Rumah Rasa

Rumah Rasa

Prolog

Nenek pernah menceritakan sebuah cerita pengantar tidur untukku. Apakah kamu ingin mendengarnya? Atau kamu ingin melompati bab?

Namun itu adalah pilihanmu, karena jika kamu sengaja melewatkan cerita dari nenekku, katanya cerita ini tidak akan seru.

Maka merapatlah. Sebentar lagi aku akan menceritakan sesuatu menakjubkan ini. Cerita ini berhubungan dengan sebuah rumah yang ditinggali oleh kedua manusia bersaudari.

"Nenek punya rahasia. Gita mau dengar?"

Anak perempuan berkucir di keduanya mulai menjawab riang, "mau, Nek!"

Maka anak itu menarik selimut, didampingi sang nenek disampingnya sebagai pencerita.

Nenek tersenyum menatap tingkah lucu sang cucu kecilnya. Mengeliat merapikan selimut yang akan dipakai untuk tidurnya.

Nenek membantu sang cucu agar semakin cepat selesai.

Tentu saja dengan bantuan dari tangan-tangan keriput milik Nenek, Gita dapat menyelesaikan selimut tadi.

Pada malam yang semakin dingin dan gelap pada area luar, di dalam kamar tidur yang ditemani cahaya lampu terang serta kasur empuk nan hangat, sang Nenek memulai bicaranya.

"Gita suka dengan rumah ini?" tanya Nenek, mencoba memancing hal pertama kepada Cucunya.

"Suka, Nek," jawabnya senang ketika Nenek bertanya padanya.

"Apa yang kamu suka dari rumah ini?" Nenek bertanya lagi. Memancing agar Cucu itu dapat menjawabnya lagi.

"Kamar ini, coklat panas buatan ibu, pelukan Nenek," balas Gita merendahkan suaranya, memeluk erat pinggang Neneknya.

"Nenek juga suka sama rumah ini. Rumah orang tua kamu. Banyak kenangan disini." Nenek mengamati struktur bangunan.

Sang Cucu memperhatikan sang Nenek yang mengamati bangunan tua. Meratapi sesuatu.

"Rumah ini sedikit berbeda dengan rumah lainnya."

Gita yang tak paham hanya menatap wajah neneknya.

"Rumah ini ibarat perasaan. Jika yang memakainya selalu berdebat, maka rumah itu juga akan merasakan sakit. Ketika pertengkaran terjadi, Gita harus bisa menenangkan kakakmu." Nenek membuat senyum lebar. "Gita harus menemani Nita, ya?"

Anak bernama Gita kembali riang.

"Iya, Nek."

Nenek pun beralih melihat wajah Cucunya yang membuka mulut karena tak paham. "Suatu saat, Gita akan mengerti." Nenek menyentuh ujung hidung Cucu dengan lembut.

Nita tetaplah seorang anak kecil yang tak mengerti apa-apa.

Sepertinya cerita itu telah terhenti oleh anak perempuan yang pernah mendengarkan cerita dari sang Nenek.

Hingga masa anak-anak itu telah berganti menjadi masa remaja, Gita tidak begitu mempercayai cerita yang dibawa dari sang nenek, sebelum orang yang paling dicintainya harus meninggalkan mereka berdua.

Gita berhenti ketika ada di masa kecil itu. Berhenti mempercayakan cerita Nenek, yang pernah dibawa ketika dirinya masih kecil.

Saat ini, rumah yang diceritakan oleh sang Nenek telah digunakan oleh kakak beradik.

Sang kakak bernama Nita Nur Danisha, merupakan wanita kuat yang menjadi tulang punggung keluarga. Wanita yang bekerja sebagai kantoran, selalu berjuang demi adiknya, dan demi rumah yang mereka tinggali. Membiayai keperluan apa saja yang dibutuhkan.

Namun, dia juga harus merelakan mimpi yang selama ini ia selalu inginkan, hanya untuk pendidikan sang adik, Gita.

Mimpi yang terpendam oleh sang Kakak. Mimpi menjadi peneliti yang selama ia idamkan.

Cita-cita itu harus berhenti. Berhenti selamanya.

Anak pertama harus menjadi pelindung bagi adiknya setelah ditinggalkan oleh orang tua.

Kata orang, anak pertama memiliki sifat seperti ibu. Suka memarahi ketika adiknya melakukan kesalahan.

...***...

Pagi cerah seharusnya menjadi pagi yang tenang bagi mereka. Namun, itu tidak berguna bagi seorang kakak- beradik.

"Git! Sarapan!" Nita menunggu keberadaan adiknya yang belum muncul dari balik anak-anak tangga.

"Ya!" Gita membalas dengan teriakan.

Kaki-laki itu terlihat turun, suara berisik dan cepat harus terdengar di pagi hari. Berseragam lengkap sekaligus membawa tas ransel di sebelah kanan tangan nya.

"Kak, lihat kaos kaki ku?" tanya Gita berlari gaduh kepada rak-rak sepatu di depan pintu.

"Terakhir kali lihat dimana?"

"Aku lupa, makanya aku nanya kakak. Siapa tau lihat, kan."

"Pakai yang lain saja." Nita selesai menghidangkan sepiring nasi goreng polos. "Makanya, jangan asal buang sembarangan. Dipungut, dong. Dicuci sekalian. Terakhir kali kakak lihat, item dekil semua. Jorok tau kalau guru lihat kebiasaanmu itu."

"Ya," Nita hanya memandang datar ketika mendengar ocehan kakaknya, Gita.

"Sudah siapin keperluan sekolah? Jangan sampai ketinggalan." Kakak memperingati tentang benda milik adiknya. "Alat tulis. Buku pelajaran. Jangan lupa." Nita berjalan cepat menuju kursi, setelah meletakkan wajan besar ke atas kompor.

"Berisik, kak. Aku juga sudah besar. Bisa urus sendiri, kak." Gita berganti mengoceh kepada kakaknya.

"Kakak hanya memberi saran, dek. Seperti tadi, lupa dimana kaus kaki. Akhirnya apa? Kakak juga kan, yang beri saran? Seharusnya kamu bersyukur, ada yang beritahu."

"Iya," Gita memberi jawaban tidak semangat. Datar, lemas, seperti tidak makan sehari.

Sembari menghabiskan nasi goreng, lirikan matanya menghadap ke sebuah jam dinding.

"Astaga!" Nita beranjak bangun kaget, membawa tas tadi.

"Eh, nasinya belum habis ini!" Nita menyadari piring adiknya menyisakan gumpalan nasi yang ditinggalkan begitu saja.

Gita berlari cepat menuju area depan pintu. Memakai kaos kaki yang ada, diakhiri sepasang sepatu hitam turut dimasukkan.

"Sudah telat, kak! Nanti saja. Angkotnya keburu pergi!" Gita membuka pintu, berlari meninggalkan sang kakak berbaju putih.

"Astaga, anak itu. Tidak pernah habis." Nita memegang pinggangnya.

Nita kembali ke rutinitas. Menyelesaikan sisa pekerjaan rumah, mempersiapkan diri membawa tas kerja, berakhir menyalakan motor lama milik ayahnya.

Selama tangan-tangan itu bekerja, Nita merasakan hal aneh. Ia mendongak melihat lampu yang menggantung pada meja tengah itu.

"Sepertinya tadi ada guncangan," Nita mengira selama menatap bola lampu yang berhenti bergerak. "Apa cuma perasaanku saja, ya?" tanya dalam batin.

Selanjutnya, Nita tetap melanjutkan berberes rumah.

Setengah jam dia lakukan sendiri tanpa bantuan adiknya.

Pintu terkunci, saatnya sang kakak berangkat ke tempat dimana dia bekerja.

...***...

Lorong sekolah telah diisi anak-anak sekolah di pagi hari. Sekolah menengah pertama, SMP Satu Unggul telah menerima salah satu anak. Benar, itu adalah Gita.  

"Halo, Git," sapaan mengejutkan datang dari layangan tangan ke pundak Gita.

"Bisa tidak jangan mengagetkan seorang anak kecil ini," Gita memperingatkan candaan temannya, bernama Salma.

"Gak bisa, habisnya kamu selalu melamun. Makanya biar kamu kembali fokus, aku bantu."

"Terserah kamu saja, Sal." Gita meneruskan melangkahkan kaki kepada lorong yang menuju mereka berdua ke sebuah pintu di ujung.

Salma terus mengikutinya, mengelus kening.

"Kenapa denganmu?" Gita menengok temannya yang bergerak aneh.

"Ibuku sejak pagi selalu berteriak, menyuruh kami bangun pagi, sarapan. Belum lagi tangisan adikku. Rasanya gendang telinga hampir pecah. Pusing. Tidak tahan lagi harus seperti itu setiap hari."

Gita hanya mendengarkan ocehan temannya.

"Kalau kakakmu bagaimana, Git? Pasti sama kan?"

"Ya, setiap pagi dia selalu saja teriak menyuruh makan. Sama seperti ibumu itu."

"Kita senasib, Git."

"Tapi aku iri padamu, ada yang menunggu di rumah."

"Bukannya kamu dan kakakmu selalu pulang bersama?" Salma semakin tidak paham.

"Tidak. Hari ini saja pakai angkot. Kakakku naik motor. Berbeda arah pula. Kalau bersama, takut telat. Dia memang takut terlambat masuk."

"Lalu yang setiap hari membagi tugas pekerjaan rumah, siapa?"

"Aku dan kakakku. Siapa lagi memangnya?"

"Kupikir kamu akan mempekerjakan pembantu. Mungkin itu bisa meringankan pekerjaan kakakmu itu. Dia kerja di kantor, kan?"

"Iya," Gita menjawab datar.

"Makanya aku rekomendasikan untuk cari pembantu."

"Tidak. Lebih baik dikerjakan dengan tangan-tangan sendiri. Kamu saja sana. Cari pembantu supaya kamu enggak perlu pusing di rumah."

"Duit dari mana memangnya?"

"Ayahmu lah. Siapa lagi?" Gita meninggalkan temannya pada lorong panjang.

Ucapan Gita menekan Salma yang tidak bisa berbicara apa-apa lagi. Untuk sekarang dirinya puas karena tidak ada lagi yang meremehkan pekerjaan rumah kami.

Inilah kehidupan Gita. Anak bungsu terakhir yang memiliki satu pelindung di hidupnya. Sang kakak yang cerewet dan suka mengatur kehidupan sekolah Nita.

Kehidupan seorang kakak beradik selalu bersama dalam satu rumah.

Pada rumah lama peninggalan kedua orang tuanya, terdapat rahasia yang tidak dimiliki oleh bangunan-bangunan lain.

Gita awalnya tidak percaya bahwa dongeng pengantar tidur yang dibawa oleh sang nenek hanyalah cerita palsu, ternyata mengantarkan dirinya ke sebuah jawaban.

Tentang rumah yang bisa bergoncang karena melibatkan perasaan.

Aku tidak tau apakah itu benar atau tidak. Terlepas dari semuanya, Gita akan segera menyadari.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!