Arumi harus menelan kekecewaan setelah mendapati kabar yang disampaikan oleh Narendra, sepupu jauh calon suaminya, bahwa Vino tidak dapat melangsungkan pernikahan dengannya tanpa alasan yang jelas.
Dimas, sang ayah yang tidak ingin menanggung malu atas batalnya pernikahan putrinya, meminta Narendra, selaku keluarga dari pihak Vino untuk bertanggung jawab dengan menikahi Arumi setelah memastikan pria itu tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun.
Arumi dan Narendra tentu menolak, tetapi Dimas tetap pada pendiriannya untuk menikahkan keduanya hingga pernikahan yang tidak diinginkan pun terjadi.
Akankah kisah rumah tangga tanpa cinta antara Arumi dan Narendra berakhir bahagia atau justru sebaliknya?
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada calon suami Arumi hingga membatalkan pernikahan secara sepihak?
Penasaran kisah selanjutnya?
yuk, ikuti terus ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadya Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 24
“Tuan, berarti istri Anda masih–” Satria menggantung ucapannya ketika tatapan Narendra langsung tertuju ke arahnya. “Ma-maaf, saya lancang, Tuan.”
“Sudahlah, kamu tidak perlu tahu soal itu. Kerjamu kali ini sangat bagus, Sat. Setelah ini saya akan segera kirimkan bonus buat kamu,” puji Narendra dengan tulus meski tadinya ia sedikit kesal karena Satria ternyata turut mendengarkan apa yang Vino katakan pada teman-temannya.
Meski begitu Narendra begitu mengapresiasi kerja keras Satria, walaupun pria itu tidak secara langsung mencari informasi itu melainkan menyewa seorang detektif swasta, tetapi usahanya dalam mengumpulkan informasi patut dibanggakan karena ia sendiri tidak perlu repot-repot mencarinya.
“Beneran, Tuan?” tanya Satria dengan nada terkejut. Meski Narendra sering memberikan bonus, hal itu tetap saja membuat Satria senang bukan main.
“Iya … itu pun kalau kamu mau, kalau tidak, ya, sudah,”
“Saya mau, saya mau, Tuan!” pekik Satria cepat.
Kini, hati Narendra benar-benar lega setelah mendapatkan informasi dari Satria.
Sebenarnya setelah semalaman memikirkan semuanya, Narendra memutuskan untuk menerima Arumi apa adanya terlepas dari masa lalunya yang begitu suram. Namun, ternyata sikap legowonya justru menuntunnya pada sebuah kebenaran yang kini semakin pria itu syukuri.
“Kalau begitu saya pamit undur diri, Tuan.” Satria menundukkan kepalanya kemudian berlalu pergi setelah mendapatkan anggukan dari Narendra.
Narendra mengembuskan napasnya pelan. Diraihnya ponsel yang ada di atas meja kemudian mengulir galeri yang terdapat fotonya bersama Arumi di atas pelaminan. Meski terlihat sederhana dan tidak ada kebahagiaan di antara keduanya, tetapi baik Arumi maupun Narendra tetap menyematkan senyuman tipis sebagai pertanda jika mereka tengah berbahagia meski kenyataannya itu hanyalah kepura-puraan saja.
“Sudahkah benar keputusanku kali ini?” gumam pria itu dengan lemah sembari meletakkan kembali ponselnya.
Pria itu bukannya tidak bisa menentukan pilihan, tetapi ia percaya bahwa apapun yang terjadi pada hidupnya itu memang telah digariskan dan dirinya hanya menerimanya dengan hati lapang. Narendra yakin, jika di balik semua kejadian yang ia alami, semua itu pasti ada alasannya. Meski awalnya pria itu bersedia menikahi Arumi karena untuk menghindari mantan istrinya.
Tidak ingin terlalu berlarut dengan masalah kehidupannya, Narendra segera kembali berkutat dengan berkas-berkas pekerjaannya sehingga nanti dirinya tidak lagi pulang terlambat.
***
Arumi baru saja tiba di kantor dan segera berlari menuju loker untuk menyimpan tasnya. Wanita itu segera menjalankan pekerjaannya sebelum para karyawan lainnya berdatangan.
“Eh, Rum, baru dateng?” sapa Gita yang datang bersama Alan.
Arumi yang masih memegang gagang pel itu pun mengangguk. “Iya, mau langsung bersih-bersih biar nggak diomelin sama Bu Desi. Kalian buruan kerja, jangan pacaran mulu!” Arumi berseru, mengejek keduanya karena terlihat begitu dekat, tetapi tidak kunjung jadian.
“Apaan, sih, kamu, Rum. Siapa yang pacaran, coba?” Gita mengelak dengan pipi bersemu merah. “Oh, iya, Rum, aku turut prihatin, ya. Semoga kamu cepat dapat pengganti Vino,” sambungnya pelan.
Wanita yang memiliki tahi lalat kecil di pucuk hidungnya itu menatap iba ke arah teman sekaligus sahabat karibnya.
Arumi menggeleng sambil tersenyum. “Nggak perlu begitu, kali, Git. Aku biasa aja, kok, aku juga akhirnya jadi menikah.” ungkap Arumi apa adanya.
“Syukurlah kalau kamu jadi– APA?!” Awalnya Gita mengangguk paham, tetapi setelah kembali mencerna ucapan Arumi, wanita itu terkejut bukan main, bahkan Alan pun sama terkejutnya.
“Kok, kamu kemarin nggak ada cerita, Rum?” tanya Alan yang begitu penasaran membuat Arumi Mengembuskan napasnya pelan.
“Aku memang batal menikah sama Vino, tapi tidak sama sepupunya. Ayah nyuruh sepupu Vino yang kebetulan dateng buat tanggung jawab ke aku,” ungkap Arumi dengan lirih. Terlihat jelas guratan kesedihan di pelupuk matanya.
Baik Gita maupun Alan menjatuhkan rahangnya sebab untuk terkejut pun keduanya seakan tidak memiliki tenaga. Berita Arumi yang batal menikah dengan Vino saja sudah membuat keduanya syok, apalagi mendengar ternyata Arumi jadi menikah, tetapi dengan mempelai pria pengganti. Sungguh semua itu terasa di luar nurul, eh, nalar.
“Wah! Kamu kalau bercanda emang suka kelewatan, ya, Rum!” Gita berseru jengkel.
Arumi mengernyitkan dahinya. “Memangnya aku kelihatan bohong, ya? Kalau kalian nggak percaya, ya, sudah. Toh, aku udah ngasih tahu.”
“Ya, bukan gitu, Rum. Jadi, itu beneran? Kamu udah nikah?”
“Iya, sud–” ucapan Arumi harus terpotong ketika Bu Desi tiba-tiba datang dan menegur mereka bertiga.
“Hei! pagi-pagi bukannya kerja malah ngegosip. Ayo, buruan bubar dan kerjakan tugas masing-masing. Arumi, tolong buatkan kopi buat Pak Direktur,” tegas Bu Desi.
Alan dan Gita langsung pergi menuju loker dan memulai pekerjaannya, sementara Arumi masih melongo di tempatnya.
“Saya, Bu?”
“Iya, lah, siapa lagi? Kamu, kan, yang kemarin bikinin kopi buat Pak Direktur?” tanya Bu Desi dibalas anggukan oleh Arumi.
“Ya, sudah, buruan. Jangan buat Pak Naren menunggu terlalu lama!” sentaknya kemudian meninggalkan Arumi sendirian.
Di dalam ruangannya, Narendra tampak mengulas senyum tipisnya setelah menghubungi bagian pantry untuk membuatkan minuman yang sama seperti kemarin. Entah apa yang ada di pikiran pria itu, yang jelas Narendra hanya ingin melihat wajah istrinya pagi ini.
Lama menunggu akhirnya pintu ruang kerjanya diketuk dari luar, setelah memperbolehkan untuk masuk, Arumi yang sudah berdiri di depan pintu dengan nampan di tangannya pun segera membuka pintu dan masuk ke ruangan suami sekaligus atasannya.
“Kopinya, Tuan,” ucap Arumi begitu formal.
Narendra memandang tidak suka ke arah Arumi. Entah mengapa pria itu merasa jika Arumi sedang menjaga jarak darinya setelah kejadian semalam.
“Bisa tidak, jangan memanggil suamimu dengan sebutan itu?” sinis Narendra sedikit kesal.
Arumi yang semula hendak pamit pun menjadi urung. Ditegakkannya punggungnya kemudian menatap Narendra yang tengah menatap dirinya dengan intens.
“Maaf, Tuan. Itu sudah prosedur bahwa bawahan harus bersikap sopan kepada atasannya dan saya harus menaatinya,” jawab Arumi, kembali menunduk.
Jujur saja dada Arumi sangat tidak nyaman karena merasakan debaran yang begitu kuat seakan hendak merontokkan organ dalamnya. Wanita itu merasa segan sekarang dengan Narendra sebab pria itu sudah mengetahui cerita masa lalunya yang sangat tidak baik.
Arumi ingin segera pergi dari ruangan itu, bertemu tatap dengan Narendra membuat pertahanan tubuhnya tidak kuat. Arumi ingin menangis sekarang.
“Kalau begitu berhentilah bekerja dan tinggallah di rumah!” putus Narendra seenaknya membuat Arumi membelalakkan matanya.
Wanita itu pikir, Narendra sangat muak dengannya dan berniat memecatnya. Ia semakin yakin jika Narendra akan mundur dari pernikahan mereka sebab tidak mau menerima masa lalunya.
“Jadi, Tuan memecat saya? Atas dasar apa, Tuan? Bahkan saya tidak melakukan kesalahan!” Arumi berucap sangat tegas dengan sorot mata tajam ke arah Narendra.
Ternyata tidak hanya akan diceraikan, aku juga akan didepak dari sini, batin Arumi pedih.
Kening Narendra mengernyit mendengar ucapan Arumi, wanita itu tengah salah paham dengan ucapannya.
“Bukan itu maksud aku, Rum, kamu salah pah–”
“Baik, kalau itu yang Anda inginkan. Saya akan keluar dari sini. Terima kasih untuk kesempatannya, Tuan. Saya permisi.” Sambil menunduk, Arumi pamit undur diri.
Tiba di luar ruangan Narendra, Arumi langsung meluruhkan tubuhnya di atas lantai yang dingin. Sedari kemarin suasana hatinya sangat tidak nyaman.
Dimulai dari kedatangan istri serta kenyataan jika suaminya adalah bosnya di kantor, juga dengan kejujurannya yang membuat Narendra tiba-tiba meninggalkan dirinya di kamar sudah cukup membuat Arumi tertekan, dan pagi ini, dirinya merasa bahwa Narendra dengan halus mengusir dirinya dari pekerjaannya apalagi sejak bangun dari tidurnya, wanita itu tidak mendapati keberadaan suaminya.
Wanita yang tidak memiliki pengalaman dalam hal percintaan itu pun begitu terpukul. Ia kalah telak, ia tidak memiliki sesuatu yang berharga untuk ia ia banggakan pada Narendra. Arumi benar-benar merasa sangat rendah diri sekarang.
“Apa ini sebagai jawaban dari keputusan Naren kemarin?” gumamnya pelan.
Tanpa Arumi sadari jika ia baru saja membuat suatu kesimpulan yang berbeda jauh dari kenyataan yang sebenarnya.
Sementara itu, Narendra yang berada di dalam ruangannya tentu keheranan dengan sikap aneh istrinya itu. Niatnya ingin agar Arumi berdiam diri di rumah tanpa harus lelah bekerja justru dianggap seperti sebuah pengusiran.
Pria itu bergegas mengecek CCTV di luar ruangannya untuk melihat istrinya. Akan tetapi, pria itu justru terbelalak ketika melihat Arumi yang tengah duduk di depan pintu ruang kerjanya sambil menelungkupkan kedua tangannya di wajahnya.
“Dia kenapa? Apa yang dia lakukan di sana?” gumamnya pelan.
🤪🤪🤣🤣🤣🤣