Putri Kirana
Terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan menjadi tulang punggung keluarga, membuatnya menjadi sosok gadis yang mandiri dan dewasa. Tak ada waktu untuk cinta. Ia harus fokus membantu ibu. Ada tiga adiknya yang masih sekolah dan butuh perhatiannya.
"Put, aku gak bisa menunggumu tanpa kepastian." Satu persatu pria yang menyukainya menyerah karena Puput tidak jua membuka hati. Hingga hadirnya sosok pria yang perlahan merubah hari dan suasana hati. Kesal, benci, sebal, dan entah rasa apa lagi yang hinggap.
Rama Adyatama
Ia gamang untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan mengingat sikap tunangannya yang manja dan childish. Sangat jauh dari kriteria calon istri yang didambakannya. Menjadi mantap untuk mengakhiri hubungan usai bertemu gadis cuek yang membuat hati dan pikirannya terpaut. Dan ia akan berjuang untuk menyentuh hati gadis itu.
Kala Cinta Menggoda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Modus (2)
Tin.
Bunyi pendek klakson membuyarkan Puput dari keterpakuan. Tadinya tengah memeras otak untuk membuat alasan penolakan. Tapi Rama sudah duduk manis di kursi kemudi. Terlihat dari kaca yang kini diturunkan.
"Put, ayo!"
Perintah yang tidak bisa dibantah lagi. Puput pun melangkah mendekati pintu kiri. Bingung lagi, duduk di depan atau di belakang. Wajahnya nampak bimbang.
"Duduk di depan, Put. Saya bukan sopir kamu." Rama seperti bisa membaca kegamangan yang tengah dirasakan Puput.
Puput tersenyum meringis. "Pak, boleh ke atas dulu gak? Mau ambil dompet dan hape." Ia urung menarik handle pintu. Berharap bisa membawa dulu dua benda wajib yang tidak boleh tertinggal kemanapun pergi.
"Gak usah. Saya yang ngajak, saya yang bayar."
Karena boss yang bicara. Mau tidak mau harus menurut. Puput masuk ke dalam mobil yang baru pertama kali ditumpanginya itu. Lagian mungkin ia tidak akan leluasa memainkan benda pipihnya selama bersama Rama.
"Kasih tahu rutenya ya!" Rama melajukan mobil keluar dari parkiran khusus. Melewati gerbang samping yang terbuka lebar sebagai akses keluar masuk kendaraan yang akan mengambil barang di gudang.
"Siap, Pak." Lugas Puput.
Nyamam banget ini mobil. Jauh beda sama yang di rumah.
Puput membatin. Jujur, sangat menikmati kenyamanan interior mobil yang nampak dimodifikasi itu. Jok yang empuk dan nyaman terbungkus bahan kulit warna hitam kombinasi coklat kualitas premium. Melirik ke bawah, alas karpet yang juga pesan custom. Secara keseluruhan benar-benar mendapat sentuhan estetik dan manly. Sepertinya sesuai selera pemiliknya.
"Belok apa lurus?" Suara Rama membuat Puput tersadar dari zona angan yang memimpikan andai punya mobil mewah seperti ini. Ia menoleh. Dan ternyata Rama tengah menatapnya. Adu pandang pun tak bisa dihindari.
Puput meluruskan pandangan dengan kedua pipi yang terasa panas. Garansi, saat ini pipinya tengah merona. Pantesan bisa lama saling tatap. Ternyata sedang berhenti di pertigaan lampu merah.
"Lurus, Pak. Tiga ratus meter lagi sampe. Posisinya di kiri."
Puput menundukkan wajah. Mendadak ada rasa gugup dan malu setelah tak sengaja saling tatap. Bahkan merasa susah berpaling, terkunci 30 detik lamanya.
Sampai ketujuan dalam kebisuan. Mobil berhenti paling sisi kanan di bawah arahan tukang parkir. Sudah ada beberapa kendaraan yang terparkir di sana dengan tujuan yang sama. Makan siang.
"Kamu bebas pesan apa saja. Jangan sungkan." Rama menyerahkan daftar menu lebih dulu kepada Puput.
Ada dua pilihan tempat makan. Meja kursi di ruangan depan. Atau deretan gazebo di ruang terbuka di belakang. Rama memilih duduk di gazebo paling ujung. Dekat dengan taman kolam ikan berhiaskan air mancur. Yang tidak akan terganggu lalu lalang orang.
"Saya udah catet. Pak Rama mau apa?" Puput mendongak usai mencatat menu yang diinginkannya.
"Kamu pesan apa aja?!" Rama enggan melihat daftar menu. Memilih mendengarkan apa yang Puput pesan.
"Ayam goreng dadanya, pepes tahu, jus sirsak. Udah itu aja. Gak muat kalau banyak-banyak. Lalab sambal mah pasti dikasih."
"Saya ngikut juga."
Puput membelalak. "Eh, tapi Pak....kali aja beda selera. Ada pepes ayam sama gurame juga. Pencok juga ada. Ah pokoknya menu khas Sunda. Lihat dulu aja Pak!" Puput menyodorkan daftar menu. Menyimpannya di depan tangan Rama. Meja lesehan menjadi pembatas jarak duduk keduanya yang saling berhadapan.
Rama menggeleng. "Sama juga kalau banyak rupa nanti mubazir gak kemakan. Dan itu jus sirsak siang-siang gini cocok. Seger."
Puput menurut. Menulis menu yang dipesan menjadi double. Dan diberikannya kepada waiter yang datang mengantarkan poci teh dan dua buah gelas.
"Pepes sama udang kemarin enak banget. Apa Ibu Sekar tidak berniat membuka rumah makan gitu?" Rama memecah kebisuan sambil menunggu pesanan datang.
"Rencana ada kok. Malah udah saya konsep. Tinggal menunggu waktu dan dana saja. Sekarang mau fokus persiapan pindah rumah dulu." Puput mengira duduk berdua dengan boss RPA akan merasa canggung dan kaku. Namun ternyata pembawaannya menyenangkan dan humble. Selalu membuka jalan percakapan.
Rama mengernyit kaget. "Kenapa harus pindah? Pindah ke mana?!"
"Ke Cikoneng, Pak. Kebetulan yang ngontrak rumah tidak akan memperpanjang lagi. Ada hikmahnya sih. Jadi kami bisa pindah ke rumah yang lebih besar. Ibu bisa buka warung nasi karena posisi lebih strategis. Saya lebih dekat ke tempat kerja. Adik-adik juga lebih dekat ke tempat sekolahnya." Jelas Puput dengan wajah semringah.
Rama mengangguk-nganggukkan kepala. "Kalau sudah pindah kasih tahu ya!" Pintanya.
Puput sejenak menatap bingung. Merasa ambigu dengan ucapan bossnya itu. Namun kemudian menganggukkan kepala.
Percakapan keduanya terhenti. Bersamaan menoleh pada kedatangan waiter yang membawa nampan berisi menu yang dipesan. Aroma ayam goreng tabur laos atau lengkuas crispy, menggugah cacing-cacing di perut untuk menabuh orkestra. Lapar.
...***...
Kembali ke RPA hampir jam 2 siang. Puput tenang-tenang saja. Telat juga gak khawatir ditegur atau diomelin rekan kerja. Kan perginya juga dengan sang owner.
Selain makan dan shalat Duhur di rumah makan tadi, waktu dihabiskan Rama dengan menerima beberapa kali panggilan telepon. Rama tidak beranjak dari duduknya selama bertelepon.
Puput yang akan turun dari gazebo juga dilarang. Akhirnya hanya duduk diam. Sesekali memperhatikan sekitarnya. Memperhatikan air terjun buatan yang mengalir jatuh ke kolam hias dengan relief tebing. Padahal ia ingin menjauh dulu. Takut dikira tidak sopan karena dapat menguping semua ucapan Rama.
Puput menangkap topik yang dibicarakan seputar bisnis. Namun ada satu panggilan dengan percakapan bahasa inggris yang ia tangkap berisi ajakan party. Namun terdengar Rama menolaknya. Meski tidak begitu mahir berbicara bahasa Inggris, namun ia mengerti banyak vocabulary.
"Pak, terima kasih untuk traktirannya." Ujar Puput setelah melepas safety belt. Senyum tulus tersungging di bibirnya.
"Sama-sama." Rama balas tersenyum. "Padahal kalau mau bungkus bilang aja jangan gengsi. Sampai dibekal segala." sambungnya beralih tersenyum jenaka.
"Maksudnya, Pak?!" Puput sungguh tidak faham dengan maksud ucapan Rama.
"Itu cabe sambel nempel." Rama mencontohkan menunjuk bawah dagunya sendiri sambil mengulum senyum.
"HAHH?! Puput melotot sambil menganga. Segera memutar spion tengah mengarah pada wajahnya. Sejenak lupa dengan alarm ucapan Ibunya. Yang ada sekarang wajahnya pucat pasi karena panik.
"Astagfirullah....ihh kok bisa." Puput mengusap serpihan cabe merah yang menempel di bawah dagu. Jangan ditanya lagi bagaimana matangnya kedua pipi. Seperti tomat.
"Ma- maaf ya, Pak. Aku mah gini orangya. Tidak bisa anggun." Puput menepuk jidat. Berakhir menutup muka sambil geleng-geleng kepala. Menyesali kecerobohannya yang biasa apa adanya. Terkadang Via yang selalu mengingatkan jika ada cabe yang menempel di gigi.
Rama bersikap tenang meski dalam hati ingin meledakkan tawa karena merasa lucu. Tapi ia menjaga perasaan Puput. Bagaimana jika nanti tidak mau lagi diajak makan.
"Santai aja. Aku malah lebih suka sikap orang yang apa adanya. Gak jaim."
Puput turun lebih dulu dengan tubub yang menegang dan berkeringat karena malu. Meminta Rama menunggu sebentar jangan dulu pergi karena akan mengambil jambu merah di jok motor.
"Astagfirullah---" Lagi-lagi Puput menepuk jidat. Menggeram tertahan karena menyayangkan sikapnya yang bodoh. Ia melangkah lebar lagi menuju mobil Rama.
"Pak, maaf lagi. Lupa, kunci motornya di tas." Puput meringis lagi sambil telunjuknya mengarah ke atas.
"Oh, oke. Pegang aja kunci mobilnya. Nanti kamu masukkin ke jok tengah." Rama menyerahkan kunci mobilnya dan mengajak Puput meninggalkan parkiran.
Puput menerimanya dengan sungkan. Ia mempersilakan Rama lebih dulu ke dalam gedung. Dengan beralasan akan ke toliet dulu.
Puput menatap pantulan dirinya di cermin washtafel khusus wanita. Mengamati lagi wajahnya yang memerah dan berkeringat. Terbayang lagi tragedi cabe kering yang membuatnya ingin menggali lubang.
Hei, Putri Kirana. Kenapa sikapmu tak seanggun bak putri sih. Kan malu-maluin...mana di depan boss lagi!
Batin Puput memarahi pantulan wajahnya di cermin dengan mimik ketus. Segera membasuh muka agar kembali normal, tenang dan segar.