Di tengah gemuruh ombak kota kecil Cilacap, enam anak muda yang terikat oleh kecintaan mereka pada musik membentuk Dolphin Band sebuah grup yang lahir dari persahabatan dan semangat pantang menyerah. Ayya, Tiara, Puji, Damas, Iqbal, dan Ferdy, tidak hanya mengejar kemenangan, tetapi juga impian untuk menciptakan karya yang menyentuh hati. Terinspirasi oleh kecerdasan dan keceriaan lumba-lumba, mereka bertekad menaklukkan tantangan dengan nada-nada penuh makna. Inilah perjalanan mereka, sebuah kisah tentang musik, persahabatan, dan perjuangan tak kenal lelah untuk mewujudkan mimpi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F3rdy 25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
FANS
Keesokan harinya setelah mereka tiba kembali di Cilacap, kehidupan seolah berubah drastis. Ayya dan Tiara disambut oleh rekan-rekan kampus mereka dengan sorak-sorai. Begitu melangkah masuk ke gedung kuliah, mereka sudah dikepung oleh teman-teman dan beberapa fans yang mengidolakan mereka setelah kemenangan besar di Rock Island.
“Ayya! Tiara! Kalian luar biasa! Gak nyangka banget kalian bisa tembus ke grand final!” seorang teman kampus menyapa, dengan mata berbinar penuh kekaguman.
“Iya, kalian jadi terkenal sekarang! Aku gak sabar lihat kalian di TV nasional!” sambung teman lainnya sambil tertawa kecil.
Ayya hanya bisa tersenyum lebar, sedikit canggung dengan perhatian yang berlebih itu. “Ah, kalian jangan berlebihan, kita cuma beruntung aja bisa sampai sana,” jawab Ayya rendah hati. Tapi dalam hatinya, dia tahu bahwa mereka telah bekerja keras untuk sampai ke tahap ini.
Di sisi lain, Tiara dengan lebih terbuka menikmati perhatian. “Yah, kalau terkenal sih kita belum, tapi terima kasih banget buat dukungannya. Jangan lupa nonton finalnya, ya!”
Namun, seiring dengan kebahagiaan itu, rutinitas mereka juga mulai terganggu. Saat berjalan di kampus, hampir setiap beberapa langkah mereka dihentikan oleh mahasiswa lain yang ingin mengobrol, mengambil foto, atau bahkan sekadar meminta tanda tangan. Awalnya, mereka menikmatinya, namun setelah beberapa hari, hal itu mulai terasa membebani.
Di tempat lain, Puji dan Damas juga merasakan perubahan yang signifikan di proyek kilang minyak tempat mereka bekerja. Teman-teman kerja mereka tak henti-hentinya membanjiri mereka dengan pujian.
“Wah, Puji, Damas, gue bangga banget sama kalian! Band lokal kita bisa tembus nasional gitu! Keren banget!”
“Iya, siapa sangka ya, orang-orang proyek ini ternyata jagoan di dunia musik juga. Gue harus minta tanda tangan nih, buat kenang-kenangan sebelum kalian jadi superstar!”
Damas tertawa kaku mendengar komentar-komentar seperti itu. “Halah, jangan lebay ah, bro. Kita masih sama kok, cuma bawa gitar ke panggung aja,” jawabnya sambil memutar gitar mainan yang ada di dekatnya, mencoba menyembunyikan rasa groginya.
Puji menghela napas panjang. “Beneran, kerjaan di sini aja udah cukup bikin kita sibuk, sekarang ditambah lagi sama perhatian kayak gini. Gue jadi gak bisa konsen kerja deh,” gumamnya pelan, namun senyum simpul tetap tergambar di wajahnya.
Sementara itu, Ferdy, yang bekerja sebagai driver ojek online, tak luput dari perhatian yang tiba-tiba meningkat. Setiap kali ia menjemput atau mengantar pelanggan, ia selalu disapa oleh pelanggan yang mengenalinya dari penampilan Dolfin Band di Rock Island.
“Mas Ferdy! Wah, Mas kan vokalis Dolfin Band, ya? Saya nonton tuh di festival, keren banget!”
“Wah, ini driver ojol yang juga bintang rock, ya? Keren banget, Mas! Maju terus, Dolfin Band!”
Ferdy tersenyum, sedikit terkejut dengan respons pelanggan-pelanggannya. “Wah, makasih ya, Mbak, Mas. Semoga suka dengan lagu-lagu kita,” jawabnya sopan, meski dalam hati mulai merasa kikuk. Ia senang, tapi intensitas perhatian ini mulai terasa berlebihan, membuatnya kehilangan privasi saat bekerja.
Di rumah Iqbal, situasi tak kalah heboh. Iqbal, yang biasanya hanya membantu ayahnya di toko kelontong, kini menjadi pusat perhatian ibu-ibu yang berbelanja.
“Eh, ini kan si Iqbal! Aku lihat di TV waktu festival rock kemarin! Hebat banget, ya! Masih muda udah terkenal!” seru salah satu ibu yang berbelanja, sambil memberikan senyum lebar.
“Bener, Bu. Ini si Iqbal, jago main drum juga ternyata. Saya bilang ke anak saya, ‘Nak, tiru tuh Iqbal. Sukses di sekolah, sukses juga di musik,’” timpal ibu lainnya, sambil tertawa kecil.
Iqbal, yang biasanya pendiam, hanya bisa tersenyum kikuk. “Iya, Bu, makasih ya, semoga aja bisa terus berkarya,” balasnya pelan. Namun, dalam hatinya, dia mulai merasa bahwa perhatian ini mulai mengganggu kesehariannya. Dia tak pernah menyangka hidupnya yang dulu tenang di toko keluarga kini berubah drastis.
Setelah beberapa hari merasakan perhatian yang berlebihan dari orang-orang sekitar, anggota Dolfin Band pun memutuskan untuk berkumpul di studio. Bukan untuk latihan, tetapi untuk berbagi keluh kesah tentang situasi yang mulai tidak nyaman ini.
Ferdy, yang duduk di kursi dengan posisi lesu, memulai pembicaraan. “Gue gak nyangka bakal begini jadinya. Gue senang sih, kita dikenal orang, tapi jujur aja, gue jadi susah kerja. Setiap kali narik pelanggan, mereka malah lebih fokus ngomongin band kita daripada bayar ongkos.”
Ayya mengangguk, tampak lelah. “Sama, Fer. Gue di kampus juga begitu. Teman-teman dan bahkan orang yang gue gak kenal tiba-tiba nyamperin minta foto atau ngobrol soal band kita. Seru sih, tapi gue jadi susah konsen belajar.”
Damas, yang biasanya tenang, ikut angkat bicara. “Gue di proyek juga gak bisa kerja dengan tenang. Teman-teman terus-terusan bahas penampilan kita di festival, padahal gue cuma pengen kerja biasa aja.”
Puji menimpali, “Gue juga, Dam. Ternyata jadi terkenal itu ada harganya, ya? Gue kangen masa-masa kita latihan tanpa ada yang tahu siapa kita.”
Tiara, yang duduk di sudut ruangan sambil memegang bass-nya, ikut menyuarakan pendapatnya. “Mungkin ini cuma fase awal aja. Kita kan baru naik daun, wajar kalau orang-orang penasaran sama kita. Tapi kita harus bisa jaga privasi juga, biar hidup kita gak terganggu terus.”
Iqbal, yang selama ini diam, mengangguk pelan. “Gue setuju. Kita butuh seseorang yang bisa ngatur ini semua. Mungkin kita harus mulai cari manajer, biar urusan kayak gini bisa di-handle.”
Semua mata tertuju pada Iqbal. “Manajer? Gue gak pernah kepikiran itu,” kata Ferdy.
“Gue juga enggak, tapi mungkin Iqbal bener,” tambah Ayya. “Kita butuh seseorang yang bisa mengatur urusan publik kita, jadi kita bisa fokus ke musik dan hidup kita masing-masing.”
Setelah diskusi panjang, mereka semua sepakat. “Oke, kita bakal cari manajer,” kata Ferdy, mengakhiri pertemuan itu dengan tekad baru.
Hari berikutnya, semua anggota Dolfin Band berkumpul kembali di rumah Ferdy. Kali ini, mereka juga mengundang keluarga mereka untuk berdiskusi soal langkah yang harus diambil. Ibu dan Ayah Ferdy duduk di ruang tamu bersama orang tua Ayya, Tiara, Damas, Puji, dan Iqbal.
“Anak-anak kita sudah mulai dikenal, dan itu hal yang bagus. Tapi aku lihat mereka mulai kewalahan dengan perhatian yang diberikan,” kata Ayah Ferdy, membuka percakapan.
Ibu Tiara menimpali, “Benar. Tiara cerita kalau dia kesulitan di kampus karena banyak teman yang terus-terusan menghampiri.”
Ayah Puji mengangguk setuju. “Aku rasa mereka butuh bantuan. Kalau terus begini, mereka bisa kelelahan sebelum mencapai tujuan utama mereka.”
Ayya pun mengutarakan pendapatnya. “Kita berpikir untuk mencari manajer, Pak, Bu. Seseorang yang bisa mengatur jadwal dan urusan publik kita, biar kita bisa lebih fokus ke musik.”
Setelah berdiskusi panjang, para orang tua setuju dengan rencana itu. “Mencari manajer adalah ide yang bagus. Kalian butuh seseorang yang bisa mengatur segala hal, terutama saat kalian mulai terkenal seperti ini,” kata Ibu Iqbal dengan bijaksana.
Setelah pertemuan itu, mereka pun mulai mencari calon manajer yang tepat untuk membantu mengelola band mereka.
Beberapa hari kemudian, Dolfin Band mengadakan sesi Q&A di studio mereka. Mereka memutuskan untuk live streaming di media sosial untuk berinteraksi dengan fans mereka secara langsung. Ini juga salah satu cara untuk menenangkan diri dari kehebohan yang mereka alami belakangan ini.
“Selamat sore, teman-teman! Kami dari Dolfin Band mau mengadakan sesi tanya jawab hari ini. Kalian boleh tanya apa aja, kami bakal jawab sebaik mungkin!” kata Ferdy membuka sesi live mereka.
Pertanyaan demi pertanyaan pun mengalir dari para fans.
“Gimana rasanya jadi terkenal setelah menang di Rock Island?” tanya seorang fans.
Ayya menjawab dengan senyum, “Jujur, rasanya campur aduk. Kita senang bisa dikenal orang, tapi di sisi lain, kita juga jadi lebih sibuk dari sebelumnya.”
Pertanyaan lain muncul, “Kapan kalian akan
rilis album baru?”
Puji dengan semangat menjawab, “Kita lagi kerja keras di studio buat ngerjain lagu-lagu baru. Jadi, tunggu aja, ya! Pasti bakal ada sesuatu yang keren.”
Sesi tanya jawab itu berjalan dengan lancar, dan para fans semakin antusias mengikuti perkembangan Dolfin Band.
Beberapa hari kemudian, Dolfin Band mendapat undangan untuk hadir di sesi tanya jawab di radio lokal, Radio Bercahaya FM. Mereka merasa senang bisa berbagi cerita lebih dalam tentang perjalanan mereka di Rock Island dan rencana masa depan.
“Selamat datang di Radio Bercahaya FM, bersama Dolfin Band, band lokal kita yang sedang naik daun!” kata penyiar radio menyambut mereka dengan hangat.
Pertanyaan demi pertanyaan pun diajukan oleh pendengar setia radio tersebut. Mulai dari cerita mereka sebelum bergabung di Rock Island hingga rencana mereka ke depannya.
Ferdy, dengan semangat, menjawab setiap pertanyaan dengan jujur. “Kami gak pernah menyangka bisa sampai di titik ini. Semua terjadi begitu cepat, tapi kami akan terus berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian semua.”
Setelah sesi di radio selesai, Dolfin Band merasa lebih termotivasi. Mereka kini memiliki tujuan yang lebih jelas: untuk terus berkarya, menginspirasi, dan menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan dunia hiburan.
Dengan manajer baru di sisi mereka, Dolfin Band kini siap melangkah lebih jauh. Mereka menyadari bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan tantangan di depan akan semakin besar. Namun, bersama keluarga, fans, dan orang-orang terdekat, mereka yakin bisa menghadapi semuanya dengan hati yang kuat dan semangat yang tak pernah padam.
saya Pocipan ingin mengajak kaka untuk bergabung di Gc Bcm
di sini kita adakan Event dan juga belajar bersama dengan mentor senior.
jika kaka bersedia untuk bergabung
wajib follow saya lebih dulu untuk saya undang langsung. Terima Kasih.