Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17 - Kemana Perginya?
Tidak ada pembicaraan yang terjadi setelah Naina selesai menyiapkan hidangan di meja makan. Gadis berwajah pucat itu lebih dulu mengundurkan diri tanpa disuruh, seolah tahu kehadirannya tidak pernah diinginkan oleh Tuan Minos.
Dan sepanjang menyantap makanannya, Tuan Minos diam seribu bahasa. Pandangannya hanya fokus pada mangkuk berisi sup ikan yang baru beberapa suap dimasukkan ke dalam mulut.
Pikiran pria itu penuh dengan pertanyaan-pertanyaan atas kebingungan seolah-olah dirinya menolak kenyataan yang ada. Hal seperti ini pertama kalinya dirasakan Tuan Minos, bisa jadi dirinya masih syok dan wajar jika masih belum bisa percaya.
“Sore nanti lakukan tugasmu dengan benar. Suasana hatiku sedang tidak baik, jadi aku harap kau jangan banyak bertanya.” Perkataan tersebut terucap selepas Tuan Minos beringsut dari kursi, menatap sekilas Tora yang masih menyantap makanan. Lalu melenggang pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Tora mengangguk patuh, mengamati punggung Tuan Minos yang bergerak menjauh, menaiki undakan tangga dengan langkah lunglai. Aura kesenduan terpancar jelas dari sosok tinggi tersebut.
Meloloskan napas gusar, Tora tertunduk. “Sayangnya, kita tidak akan pernah bisa menyelamatkan seseorang yang enggan diselamatkan. Seseorang yang memilih mengurung diri di lembah nestapa ketimbang beranjak untuk melihat padang rumput yang indah. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan hanyalah dirimu sendiri.”
“... Karena sesungguhnya lawan dan pengkhianat yang paling nyata ada dalam dirimu sendiri. Tidak lain dan tidak bukan adalah sebuah pikiran. Kau memilih menderita dalam dunia yang dibuat oleh pikiranmu sendiri. Maka neraka-lah yang sudah kau pilih,” tambah Tora.
Tapi sedetik kemudian kepalanya menggeleng cepat. Sadar bahwa apa yang sudah dikatakannya barusan muncul tanpa aba-aba ataupun dipersiapkan terlebih dahulu. Spontan saja menanggapi tentang sosok Tuan Minos yang masih denial terhadap apa yang sudah terjadi sekarang ini.
***
Alih-alih mengurung diri di dalam ruangan pribadinya atau mampir ke perpustakaan, Tuan Minos justru datang ke sebuah kamar yang sebelumnya sudah ia wanti-wanti untuk tidak boleh dimasuki oleh siapapun.
Tuan Minos mendatangi kamar itu sendirian dengan kesadaran penuh. Entah apa yang membawanya hingga mampu berdiri di depan pintu kamar tersebut, dan entah apa yang menghasut pikirannya hingga mau datang secara sukarela padahal sebelumnya dirinya enggan sekali bahkan untuk sekedar menengok.
Menarik napas dalam-dalam, Tuan Minos mengangkat sebelah tangannya dan perlahan mendarat pada gagang pintu yang sudah berkarat. Ketika pintu sudah terbuka, kaki panjangnya lebih dulu masuk.
Pandangannya mengedar, mengamati seluruh barang-barang yang masih rapih tersimpan di tempat. Semuanya masih sama. Tidak ada yang berubah. Sialnya, kenangan yang tidak ingin dikenang pun berputar tanpa diminta.
Tuan Minos menundukkan kepala. Memejamkan matanya kuat-kuat. Berulang kali mengembuskan napas berat. “Aku ... Masih tidak mengerti. Bagaimana mungkin aku bisa percaya cinta? Sementara seseorang yang pernah mati-matian menunjukkan perasaannya, mengumbar janji dengan mata tulusnya, pada akhirnya tetap memilih pergi juga?”
Tak tahan dengan serangan dari kenangan-kenangan yang terus bermunculan dalam kepala, Tuan Minos memilih pergi tanpa sempat berkeliling untuk melihat barang-barang yang masih disimpan dengan rapih. Tungkai kakinya melaju secepat kilat, pandangannya hanya fokus ke depan, mata nyalangnya berubah pilu.
Kamar yang dilarang untuk dimasuki siapa-siapa masih menjadi misteri yang disimpan oleh Tuan Minos secara rapat-rapat. Seperti belum siap membuka luka lama yang tertutup kenangan-kenangan bersama seseorang pemilik dari kamar tersebut.
***
Semburat jingga nyaris menghiasi bentangan langit, sinar mentari tak lagi terik, senja tiba hari ini dengan indah. Semilir angin berhembus, membuat pepohonan menari-nari.
Angin yang menyelinap masuk ke dalam jendela kamar yang terbuka, membangunkan gadis bersurai panjang yang masih mendengkur halus di ranjangnya. Naina tidak tahu sejak kapan dirinya tidur, karena terlalu lelah ia terlelap pulas tanpa sadar.
Ketika sempurna membuka mata, tubuhnya terperanjat. Langsung terduduk seketika saat melihat ternyata sudah sore. Sementara dirinya harus pergi ke hutan dan mengumpulkan bahan masakan untuk makan malam nanti.
“Ah, sial! Bisa-bisanya aku tertidur.” Naina mengutuk dirinya sendiri, sesekali memukuli kepalanya.
Dengan gerakan hati-hati kakinya menyentuh lantai. Tapi baru seperkian detik dinginnya lantai menjalar pada telapak kakinya, Naina mematung saat pikirannya menampilkan kilatan mimpi yang muncul saat tertidur tadi.
Mengusap wajahnya yang sedikit basah karena keringat, Naina menghela napas. “Saking terkejutnya tadi, aku sampai lupa kalau tidurku dihampiri mimpi aneh itu lagi. Aku tidak tahu sampai kapan mimpi bersambung itu akan berhenti. Ini benar-benar menguras tenaga. Hufft!”
Meski begitu, Naina tidak bisa membuang-buang waktu. Sebelum langit menggelap Naina harus kembali dan langsung segera menyiapkan makan malam. Badan lelah dan pikiran suntuk tak digubris, setidaknya itu semua tidak sebanding dengan ocehan Tuan Minos nantinya.
“Kau terlihat pucat, apa kau baik-baik saja?” Tora menyapa Naina yang berjalan menuruni tangga dengan sebuah pertanyaan.
Naina tersenyum, berusaha menunjukkan bahwa dirinya tidak perlu dikhawatirkan. “Aku baik-baik saja. Mungkin sedikit lesu karena tidurku tidak cukup nyenyak.”
Tora terbang ke arah Naina, memberikan keranjang yang akan dibawa oleh gadis itu. Lalu berdiam di bahu Naina dengan mantap.
“Tidurmu tidak nyenyak? Apa ada yang sedang kau pikirkan? Atau kau mengalami mimpi buruk?” tanya Tora bersimpati.
Inginnya Naina menjawab keduanya adalah jawaban yang tepat. Tapi rasanya ia belum siap jika ditanya lebih detail setelah memberi jawaban tersebut.
Menggaruk pelipisnya sambil tersenyum kikuk, Naina menggeleng tipis. “Sepertinya aku hanya sedikit kelelahan.”
“Aku bisa mengusulkan hal ini pada Tuan Minos, kau tidak perlu melakukan pekerjaan rumah terlalu banyak,” sahut Tora yang membuat Naina memberi gelengan tegas.
“Ah, tidak perlu. Aku hanya belum terbiasa,” tolak Naina sungkan, merasa tidak nyaman.
“Baiklah. Kalau begitu hati-hati di jalan dan pulang-lah dengan selamat,” pesan Tora pada gadis itu setelah selesai mengantarkannya hingga ke gerbang kastil.
Naina melesat sendirian, pintu gerbang terbuka dan tertutup sendiri secara otomatis. Tora masih mengawasi dari kejauhan, sebelum nantinya diam-diam membuntutinya sesuai arahan dari Tuan Minos.
Terbang dari pohon ke pohon yang tinggi, pandangan Tora begitu awas mengamati gerak-gerik Naina di bawah sana. Ketika sudah memasuki hutan, gadis itu disambut oleh beberapa binatang yang memang sudah menunggunya setiap hari untuk menemani.
Semuanya tampak biasa-biasa saja, Tora dengan jelas masih bisa memantau. Hanya saja obrolan mereka teredam oleh suara angin yang berhembus, sehingga Tora hanya bisa mengandalkan jejak mereka saja untuk mencari tahu apa yang akan dilakukan mereka.
“Tanpa aku mendengar apa yang mereka bicarakan pun pastinya Tuan Minos bisa mendengarnya melalui bola sihir miliknya,” gumam Tora yang tak begitu mengkhawatirkan.
Sampai akhirnya ketika Naina selesai mengumpulkan bahan-bahan masakan dan hendak segera pulang karena langit sudah nyaris menggelap, Tora melihat Naina terlibat obrolan yang nampaknya cukup serius dengan mereka. Terlihat sekali dari ekspresi gadis tersebut.
“Lho, dia tidak langsung pulang? Kemana dia hendak pergi?” Tora dibuat penasaran karena mendadak Naina berubah haluan, berbalik menuju jalan yang berbeda dari arah pulang.
Ditemani para binatang yang entah mengajaknya pergi kemana, Tora pun membuntuti seraya menajamkan pandangan. Takut kalau kehilangan jejaknya.
Sudah menjelikan pandangan dan terus memantau hingga tak berkedip pun anehnya Naina dan para rombongan binatang di sana mendadak hilang dalam pandangan. Tora amat yakin bahwa ia terus memantau tanpa terlewat meski sedetik.
Persisnya Naina menghilang setelah sebuah portal yang berhadapan dengan air terjun tiba-tiba muncul, saat Naina masuk ke dalamnya, portal seperti lubang hitam itu tertutup hingga tak menyisakan apa-apa. Seolah memang tak ada hal yang terjadi sebelumya.
“Gawat! Kemana perginya mereka semua?” Tora gelagapan, merasa bertanggung jawab karena sudah diberi perintah untuk mencari tahu asal-usul dari para binatang itu.
“Bagaimana jika Naina dibawa pergi untuk tidak pernah kembali lagi?” Pertanyaan tersebut muncul dalam pikirannya, membuat Tora semakin bingung dan takut untuk pulang dan melaporkan kejadian ini pada Tuannya.
***