NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29

Gita menutup mulut. Lebih terkejut karena laki-laki tengil itu ternyata peduli, memperhatikan Salma. Lihat saja dari wajah memerah yang timbul pada wajah Salma usai menceritakan kepada perempuan berkucir rambut ini.

"Kau bertemu dengannya kapan?" 

"Belum lama ini. Saat itu kamu tidak ada disana karena tidak mau menemaniku."

"Iya kah? Kau kan bisa tawar denganku supaya anak tengil itu tidak merubahmu menjadi suka padanya. Dia hanya berpura-pura baik saja, padahal suka mengomentari kelakuan orang-orang disini. Lihatlah dengan Wajahmu itu. Sampai berubah warna menjadi merah. Aslinya tadi putih pucat."

"Anak tengil? Maksudmu Bian?" Tawa Salma memecah suasana pe kelas, menjadi semakin bising berisik.

"Eh, ya... benar. Orang itu sekarang kupanggil anak tengil." 

Gita mengangguk tegas. Tidak bisa dibantah lagi dengan sikap laki-laki yang suka mengganggu hdupnya. Lapangan sekolah setelah upacara bendera misalkan. Sekarang mengganggu hidup Salma dengan cara mengisi kekosongan pikiran Salma dengan jurus-jurus cinta dari Bian. 

Semoga saja ilmu pintar yang mengendap di otak Salma tidak digoyahkan dengan perhatian manis dari bocah tengil itu. Sia-sia saja belajar keras Salma bila dibuang hanya demi memikirkan cinta palsu laki-laki remaja.

"Hei, hei, sadar. Salma. Ayo sadar." Gita menggesek jari, menyadarkan Salma yang mulai tersenyum sendiri. 

"Eh, apa?" Salma terkejut, mulai sadar lagi dengan melihat wajah Gita yang bersandar, melekat tembok kelas. 

Gita menggeleng pelan. "Lama-lama kau bisa terpengaruh dengan anak itu. Bukan waktunya menyukai laki-laki disini. Kau masih smp, masih kecil."

"Sesekali tidak apa-apa. Refreshing otak." Salma menyengir, lalu menutup mulut karena malu diperlihatkan.

"Terserah kau saja, Sal. Tapi ingat, jangan sampai kau terlalu nyaman memikirkan tentangnya. Nanti lama-lama seluruh ingatan pintar di otakmu akan terbuang sia-sia."

Gita telah selesai memberitahu peringatan kepada temannya. Apakah Salma memang akan melupakan atau tetap meningatnya itu bukan urusan Gita.

Namun, cukup sulit jika sudah jatuh cinta. Melibatkan perasaan sedikit saja.

Pelajaran berlanjut kembali. Kami mengerjakan semua soal yang diberikan. Menjawab benar, duduk bahagia.

Semuanya tampak baik-baik saja.

...***...

"Kali ini akan ke kantin. Kau mau ikut, tidak?" Gadis berkucir rambut itu mulai berdiri, berbenah diri.

Kursi terdorong sedikit, melewati kursi Salma. Anak sekolah menengah pertama telah bersiap dengan perbekalan uang yang dibutuhkan.

"Mmm... Bagaimana ya, Git. Hari ini disini saja. Jaga kelas."

"Kenapa begitu?"

"Tidak bawa uang. Lupa. Tertinggal di rumah." Salma menjawab, bernada lemah.

"Sudah, ikut saja denganku. Hari ini akan kutraktir sepuasmu." Gita mengangguk, seperti mengepakkan telapak tangan yang diarahkan menuju Salma.

Karena ajakan itulah mengakibatkan Salma menjadi semangat.

"Traktir?!" Mata berbinar-binar muncul dari sepasang mata Salma. Berdiri penasaran. Kembali semangat.

"Iya. Ayo," ajak Gita menggandeng tangan Salma.

Mereka berlari. Berjalan pelan karena manusia-manusia di depan penglihatan mata mereka selalu menutupi jalan lorong berkeramik.

Bibir datar menjadi gerakan pasti setelah mereka sadar akan tempat yang mereka tujui.

Padat, sesak berhamburan di mana-mana. Teriakan demi teriakan telah penuh di kuping Gita, dan Salma. Penjual terlalu sibuk jika bekerja sendiri, tetapi itulah resiko seorang penjual. Anak-anak sekolah seperti biasanya saling menerobos, menyenggol siapa saja.

"Kita jadi jajan, Git?"

"Jadi."

"Tunggu siang saja, ya? Rasanya tidak kondusif berdesak-desakan dengan mereka. Takut seperti kejadian waktu itu."

"Mengapa harus menunggu siang? Yang ada lauk-lauk disana sudah habis tidak tersisa. Kau akan menangis kalau meninggu nanti, dan nanti. Sampai kapan mau seperti itu?"

"Tapi—"

"Sudah, ikut saja denganku. Atau kau langsung duduk di bangku yang kosong. Cari yang tidak ada sinar matahari. Oke?"

"Oh, oke." Salma memeberikan sebuah jempol. Telah setuju dengan rencana mereka berdua untuk menghabiskan waktu istirahat pertama.

Kedua murid bersahabat ini telah berdiskusi, bergerak sesuai aturan yang mereka buat sebelumnya.

Salma duduk menunggu, sedangkan Gita membayar seluruh makanan yang dibeli.

Dua tangan itu tidak sanggup membawa jajanan dengan jumlah banyak, sampai-sampai harus berbalik arah berkali-kali. Namun, dia bahagia karena membahagiakan temannya satu-satunya.

Hampir satu meja kayu itu telah penuh dengan jumlah makanan yang ditotal bisa mencapai angka seratus ribu lebih.

Apa saja yang dijual, Gita membeli. Seperti sultan kaya raya tanpa memperhatikan patokan harga.

Hampir seluruh jajanan telah diborong oleh Gita.

Kami menghabiskan. Berusaha menelan kuat-kuat dalam mulut kami. Anak-anak di dekat kami pun turut menonton kelakuan ini. Ada pula yang mual karena menyaksikan dua murid saling mengunyah, ada juga yang berdiri mengamati lalu pergi begitu saja.

Ibu-ibu penjual menggeleng heran dengan makanan yang dibeli. Penuh, banyak itemnya.

Kami menjadi bahan tontonan anak-anak disini.

"Sudah...sudah. Menyerah." Salma mengangkat satu tangan.

"Sudah selesai? Lemah juga kau." Gita terus mengunyah, menelan.

Karena tidak bisa berbicara, Salma hanya mengangguk.

Hanya Gita saja yang meneruskan perjuangan menghabiskan makanan.

Sudah hampir satu jam mereka berhenti mengunyah. Gita termasuk. Kami diam sejenak. Menghirup udara segar lagi.

"Sebanyak ini siapa yang akan menghabiskan, Git? Perutku tidak muat lagi memasukkan makanan-makanan itu." Salma menganga, takjub.

"Hei, mereka yang rakus akan mudah melahap semuanya." Gita melihat tiga laki-laki yang selalu bersama.

Ketiga laki-laki berseragam sekolah tampak berjalan gagah. Menyusuri menuju kantin seperti Gita, dan Salma, Gita lebih awal melambaikan tangan.

"BIAN! AZKA!" Gita berseru, tetap melambaikan tangan, berdiri dari tempatnya.

"Kamu mengundang mereka?" tanya Salma, mendongak tidak percaya.

"Sebenarnya tidak mengundang. Lebih ke arah mereka sendiri yang datang ke tempat ini." Gita duduk, menata kursi duduknya.

Ketiga laki-laki berjalan. Sampai pada panggilan itu, mereka berhenti menghadap dua siswi. Kael menekuk kedua tangan, Azka menatap kosong, dan Bian berdiri paling depan turut melihat pekerjaan dua perempuan yang paling dikenal.

"Porsi makanan kalian lumayan besar. Perempuan kok makannya banyak." Kael berbicara awal.

"HEI! JAGA BICARAMU ITU!" Gita berdiri,  menggertak meja. Terbawa akan amarah.

Bian melerai segera, "Hei, hentikan. Kael. Jangan mulai lagi."

Salma ikut berdiri, memegang tangan Gita, "Git, sudahlah. Duduk dulu."

Gita menoleh, meredam emosi. Langsung duduk, menatap tajam ketiga laki-laki yang melekat.

"Kael, jangan mulai bicara lagi," suruh Bian kepada Kael di sampingnya.

Kael menjadi diam, Gita mengikuti.

Azka menjadi penonton. Diam,  mengamati.

"Maaf tentang anak ini. Ada apa kalian memanggil kami?" Bian bertanya, mengawali bicara dengan tenang.

"Sebenarnya kalau anak tampang preman itu tidak ada, sudah pasti hari ini akan berbaik hati. Kalau kian ingin jajanan ini, ambil saja sekarang. Sepuasnya."

"Dalam rangka apa? Tidak biasanya kamu mentraktir kami."

"Bukan dalam acara apapun. Kalian mau tidak? Kalau tidak makanan ini akan diberikan ke orang-orang di luar sekolah."

"Mana mungkin kami tidak ingin mengambil."

Cepat gerakan tangan mengambil apa saja di depan mata mereka. Lapar mata melihat makanan yang terbungkus plastik. Butiran-butiran air menjadi saksi bahwa kami belum menyentuhnya, membukanya untuk disantap.

Tangan-tangan ketiga laki-laki itu telah penuh membawa hasil jajanan.

Sudah habis, ludes, tidak tersisa apa lagi di atas meja ini.

"Terimakasih, Git, Salma." Bian tertawa kecil, dilanjutkan senyuman paling lebar akhirnya digerakkan.

"Dah, sana pergi," usir Gita dengan tegas.

Ketiga murid bergegas pergi. Kami bahagia, mereka turut bahagia mendapatkan makanan gratis.

...***...

"Tidak biasanya kamu melakukan niat baik selama ini. Ada acara apa memangnya?"

"Acara?" Tawa pelan dikeluarkan Gita, "Hei, tidak ada acara-acara aneh, Sal."

"Lalu, kamu dapat uang banyak darimana? Kalau ingin mentraktir seseorang sepuasanya biasanya membutuhkan pengeluaran yang besar pula. Nah, kamu dapat uang darimana?"

Belokan lorong masih terus dijalani oleh sepasang murid smp menuju kantin yang dimiliki sekolah.

"Kau sangat-sangat ingin tau? Atau kau hanya penasaran saja? Kalau penasaran atau kepo, tidak akan kujawab."

"Sangat-sangat ingin tau. Kemarin sudah kuceritakan tentang rahasia bolpoint itu, seharusnya kamu juga membocorokan rahasia yang kamu miliki. Harus adil, atau kita tidak usah bercerita lagi." Salma mengancam, menekan suara.

"Wah, kau jadi marah begini, Sal. Sudah lama tidak pernah mendengarkan nada marahmu. Kau selalu diam, tertutup. Sekarang berani, menantang, ya?"

Gita menarik bibir, pendek. Lantas kembali datar.

"Uang yang ada di kantong rok ini, sebenarnya bukan dari hasil penjualan. Kau pasti ingin tau uang itu darimana datangnya."

"Kamu ambil dari bank? Keluargamu kan kaya raya."

"Salah. Anak SMP sepertiku bahkan tidak punya nomor rekening bank, atau kartu kredit. Nah, coba tebak lagi."

"Dari... Kakakmu? Kakakmu kan kerja di kantoran. Pasti gaji itu sangat besar. Kamu selalu dimanjakan pastinya."

"Salah lagi."

"Lalu apa? Langsung dijawab saja. Sudah lelah memikirkan pelajaran."

"Yakin kau langsung menyerah? Teka-teki ini sangat mudah."

"Iya, menyerah. Apa jawabannya?"

Karena Salma tidak bisa menjawab persoalan mudah, Gita membuka mulut. Kuping-kuping ini menjadi saksi untuk mengetahui jawaban yang sebentar lagi akan diucapkan.

"Uang yang diambil hari ini, sebenarnya dari dalam toples keuangan keluargaku."

Salma menutup mulut, kaget.

"Bagaimana? Kaya, kan?"

"Toples? Uang itu yang kamu gunakan untuk membelanjakan makanan-makanan ini?"

"Ya, kau benar."

"Astaga, mengapa kamu ambil dari toples keluargamu?! Itu kan untuk membeli kebutuhan rumah. Nanti kakakmu marah, lho."

"Tidak apa-apa. Hanya sekali saja."

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!