Aldo, seorang mahasiswa pendiam yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya, tiba-tiba terjebak dalam taruhan gila bersama teman-temannya: dalam waktu sebulan, ia harus berhasil mendekati Alia, gadis paling populer di kampus.
Namun, segalanya berubah ketika Alia tanpa sengaja mendengar tentang taruhan itu. Merasa tertantang, Alia mendekati Aldo dan menawarkan kesempatan untuk membuktikan keseriusannya. Melalui proyek sosial kampus yang mereka kerjakan bersama, hubungan mereka perlahan tumbuh, meski ada tekanan dari skripsi yang semakin mendekati tenggat waktu.
Ketika hubungan mereka mulai mendalam, rahasia tentang taruhan terbongkar, membuat Alia merasa dikhianati. Hati Aldo hancur, dan di tengah kesibukan skripsi, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Alia. Dengan perjuangan, permintaan maaf, dan tindakan besar di hari presentasi skripsi Alia, Aldo berusaha membuktikan bahwa perasaannya jauh lebih besar daripada sekadar taruhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengejar Waktu
Langkah Alia terhenti di depan gedung tua itu. Rio baru saja memintanya untuk pergi, namun suara di belakangnya memanggil namanya dengan keras. Suara yang dia kenal begitu baik. Tubuhnya menegang seketika, jantungnya berdebar keras. Itu adalah suara yang membawa perasaan bertentangan dalam dirinya—antara harapan dan ketakutan.
“Alia, tunggu!” suara itu lagi, kini lebih dekat. Napasnya terengah-engah, seperti seseorang yang berlari kencang untuk mengejarnya.
Dengan gemetar, Alia perlahan berbalik. Di sana, berdiri seseorang yang tak pernah dia sangka akan muncul di saat seperti ini. Rendra, salah satu teman lama dari masa kuliahnya, yang dulu selalu ada di sisi Alia, meskipun selama ini mereka hanya bersahabat.
“Rendra? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Alia, masih terkejut. Matanya menatap penuh kebingungan ke arah pemuda itu.
Rendra melangkah mendekat, keringat membasahi dahinya, dan sorot matanya memperlihatkan ketegangan yang mendalam. “Aku dengar apa yang terjadi. Aku nggak bisa diam saja, Alia. Aku harus memastikan kamu baik-baik saja,” katanya, suaranya bergetar dengan kekhawatiran.
Alia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Rendra, meski selama ini tak pernah terlibat dalam urusan yang rumit seperti ini, kini berdiri di hadapannya, terlihat sangat peduli.
“Kamu nggak seharusnya di sini, Rendra. Ini terlalu berbahaya,” kata Alia dengan nada cemas, sambil melirik ke arah gedung tempat Rio dan Aldo masih berada.
“Aku tahu,” balas Rendra, napasnya masih tersengal-sengal. “Tapi aku nggak bisa membiarkan kamu terlibat sendirian dalam masalah ini. Apalagi kalau ada Rio di dalamnya.” Ada nada cemburu dalam suaranya, meskipun Rendra berusaha keras menutupinya.
Alia terdiam sejenak, menyadari bahwa situasi ini jauh lebih rumit dari yang dia kira. Di satu sisi, dia tahu bahwa Rio membutuhkan bantuannya. Di sisi lain, kehadiran Rendra justru membuat semuanya menjadi semakin sulit. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
“Kita harus keluar dari sini sekarang,” kata Rendra dengan nada tegas, sambil meraih tangan Alia. “Polisi akan segera tiba, dan aku nggak mau kamu terjebak dalam masalah ini.”
Namun Alia tetap diam, pikirannya bercampur aduk. “Tapi... Rio masih di dalam. Aku nggak bisa ninggalin dia,” kata Alia dengan suara lirih, tapi penuh tekad.
Rendra tampak bingung sejenak, kemudian menghela napas panjang. “Rio? Maksudmu, kamu masih mau bantuin dia, setelah semua yang dia lakukan?”
Alia tertegun mendengar kata-kata itu. Dia tahu, dalam pandangan orang lain, Rio memang terlihat seperti seseorang yang salah, seseorang yang terlibat dalam banyak masalah. Namun Alia tahu bahwa Rio bukan hanya sekadar itu. Ada sesuatu yang lebih dalam pada Rio—sesuatu yang Alia tak bisa jelaskan dengan mudah.
“Aku nggak bisa ninggalin dia,” kata Alia akhirnya, dengan suara pelan namun mantap. “Dia mungkin salah, tapi aku nggak bisa begitu saja membiarkan dia menghadapi semuanya sendirian.”
Rendra terdiam, sejenak tak mampu berkata-kata. Matanya menatap Alia dengan penuh perasaan, seolah mencoba memahami keputusan berat yang baru saja diambilnya.
“Tapi Alia... ini gila. Kamu bisa terlibat dalam masalah besar kalau tetap di sini,” desak Rendra lagi. “Polisi akan segera datang. Mereka nggak akan membiarkan siapa pun lolos begitu saja.”
“Aku tahu,” jawab Alia dengan tenang. “Tapi aku harus melakukan ini. Aku harus mencoba menyelamatkan Rio.”
Rendra menatap Alia dengan tatapan penuh rasa kecewa, tapi dia tahu bahwa tidak ada gunanya membantah lebih jauh. Alia sudah mengambil keputusannya.
“Baiklah,” katanya dengan nada berat. “Kalau itu keputusanmu, aku akan ikut.”
Alia menatap Rendra, terkejut mendengar kata-kata itu. “Kamu... kamu akan ikut?”
Rendra mengangguk pelan, meskipun raut wajahnya memperlihatkan bahwa dia masih ragu. “Aku nggak bisa ninggalin kamu sendirian, Alia. Kalau kamu mau bantuin Rio, aku juga akan bantuin kamu.”
Alia tersenyum tipis, meskipun hatinya masih dipenuhi kecemasan. “Terima kasih, Rendra. Aku... aku nggak tahu harus berkata apa.”
Rendra hanya menggeleng pelan. “Jangan bilang apa-apa. Kita selesaikan ini dulu.”
Mereka pun kembali menuju gedung tempat Rio berada. Langkah mereka cepat namun hati-hati, memastikan tidak ada yang memperhatikan keberadaan mereka. Alia tahu waktu mereka sangat terbatas—sirene polisi semakin mendekat, dan mereka harus bergerak cepat.
Setibanya di pintu gedung, Alia ragu sejenak. Namun sebelum dia sempat memutuskan apa yang harus dilakukan, pintu itu terbuka dari dalam. Di sana berdiri Rio, dengan ekspresi tegang namun lega melihat Alia dan Rendra datang.
“Alia, kenapa kamu belum pergi?” tanya Rio dengan nada cemas. Dia lalu melihat ke arah Rendra, yang berdiri di samping Alia. “Dan kamu... kenapa kamu ikut campur?”
Rendra menatap Rio dengan tatapan penuh amarah, tapi dia menahan dirinya untuk tidak mengatakan sesuatu yang kasar. “Aku ada di sini karena Alia. Aku nggak akan biarkan dia masuk lebih dalam ke masalah ini.”
Rio terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Kalian nggak harus ada di sini. Ini urusan gue.”
“Ini bukan cuma urusanmu, Rio,” kata Alia dengan tegas. “Aku nggak akan ninggalin kamu.”
Mereka saling menatap dalam keheningan yang tegang, sebelum akhirnya Rio menyerah. “Baiklah, kalau itu yang kamu mau. Tapi kita harus bergerak cepat.”
Rio memimpin mereka masuk kembali ke dalam gedung. Situasi semakin memanas. Mereka harus mencari cara untuk keluar sebelum polisi benar-benar tiba dan mengepung tempat itu. Di dalam gedung, suasana mencekam. Aldo terlihat berjaga-jaga di dekat jendela, mengamati situasi di luar.
“Kita nggak punya banyak waktu,” kata Aldo dengan nada terburu-buru. “Polisi udah hampir sampai.”
Rio mengangguk, lalu menoleh ke Alia dan Rendra. “Kalian berdua harus keluar dari sini secepatnya. Gue dan Aldo akan coba cari jalan untuk mengulur waktu.”
“Apa maksudmu?” tanya Alia, kebingungan.
“Kita akan coba kabur lewat pintu belakang, tapi butuh waktu buat ngerjain pintunya,” jelas Rio. “Kalian keluar duluan, dan kalau kita berhasil, kita bakal susul.”
Alia ingin membantah, tapi dia tahu Rio benar. Situasi semakin gawat, dan jika mereka tidak bergerak cepat, mereka semua akan tertangkap.
Namun sebelum mereka sempat mengambil keputusan, suara pintu depan yang didobrak tiba-tiba terdengar. Alia berbalik dengan cepat, rasa takut menyelimuti hatinya.
“Terlambat...” desis Aldo pelan, tatapannya kosong menatap pintu yang kini terbuka lebar. Polisi telah masuk, dan mereka semua kini dalam bahaya.
“Cepat! Cari jalan keluar!” teriak Rio, wajahnya pucat. Dia menarik Alia dan Rendra, mendorong mereka menuju pintu belakang. Tapi sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, seorang polisi berteriak, “Berhenti!”
Alia menoleh dan melihat polisi itu mengarahkan senjatanya ke arah mereka. Situasinya sudah di luar kendali.
Dengan cepat, Rio melompat ke arah polisi itu, mencoba menjatuhkannya. Namun seketika, suara tembakan menggema di udara, dan tubuh Rio terjatuh ke lantai.
“Rio!” Alia berteriak, matanya membelalak melihat tubuh Rio yang tergeletak di lantai.
Tembakan itu menggema dalam ingatan Alia, sementara tubuh Rio terkapar tak bergerak. Di tengah kekacauan, Alia harus memutuskan—apakah dia akan bertahan untuk menyelamatkan Rio, atau lari menyelamatkan dirinya sendiri?