Di ulang tahun pernikahannya yang kedua, Lalita baru mengetahui kenyataan menyakitkan jika suaminya selama ini tidak pernah mencintainya, melainkan mencintai sang kakak, Larisa. Pernikahan yang selama ini dia anggap sempurna, ternyata hanya dia saja yang merasa bahagia di dalamnya, sedangkan suaminya tidak sama sekali. Cincin pernikahan yang yang disematkan lelaki itu padanya dua tahun yang lalu, ternyata sejak awal hanya sebuah cincin yang rusak yang tak memiliki arti dan kesakralan sedikit pun.
Apa alasan suami Lalita menikahi dirinya, padahal yang dicintainya adalah Larisa? Lalu akankah Laita mempertahankan rumah tangganya setelah tahu semua kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berusaha Tegar
Lalita duduk di kursi ruang tunggu sebuah rumah sakit, tampak sedang mengantri untuk melakukan pemeriksaan di poli obgyn. Hari ini, Lalita memang hendak memeriksakan kandungannya seperti yang sebelumnya sudah dia rencanakan. Bedanya, jika dalam rencananya dia hendak mengajak Erick untuk melihat secara langsung kondisi calon anak mereka, tapi yang terjadi sekarang, dia hanya datang seorang diri saja. Tentu saja Erick tidak ada
Sejak tadi Lalita termenung sendiri.
"Tidak apa-apa, Lita. Tidak masalah, kamu bisa melakukan semuanya sendiri," gumam dalam hati sembari menghela nafas pelan. Sekuat tenaga dia berusaha membesarkan hatinya atas apa yang tengah dihadapinya saat ini.
Namun, meski telah berusaha untuk kuat, tetap saja Lalita adalah seorang perempuan yang membutuhkan bahu suaminya sebagai tempat bersandar. Terlebih dalam keadaan sedang berbadan dua seperti sekarang ini. Melihat para perempuan lain yang datang memeriksakan kehamilan mereka dengan didampingi oleh suami masing-masing, mau tak mau hati Lalita pun menjadi terasa begitu ngilu.
"Sayang, kamu tunggu di sini dulu, ya. Aku mau ke toilet sebentar," ujar seorang lelaki pada istrinya yang juga ikut menunggu antrian seperti Lalita.
Tanpa sadar, ekor mata Lalita melirik ke arah sumber suara.
"Jangan lama-lama, ya," sahut si istri dengan nada yang terdengar agak manja. Perutnya sudah lumayan besar, yang menunjukan jika usia kehamilannya sudah lumayan tua.
"Iya, tentu saja. Aku tidak akan lama," ujar suami perempuan itu lagi sembari mengusap lembut pucuk kepala istrinya. Setelah itu, barulah dia bangkit dan berlalu menuju ke toilet.
Bibir Lalita sedikit menipis menyaksikan interaksi pasangan tersebut. Terlihat sangat jelas kalau mereka pasangan yang saling mencintai satu sama lain. Pancaran sorot mata keduanya yang terlihat begitu hangat saat saling bertatapan.
Lalita pun menunduk. Selama dua tahun ini, dia selalu menatap ke arah Erick seperti itu, hangat dan penuh cinta. Tapi tak pernah sekali pun lelaki itu membalas tatapannya dengan sorot yang sama. Lalu dengan naifnya Lalita mengira jika Erick hanya tak pandai mengekspresikan perasaannya saja. Sekarang baru dia sadari jika sejak awal memang tak pernah ada cinta untuknya, karena semua rasa yang Erick miliki hanya tertuju pada Larisa saja.
Perasaan Lalita terasa ngilu setiap kali teringat akan fakta itu. Namun, sebisa mungkin dia berusaha untuk tak tenggelam dalam kesedihan di hatinya, mengingat saat ini ada calon kehidupan yang bersemayam di dalam perutnya. Bagian dari dirinya yang harus dia jaga.
Demi menghibur diri, Lalita pun kembali menoleh ke arah perempuan yang barusan ditinggal ke toilet oleh suaminya itu.
"Sudah berapa bulan, Mbak?" tanya Lalita sembari tersenyum ramah.
Perempuan itu menoleh dan langsung balas tersenyum.
"Sudah tujuh bulan." Dia menjawab sembari mengusap lembut perutnya yang membulat.
"Berarti sudah tidak lama lagi bayinya akan lahir," ujar Lalita lagi.
Perempuan itu mengangguk mengiyakan. "Mbak sendiri sudah berapa bulan? Sepertinya baru isi?"
Berganti Lalita juga yang mengangguk.
"Kalau tidak salah menghitung, baru lima minggu." Lalita menyahut. Sudah seminggu sejak tempo hari dia dinyatakan hamil empat minggu. Berarti menurut perhitungannya, janin dalam kandungannya sudah berusia lima minggu.
"Wah, sedang susah-susahnya itu. Saya tempo hari sampai harus dirawat di rumah sakit waktu awal-awal hamil." Perempuan itu menanggapi.
"Oh ya?"
"Iya. Saya muntah-muntah parah, sampai minum air putih pun tidak bisa, makanya mesti diinfus untuk mendapatkan nutrisi." Perempuan itu menerangkan.
"Oh ..." Lalita bergumam.
Meski hamil muda, Lalita tidak merasakan seperti yang perempuan itu katakan. Belakangan tubuhnya memang terasa lemas dan perutnya terkadang agak mual, tapi tak sampai muntah-muntah juga. Sewaktu hampir pingsan tempo hari pun, hal itu terjadi karena dirinya yang terlalu kelelahan menyiapkan pesta ulang tahun pernikahan. Lalu setelah beristirahat seharian, kondisi tubuhnya segera menjadi baik kembali.
Mungkin calon anak yang akan yang ada dalam kandungan Lalita tak ingin membuat ibunya semakin kesulitan, mengingat situasi yang di hadapi Lalita saat ini sudah cukup buruk. Bahkan, untuk memberitahukan kehamilannya pada orang-orang terdekatnya pun Lalita masih enggan, karena itu pasti akan membuat Erick juga mengetahui tentang kehamilannya.
"Kalau dilihat-lihat, sepertinya Mbak tidak punya kendala meskipun sedang dalam masa ngidam." Ucapan perempuan tadi kembali membuyarkan pikiran Lalita.
"Iya, memang tidak ada. Badan saya cuma terkadang lemas dan gampang lelah. Perut saja juga kadang terasa mual tapi hanya sebatas itu saja," sahut Lalita.
"Bagus itu. Saya juga kalau bisa, maunya seperti itu saja, jangan sampai dirawat di rumah sakit. Kasihan suami saya," ujar perempuan itu lagi.
"Suami Mbak siaga sekali kelihatannya." Lalita kembali menanggapi dengan agak berseloroh.
"Iya. Maklum, Mbak. Ini anak pertama kami. Suami saya benar-benar merasa senang dan bersemangat karena mau menjadi seorang ayah untuk yang pertama kalinya." Perempuan itu berujar lagi sembari tersenyum. Senyum yang terlihat begitu bahagia.
Lalita juga ikut tersenyum, tapi ada sudut hatinya yang terasa begitu nyeri. Tanpa sadar, tangannya terulur mengusap perutnya yang masih rata. Akankah Erick juga merasa senang jika seandainya Lalita memberitahukan prihal kehamilannya? Rasanya tidak mungkin. Kalau mengingat semua yang diucapkan lelaki itu pada Larisa di malam anniversary mereka, jelas Erick tak akan menerima kehamilan Lalita sebagai sesuatu yang membahagiakan.
"Ngomong-ngomong, Mbak datang ke sini sendirian saja, ya?" Lagi-lagi suara perempuan tadi membuyarkan isi kepala Lalita.
"Ah, iya." Lalita terlihat sedikit tergagap. "Suami saya sedang bekerja ...."
"Suami saya juga sebenarnya harus bekerja, tapi dia bersikeras untuk mengambil cuti supaya bisa mengantar saya."
Lalita tersenyum pahit.
"Suami saya tidak bisa cuti, jadinya saya terpaksa datang sendiri."
"Tidak apa-apa, Mbak. Semoga jadwal pemeriksaan selanjutnya, suami Mbak bisa mengantar Mbak." Perempuan itu kembali tersenyum ke arah Lalita.
"Iya, mudah-mudahan saja." Lalita menanggapi. Hatinya terasa semakin pedih, tapi tentu semua itu harus dia tahan. Dia harus terbiasa menghadapi semua ini dan menerima kenyataan jika harus hamil tanpa dukungan serta kasih sayang seorang suami. Dia harus kuat demi calon anaknya.
Tak berapa lama kemudian, suami perempuan tadi kembali dari toilet. Bersamaan dengan itu, giliran mereka masuk ke ruangan poli obgyn pun tiba.
"Saya duluan ke dalam, ya, Mbak," pamit perempuan itu pada Lalita.
Lalita hanya mengangguk sembari tersenyum. Dalam hati dia merasa iri saat melihat betapa erat tangan suami perempuan itu menggenggam jemari istrinya. Perlakuan sederhana namun terasa begitu istimewa dan juga mahal bagi Lalita. Seumur hidupnya, sepertinya dia tak akan pernah mendapatkan perlakuan sehangat itu dari Erick.
"Tidak apa-apa, Nak. Papamu mungkin tidak bisa berada di sisimu. Tapi kamu jangan khawatir, masih ada Mama yang akan selalu ada bersamamu. Mama akan memastikan kalau kamu tidak akan kekurangan cinta dan kasih sayang." Lalita bermonolog dalam hati sembari kembali mengusap perutnya dengan lembut. Dia berusaha untuk tegar demi calon anaknya.
Bersambung ....