terdengar ketukan keras di pintu. Seorang perawat masuk dengan tergesa-gesa membawa senter. "Luna! Kamu baik-baik saja?" tanya perawat itu, mencoba menerangi ruangan dengan senternya.
Bayangan di sudut ruangan hilang seketika ketika senter diarahkan ke sana. Luna menghela napas panjang, meski tubuhnya masih gemetar. "Aku... aku dengar sesuatu," kata Luna dengan suara bergetar, tidak bisa menyembunyikan rasa takut yang menghantuinya. Perawat memeriksa ruangan dengan cepat, tapi tidak menemukan apa pun. "Tenang, mungkin karena lampu padam, itu membuat kamu sedikit tegang," kata perawat itu, mencoba menenangkan Luna.
Namun, Luna tahu betul bahwa ada yang tidak beres. Perasaan teror itu begitu nyata. Setelah perawat meninggalkan ruangan, Luna tidak bisa tidur. Matanya terus tertuju ke sudut ruangan, tempat bayangan itu muncul tadi. Ia merasa bahwa ini bukan kebetulan.
Keesokan harinya, Luna menceritakan semua yang terjadi kepada Aurel. "Aku merasa ada yang mengawasiku... ada yang ingin mencelakai aku," kata Luna dengan nada serius. Aurel yang awalnya mengira Luna mungkin hanya stres dengan kondisi kesehatannya, kini mulai merasa ada sesuatu yang lebih gelap di balik kejadian ini. Apalagi, insiden keracunan makanan itu juga belum jelas siapa pengirimnya.
"Aku akan menyelidiki ini," janji Aurel. "Kita nggak bisa anggap ini cuma kebetulan. Kamu harus hati-hati, Luna." Luna menatap Aurel dengan cemas, hatinya dipenuhi rasa takut akan teror misterius ini. Kini, ia tahu, apa pun yang terjadi, seseorang di luar sana tidak hanya ingin menghancurkan kariernya, tapi mungkin juga hidupnya.
gabung yu di Gc Bcm..
kita di sini ada event tertentu dengan reward yg menarik
serta kita akan belajar bersama mentor senior.
Jadi yu gabung untuk bertumbuh bareng.
Terima Kasih
cerita nya bagus thor,kalau dialog nya lebih rapi lagi,pasti tambah seru.../Smile/