NovelToon NovelToon
CINTA WINARSIH

CINTA WINARSIH

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat
Popularitas:16.3M
Nilai: 4.9
Nama Author: juskelapa

Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.

Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.

Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.


Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?

Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?

***

"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"

Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.

update SETIAP HARI
IG @juskelapa_

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

20. Monas

Dua hari berada di kamar terus-terusan berbaring ternyata malah membuat Winarsih merasa uring-uringan dan tak enak kepada Tina yang sudah dilimpahi pekerjaannya.

Menjelang siang Winarsih ke luar kamar untuk membantu Tina menyiapkan makan siang para pegawai. Pak Hartono dan Bu Amalia sudah berangkat ke Pekanbaru pagi-pagi sekali bersama seorang asisten pribadi dan ajudan.

Sedangkan Dean di hari-hari kerja pasti berada di kantor. Tina mengatakan jika pria itu jarang sekali pulang cepat ke rumah. Biasanya Dean akan tiba di rumah hampir tengah malam setiap harinya.

Menu makanan yang mereka masak hari itu hanya diperuntukkan kepada para pegawai yang berada di rumah. Dan hal yang paling melegakan Winarsih adalah tuan rumah mereka tidak ada, malam nanti mereka tak perlu lagi memasak menu baru.

Kata Mbah, Dean jarang sekali meminta dimasakkan makan malam. Pria itu seperti tak mau mengganggu jam istirahat para pegawai di rumahnya.

"Kamu, kok, diam saja dari tadi Win? Mikirin apa?" tanya Mbah yang menyadari kebisuannya sejak mendengar cerita yang baik-baik tentang Dean.

"Enggak apa-apa, Mbah. Tapi apa pak Dean memang sebaik itu?" tanya Winarsih hati-hati karena khawatir akan menyinggung Mbah yang tampak begitu menyayangi anak majikannya.

"Dean anak baik. Dia selalu menjadi anak baiknya Pak Hartono dengan caranya sendiri," ucap Mbah dengan nada lembut, namun tegas.

"Dean memang ketus, tapi sebenarnya penyayang. Dia cuma kesepian," ujar Mbah seraya menarik napas panjang.

Winarsih hanya diam membayangkan sikap yang sudah diterimanya dari Dean selama dirinya bekerja di sana. Cuma multivitamin itu yang dirasanya bisa sedikit mendeskripsikan cerita Mbah barusan.

Hari itu Winarsih sudah izin kepada Mbah bahwa malam nanti, dia akan pergi keluar bertemu Utomo. Winarsih beralasan bahwa ada satu hal yang harus ia selesaikan bersama kekasihnya itu.

Mbah menyetujui hal yang dikatakannya meski diikuti dengan wejangan halus. Winarsih senang karena Mbah tampak benar-benar tulus peduli padanya.

Winarsih sudah berada di kamarnya sejak pukul empat sore. Multivitamin pemberian Dean yang dicampakkannya ke dinding kemarin, kini telah ia punguti dan diletakkan kembali ke dalam kemasan.

Satu persatu Winarsih membaca merek dan fungsi multivitamin itu. Semuanya hampir sama, hanya berbeda merek dan kemasan saja.

Winarsih memutuskan untuk meminum salah satunya sesuai dengan dosis yang tertera di belakang kemasan.

Sebenarnya dia jijik sekali melihat multivitamin itu, tapi sejak kecil dia selalu diajarkan untuk tidak membuang-buang segala sesuatu.

Meski hatinya sesak dipenuhi amarah dan benci terhadap dirinya sendiri, dengan air mata menetes di pipinya, Winarsih menenggak satu buah tablet dengan segelas air putih.

Malam ini dia akan bertemu dengan Utomo. Winarsih sudah mengatakan kepada pria itu untuk menunggu di luar pagar saja. Dia tak ingin Utomo bertemu dengan Dean.

Sekarang-sekarang ini Winarsih semakin takut dengan reaksi anak majikannya itu jika bertemu dengan Utomo. Entah kenapa.

Dean pasti punya banyak koleksi ratusan kata-kata tajam untuk menghina dirinya dan Utomo. Dia juga tak mau Utomo direndahkan oleh Dean.

Pukul jam 19. 30 Winarsih telah selesai berpakaian. Di pantulan cermin dia melihat wajahnya masih terlihat pucat.

Winarsih meraba leher dan sedikit menurunkan tepi kerah kaosnya. Di sana dia masih melihat bercak kemerahan yang sekarang telah berubah menjadi sedikit kebiruan.

Itu adalah bekas gigitan Dean. Meski sudah menggosok dan mengolesinya dengan minyak angin berharap bisa menyamarkan bercak tersebut, namun usaha itu tak berhasil.

Setiap mandi dan tak berpakaian dia masih melihat beberapa tanda yang ditinggalkan Dean di tubuhnya. Hal itu menambah rasa bersalah pada dirinya karena menjadi tuan yang tak becus menjaga raganya.

Winarsih ke luar pagar dan mendapati Utomo telah berdiri di trotoar tepi jalan menunggu dirinya.

Seperti yang lalu-lalu, pakaian Utomo seringnya hampir sama. Pria itu memang jarang berbelanja pakaian. Celana bahan berwarna biru pekat dan sebuah kaos berkerah dengan warna senada melengkapi penampilan Utomo malam itu.

Rambut ikal Utomo tersisir rapi ke belakang, mengilap seperti biasa. Bibit parfum yang dipakai Utomo juga tercium dari jarak beberapa meter.

Aromanya khas seperti yang sering dicium Winarsih dari segerombolan bapak-bapak yang berdandan kelimis dan duduk di warung.

Sedangkan Winarsih, malam itu mengenakan kaos lengan panjang bercorak bunga besar-besar dan sebuah rok model A di bawah lutut berwarna biru terang. Winarsih baru menyadari kalau pakaiannya mirip seperti taplak meja makan ruang pegawai rumah Pak Hartono.

"Kita jalan sekarang, Mas?" sapa Winarsih saat tiba di depan Utomo.

Utomo tersenyum sumringah dan mengangguk. Tak lupa pria itu mengatakan, "Kamu makin cantik, Win."

Winarsih yang mendengar hal itu hanya tersenyum tipis. Tak berapa lama mereka sudah berada di sebuah taksi yang membawa mereka menuju Monas.

Sebelum tiba di halaman Monumen Nasional itu, mereka harus berjalan melewati banyak pedagang yang menjual berbagai macam souvenir.

Berkali-kali Utomo berusaha menggandeng tangan Winarsih, tapi wanita itu selalu berusaha menghindar dengan berpura-pura melakukan sesuatu.

"Bagus ya, Mas," lirih Winarsih saat kakinya memasuki halaman Monas dan memandang monumen itu dari kejauhan.

Winarsih mendudukkan dirinya di deretan batu yang membingkai jalan menuju ke arah pelataran monumen. Melihat Winarsih duduk dengan santai, Utomo pun mengikuti.

"Pertama kali diresmikan tahun 1975. Kita aja belum lahir. Awal mula didirikan namanya Lapangan Gambir. Itu di sekeliling dindingnya ada relief yang mengabadikan kejayaan Nusantara di masa lampau," tutur Utomo dengan kedua tangannya yang melingkari lutut.

Pria itu tampaknya sudah jera mencoba menggandeng tangan Winarsih.

"Mas Ut," panggil Winarsih.

"Hmmm ...?" Utomo menoleh ke arah kekasihnya.

"Apa selama ini aku sering merepotkan Mas Ut?" tanya Winarsih sambil memandang pria yang duduk di sebelah kirinya itu.

"Ngomongin apa, sih, kamu? Ngerepotin gimana? Aku sama sekali nggak pernah merasa direpotkan. Lagi pula, kamu itu pacar yang nggak baca nuntut, Win," sahut Utomo yang sedikit bingung dengan perubahan nada bicara Winarsih.

"Kamu nggak pernah malu pacaran dengan aku, Mas?" tanya Winarsih lagi. Dadanya sudah mulai terasa sesak.

"Aku sayang kamu, Win. Kamu itu perempuan baik-baik, pekerja keras dan sayang keluarga. Apa yang membuatku malu? Yanto? Aku udah sayang Yanto kayak adikku sendiri. Hubungan kita enam tahun itu tidak sebentar, Win. Meski aku sering membuatmu kesal, tapi aku benar-benar sayang kamu." Utomo menyelipkan sebagian rambut Winarsih yang ke luar dari ikatan ekor kudanya.

"Aku mau minta maaf sama, Mas Ut," lirih Winarsih.

"Minta maaf kenapa? Jangan nakutin, ah, Win. Kamu ini kesannya kayak mau ke mana aja," sergah Utomo yang perasaannya mulai tak enak.

Dia khawatir Winarsih yang dirasanya berubah akhir-akhir ini akan mengatakan sesuatu hal yang tak ingin ia dengar.

"Kayaknya aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita Mas ...." Winarsih tercekat.

Utomo setengah ternganga menatap kekasihnya. "Kamu kenapa? Apa yang salah denganku, Win? Apa karena aku yang selalu maksa-maksa kamu?" Wajah Utomo pias seketika.

Winarsih hanya menggeleng berkali-kali. "Aku nggak bisa bilang apa alasannya, tapi aku memang nggak sanggup kalau harus melanjutkan hubungan kita, Mas. Aku minta maaf." Winarsih mengusap cepat air mata yang jatuh ke pipinya.

"Tapi aku sayang kamu, Win. Aku pergi ke kota agar aku bisa menikahimu dan membuat hidupmu lebih layak. Aku sayang kamu Winarsih. Kasih tau apa salahku. Aku akan mencoba yang terbaik untuk memperbaikinya." Mata Utomo memerah. Pria itu menyisir rambutnya berkali-kali dengan jemari. Efek pomadenya sudah nyaris hilang sekarang.

"Mas Utomo layak mendapat yang jauh lebih baik dari aku," ucap Winarsih dengan senyum getir.

Utomo hanya menunduk menatap sandal bertali warna hitam dengan logo kepala kelinci kecil di kakinya.

Malam ini, Utomo menyalahkan dirinya atas kepergian Winarsih. Menyalahkan dirinya yang terlalu agresif kepada wanita itu. Menyalahkan diri karena terlalu hemat dan pelit membelanjakan uangnya selama menjalin hubungan. Serta menyalahkan dirinya yang telah membawa Winarsih ke kota dan memasukkannya bekerja di rumah Keluarga Hartono.

Hampir tiga minggu bekerja di rumah itu, entah kenapa Winarsih seperti berubah menjadi sosok yang benar-benar tidak ia kenali.

"Mas Ut," panggil Winarsih lagi.

"Ya, Win?" Seolah tersadar dari lamunannya, Utomo menatap Winarsih berharap wanita itu mengatakan kalau itu hanya candaan.

"Kita makan sate di simpang deket rumah majikanku yuk, Mas."

"Sekarang?" tanya Utomo yang kemudian dijawab dengan anggukan wanita itu. Utomo berusaha bersikap biasa agar Winarsih kembali melunak dan lupa akan hal yang baru saja dikatakannya.

"Tadi aku ngeliat kalau dagangan itu sepi pembeli. Penjualnya seorang bapak tua. Aku kasihan. Teringat ibuku di desa. Mas Utomo mau, kan, mentraktirku makan sate itu?"

Pertanyaan Winarsih itu sangat menohok Utomo. Bisa dibilang Utomo jarang mengeluarkan uang selama enam tahun hubungan mereka di Desa Beringin.

"Ya, sudah. Ayo ...." Utomo segera bangkit dari duduknya dan mengulurkan tangan kepada Winarsih untuk membantunya berdiri.

Tapi Winarsih dengan lincah sudah kembali berdiri tanpa pertolongan darinya.

******

Cukup lama mereka duduk di lapak dagangan sate seorang pria tua yang usut punya usut ternyata adalah warga perantauan, sama seperti mereka.

Bedanya, bapak penjual sate itu memboyong anak-istrinya ke ibukota dan bisa mengontrak sepetak rumah kecil di gang sempit. Sehari-hari istrinya membantu nafkah keluarga dengan menjadi buruh cuci.

Setelah puas mengobrol yang sesekali diselingi tawa, mereka meninggalkan penjual sate menuju kediaman majikan Winarsih dengan berjalan kaki.

Jaraknya memang tak begitu jauh.

"Aku nganggap kamu ngomong gitu ke aku, karena kamu mungkin sedang jenuh dengan hubungan kita. Aku berharap setelah beristirahat malam ini, kamu akan berubah pikiran," ucap Utomo seraya mulai memanjangkan tangannya hendak merangkul Winarsih.

Kemudian,

"Hei! Ngapain kamu di luar jam segini? Ayo pulang!! Besok kamu harus kerja! Ada-ada aja pembantu zaman sekarang. Katanya sakit, sekarang malah keluyuran. Cepat masuk! Saya buru-buru."

Utomo nyaris terlompat saking kagetnya.

Seorang pria tampan di balik setir mobil mewah yang pernah dikagumi Utomo berteriak ke arah mereka. Utomo mengenali pria itu sebagai anak Pak Hartono. Ada urusan apa pria itu mengajak Winarsih pulang bersamanya?

Jaka sahabatnya di desa yang merekomendasikan pekerjaan kepada Winarsih pernah mengatakan pada Utomo bahwa anak bungsu Pak Hartono itu adalah seorang pengacara sukses yang sangat angkuh.

To be continued

1
Surahman Ammank
aku baca yg ke 3 kalinya
Mom's Dinda
Luar biasa
Anonymous
Terkadang sikap orang tua lebih memelihara egonya daripd menyalurkan kasih pd anaknya.tindakan win yg sabar itu sudah betul.
Anonymous
Masa sih sekelas kelga mentri cari info rasanya lelet banget gak gercep gitu,anak buah nya pd kmana aja wkwkwk
Rima Wardhani
keren ceritanya... terimakasih
Anonymous
Seorang ibu jika anak nya bahagia ibunya duluan yg merasa bahagia.dan jika anaknya ber aib maka orang tua yg kena lebih dulu😭😭😭
Dyana
ga lepas itu jahitan nunduk2 ngemut s otong/Silent//Silent//Silent//Facepalm/
Anonymous
Sumpah aku mewek gak tega miris banget sih winarsih😭😭😭😭😭
Linda Antikasari
Luar biasa
Anggraeni Leea
luarrrr biasaaa👍👍👍👍👍👍👍
Anna
semua wanita selalu ingat akan sejarah terutama yang g enak 😂
Sastri Dalila
👍👍👍👍👍👍👍👍👍
Tuty Ismail
Luar biasa
Riski Candra
mulutnya mau di tabok
Tami Andriani
ampun dah dean🙈
Magdalena Ambatoding
baru tau rasa dean , didiemin istrinya emang enak /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Yoe Anita
lakik gue beud
azima pml
waduh 🤣🤣🤣semoga bu amelia juga menerima
Zachary
Luar biasa
Rin Riyanti
cerita bagus banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!