Kesalahan di masa lalu membuat Maudy memiliki seorang anak.
Seiring bertambah usia, Jeri merindukan sosok seorang ayah.
"Apa kamu mau menikah denganku?" tanya Maudy pada pria itu.
"Aku tidak mau!" tolaknya tegas.
"Kamu tahu, Jeri sangat menyukaimu!" jelas Maudy. Semua demi kebaikan dan kebahagiaan putranya, apapun akan dilakukannya.
"Aku tahu itu. Tapi, aku tidak suka mamanya!"
Akankah Maudy berhasil memberikan papa untuk Jeri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hai_Ayyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 - Calon Istri
Roni telah bersiap berangkat ke kantor. Sebelum pergi ia mengunci pintu kamar kost lalu berjalan menuju mobilnya.
"Mas."
Saat akan naik ke mobil, seseorang memanggilnya. Ia membuang nafasnya perlahan dan melihat orang itu.
"I-ini dari mama!" dan lagi Cici memberikan bekal makanan untuknya.
Cici akan pelan-pelan mendekati pria itu. Ia tahu jika semalam Roni berbohong jika akan segera menikah.
Selama ini saja, tidak pernah sekalipun melihat seorang wanita yang mencari pria itu. Intinya duda itu masih sendiri. Dan tadi malam sengaja beralasan itu untuk menolaknya.
"Maaf, aku sudah sarapan." tolak Roni dengan sopan.
Sebagai pria ia mengerti jika Cici masih berusaha mendekatinya. Jadi akan menolak bekal tersebut, walaupun katanya itu pemberian dari ibu kost.
"Kalau sudah sarapan, untuk makan siang saja!" balas Cici. Ia sudah bersusah payah bahkan bangun pagi untuk memasakkan itu. Jadi tidak terima penolakan.
"Kamu tidak usah repot-repot!" tetap Roni menolak.
"Mas, aku hanya ingin menjadi temanmu. Wajar saja sesama teman harus baik, kan?!" ucap Cici memaksa.
Ya, diawali dengan teman dan pada akhirnya akan demen juga.
"Maaf." Roni tetap menolak.
"Mas!" Cici menyerahkan bekal tersebut. Dan Roni mendorong bekal yang dipegang Cici.
"Maaf, aku-"
"Papa!"
Roni terkejut saat mendengar suara Jeri. Ia pun berbalik dan melihat bocah kecil itu berlari kecil ke arahnya.
"Papa." wajah Jeri begitu riang. Ia memegang tangan papanya.
"Jeri kena-" Roni akan bertanya.
"Mas, siapa anak ini?" tanya Cici yang tampak kaget. Anak kecil itu tiba-tiba muncul dan memanggil Roni papa.
Apa bocah ini anaknya Roni? Mengingat Roni itu seorang duda dan bisa jadi memiliki anak dari pernikahan lalunya.
"Papa akan mengantar Jeri ke sekolah kan?!" harap bocah itu sambil menggoyangkan tangan Roni.
"Jeri, ayo kita pergi!" ajak Maudy yang menghampiri mereka. Ia akan membawa putranya dan menjauhkan Jeri dari pria buaya darat itu.
"Jeri mau diantar papa, ma." Jeri mengeratkan genggamannya pada Roni.
Cici makin shock tatkala ada wanita lain yang tiba-tiba muncul, lalu dipanggil mama oleh anak kecil itu. Berarti wanita yang tampak angkuh itu mantan istrinya Roni.
"Mas, siapa dia?" tanya Cici menahan gemuruh hatinya, ia ingin mendengar langsung dari mulut pria itu.
Roni melihat Maudy dan Cici yang melihatnya dengan tatapan tajam. Posisi apa ini? Ia seperti tertangkap basah atas perselingkuhan.
"Mas, siapa wanita ini?" tanya Cici sekali lagi, pertanyaan penuh penekanan. Seolah butuh kejelasan atas keadaan ini.
Dan Maudy juga menunggu apa yang akan dikatakan pria buaya modus itu. Apa berani mengatakan kebenaran jika sedang berusaha mendekatinya?
Maudy tersenyum sinis, itu tidak mungkin. Paling Roni akan mengatakan jika dirinya adalah atasan di kantor.
Pria itu mudah ditebak, pasti akan mencari aman. Tidak mau perbuatannya diketahui gebetannya itu.
Ya, menurut Maudy, wanita yang memberikan bekal itu adalah gebetan atau mungkin juga kekasihnya. Intinya Roni sedang dekat lah dengan wanita itu.
"Mas, jawab! Siapa wanita ini?" Cici masih meninggikan ucapannya. Rasa sedih dan sakit hati telah menguasai dirinya. Ia butuh kejelasan dan penjelasan.
"Dia-"
Maudy dan Cici sama-sama menunggu. Menunggu apa yang akan dikatakan pria itu.
"Dia-, dia calon istriku!" jawab Roni.
"Apa?" Cici sangat shock berat mendengar itu. Apa wanita ini yang dimaksud Roni tadi malam. Pria itu benar-benar telah memiliki calon istri dan akan menikah.
"Ca-calon istri?" Maudy juga shock mendengarnya, Roni bilang dia calon istrinya.
Lalu hati Maudy seakan mulai berbunga atas pengakuan itu. Roni bilang ia calon istri, membuatnya jadi mengulum senyuman.
"Jeri pasti sudah terlambat. Ayo, berangkat ke sekolah!" Roni langsung menggendong Jeri.
Roni sengaja mengatakan jika Maudy calon istrinya agar Cici melihat langsung dan tidak mendekatinya lagi.
Dan mengenai Maudy, bisa ia jelaskan nanti agar tidak ada kesalahpahaman juga di antara mereka.
"Kami pergi dulu." ucap Roni pada Cici. Ia melihat wanita itu menahan air mata.
"Ayo!" Roni pun menggandeng tangan Maudy. Mereka harus segera pergi dari sana.
Apa tidak tahu ini sudah jam berapa? Jeri bisa terlambat.
Deg, deg, deg... Hati Maudy berdebar kencang.
'Apaan ini?' batin Maudy saat tangannya digandeng Roni dan pria itu juga menggendong Jeri.
Mereka sudah seperti keluarga kecil yang bahagia.
Blush... Pipi Maudy mulai merona. Pria modus itu begitu manis.
"Tunggu sebentar ya Jeri, om akan ambil mobil." ucap Roni melepas tangan Maudy dan menurunkan Jeri dari gendongannya.
"Naik mobilku saja!" tawar Maudy sambil menunjuk ke arah depan. Mobilnya menepi di sana.
Maudy menyerahkan kunci mobil ke tangan Roni dan menggandeng Jeri menuju mobilnya.
Roni jadi terpaksa menurut, jika ia memaksa naik mobilnya pasti akan berdebat dengan wanita itu. Jeri akan terlambat ke sekolah.
Dan tidak mungkin juga mereka pergi dengan 2 mobil, Jeri mau duduk di mana. Bersamanya atau wanita itu?
"Om akan antar Jeri ke sekolah, setelah itu om akan ke kantor." ucap Roni seraya memasang sabuk pengamannya. Mereka telah berada di dalam mobil.
"Yee... Jeri diantar papa!" Jeri senang sekali. Hari ini papanya akan mengantar ke sekolah. Pasti nanti teman-temannya akan melihat papanya. Dan nantinya mereka tidak akan mengatakan jika ia tidak punya papa.
Sekarang Jeri punya papa seperti teman-teman yang lain.
"Nona, di mana sekolah Jeri?" tanya Roni melihat wanita di sampingnya.
Maudy duduk dengan memangku Jeri di kursi sampingnya. Dan wanita itu kembali diam menatapnya.
"Nona!" Roni menepuk tangannya di depan wajah Maudy.
"Hah, hah apa?" Maudy pun tersadar. Ia malah terpesona dengan Roni. Pria itu auranya begitu bersinar membuatnya silau.
"Ke-kenapa kamu belum jalan?" tanya Maudy jadi gugup. Mereka masih di depan rumah pria itu.
"Sekolah Jeri di mana?" terpaksa Roni bertanya lagi.
"Oh, di..." Maudy pun menyebutkan dan Roni mengangguk saat sudah paham arahnya.
Dalam perjalanan, Maudy melirik-lirik pria itu. Ia ingin mempertanyakan maksud calon istri. Kenapa mengatakan ia calon istri di depan wanita itu.
"Hmmm." Maudy berdehem untuk tes vokal.
Dan Roni melirik sekilas. Ia juga ingin menjelaskan pada wanita itu maksud omongannya tadi, biar Maudy tidak salah paham.
"Ta-tadi maksudmu apa bilang aku calon istrimu?" tanya Maudy berusaha bersikap biasa. Padahal hatinya sudah cenat cenut dengan dua kata itu.
"Aku mengatakan seperti itu untuk menghindari wanita itu." ucap Roni. Ia bingung mau dari mana menjelaskannya. Jadi begitu saja.
Maudy mulai penasaran, kenapa wanita itu dihindari. Bukankah itu kekasihnya?
"Tadi itu siapa?" tanya Maudy kembali.
"Dia anak ibu kost."
Maudy mengangguk. "Kekasihmu?"
"Bukan." jawab Roni. Cici bukan kekasihnya, lagian wanita itu terlalu muda untuknya. Cici masih kuliah.
Maudy tersenyum samar, wanita tadi ternyata tidak ada hubungan dengan pria itu.
"Oh, wanita itu menyukaimu tapi kamu tidak menyukainya." Maudy sepertinya mulai paham.
"Ya, begitulah." Roni mengangguk mengiyakan.
"Kenapa calon istri, seharusnya kan kamu bisa beralasan yang lain!" ucap Maudy pelan. Ia jadi salah paham dengan 2 kata itu.
Tapi Maudy yakin jika Roni mengakui dirinya calon istri bukan tanpa alasan. Pria itu kan banyak modusnya, masih berpura-pura seolah tidak menyukainya.
Maudy jadi gemas dengan pria itu. Buat baper saja.
"Agar dia percaya dan tidak mendekatiku lagi!" jelas Roni. Hanya itu tidak ada yang lain.
Maudy tidak percaya, Roni masih tidak mengakuinya. Padahal tinggal akui saja kalau begitu suka dan tergila-gila padanya. Sok-sok an jual mahal.
Maudy yang masih kesem-sem atas ucapan calon istri itu memegang jari tangan Jeri.
"A-apa kamu-""
"Aduh, mama. Kok jari Jeri digigit?"
.
.
.