Setelah bercerai, lalu mengundurkan diri sebagai seorang Ajudan pribadi. Akhirnya pria yang akrab disapa 'Jo' itu kembali menerima sebuah tawaran pekerjaan dari Denis yang tak lain adalah temannya saat sejak masih SMA.
Dia yang biasanya mengawal wanita-wanita paruh baya, seorang istri dari beberapa petinggi. Kini dia di hadapkan dengan seorang gadis keras kepala berusia 20 tahun, Jasmine Kiana Danuarta. Sosok anak pembangkang, dengan segala tingkah laku yang membuat kedua orang tuanya angkat tangan. Hampir setiap Minggu terkena razia, entah itu berkendara ugal-ugalan, membawa mobil di bawah pengaruh alkohol, ataupun melakukan balapan liar. Namun itu tak membuatnya jera.
Perlahan sifat Kiana berubah, saat Jo mendidiknya dengan begitu keras, membuat sang Ayah Danuarta meminta sang Bodyguard pribadi untuk menikahi putrinya dengan penuh permohonan, selain merasa mempunyai hutang budi, Danu pun percaya bahwa pria itu mampu menjaga putri semata wayangnya dengan baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demam.
Jovian baru saja turun dari dalam mobilnya setelah beberapa waktu lalu sampai di kediaman keluarga Danuarta. Dan datanglah kembali sebuah mobil yang dia kenali sebagai milik Denis, sahabatnya.
Jovian mengikuti kemana mobil itu bergerak, seraya memasukan kedua tangannya di saku celana dengan senyuman tipis yang mulai terpancar.
"Ah, romantis sekali kau menungguku sampai keluar." Ucap Denis ketika dia keluar dari dalam mobil miliknya.
Jovian tidak menjawab lagi, dia hanya berjalan mendekat, kemudian menepuk pundak Denis sebagai tanda penyambutan.
"Aku rasa kau semakin kurang ajar!" Celetuk Denis kepada sahabatnya itu.
Dua pria dewasa yang saat ini baru kembali' di pertemukan tertawa pelan, berjalan ke arah satu bangunan yang memang dikhususkan untuk mereka dengan langkah cepat.
"Bagaimana kabarmu, Jo?" Denis langsung bertanya.
Pria itu segera duduk, sementara Jovian berjalan ke arah lemari pendingin dimana beberapa jenis minuman kaleng berada.
"Baik." Katanya, lalu menyerahkan minuman dingin itu kepada Denis, kemudian Jovian duduk sambil membuka penutup kaleng, dan meneguknya dengan sangat perlahan.
Keduanya sama-sama diam, menikmati minuman masing-masing.
"Oh iya, … bagaimana Kiana? Kau mampu menanganinya? Atau hanya berusaha agar terus bisa bertahan? Aku yakin gadis itu tak akan pernah bisa dikendalikan, Jo!" Denis menyimpan kaleng tersebut di atas meja.
Denis mengubah posisi duduknya menjadi menghadap ke arah Jovian.
Namun, bukannya menjawab. Jovian justru hanya tersenyum, dan tentu saja itu membuat Denis sedikit bertanya-tanya dengan ekspresi wajah yang temannya perlihatkan.
"Lihat saja nanti. Sepatuh apa dia sekarang!" Jovian meletakan kaleng minumannya di atas meja, lalu menempelkan punggung pada sandaran kursi.
Denis bungkam, menatap wajah Jovian dengan mata memicing, seolah sedang berusaha mencari tahu apa yang sudah Jovian lakukan.
"Jangan menatapku seperti itu. Nanti kau jatuh cinta!" Celetuk Jovian sambil menggerakkan kedua alisnya naik dan turun.
Denis mencebikan bibir.
"Menjijikan! Aku sudah mempunyai istri dan anak tahu." Katanya. "Apa kau sudah tidak normal? Ah pantas saja kau banyak melewatkan gadis-gadis cantik yang selalu mendekat." Sambung Denis lagi.
Jovian tertawa semakin kencang.
"Denis, kau masih sama seperti dulu, semuanya kamu masukan ke hati dan dibawa serius. Dan untuk soal gadis, aku sudah menemukannya, dia satu apartemen, … hanya beda beberapa lantai saja!"
"Ohhh, … aku mengerti, mungkin Kiana selalu menatapmu begitu. Dia jatuh cinta makanya menjadi tunduk se tunduk tunduknya!" Kini Denis yang tertawa.
Sementara Jovian memutar kedua bola matanya.
"Tidak mungkin. Aku tidak mau mempunyai istri seperti dia, tengil … dan sangat susah diatur, belum lagi kecerdikannya yang membuatku beberapa kali kesal. Kiana itu selicin belut, sekarang dia diam. Dan di detik berikutnya aku mendapatkan kabar jika dia pergi." Jelas Jovian.
"Sudah aku katakan." Cicit Denis.
" Hemmm, … tapi aku tidak selembut cara mendidikmu. Bahkan beberapa kali dia mengeluh. Om terlalu keras tidak sama seperti Om Denis yang selalu menuruti apa yang aku mau!" Jovian menirukan rengekan Kiana beberapa waktu lalu.
"Ck!" Denis memutar bola matanya.
Keduanya sedang asik bercanda. Berbalas ledekan satu sama lain, hingga tanpa di sadari Kiana membuka pintu ruangan itu, menyembulkan kepalanya.
"Eh ada Om Denis!" Raut wajahnya langsung berbinar.
"Hai Kia!" Denis melambaikan tangan.
"Halo Om." Gadis itu tersenyum manis, sampai deretan gigi rapinya terlihat dengan begitu jelas.
Jovian membiarkan interaksi keduanya. Dia hanya kembali meraih kaleng minumannya, dan meneguk hingga tandas.
"Om, ayo berangkat." Kiana kepada Jovian.
"Sekarang?"
Kiana mengangguk.
"Baiklah, ayo!"
Jovian segera bangkit, lalu berjalan keluar. Namun sebelum dia menutup pintu ruangannya, dia menoleh dan menggerakkan kedua alis.
Entah apa maksudnya, Denis bingung dan hanya Jovian lah yang tahu.
"Dia semakin menjadi-jadi!" Gimana Denis, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kiana berjalan lebih dulu, mendekati mobil miliknya yang terparkir di tempat biasa, kemudian berbalik badan untuk menunggu Jovian.
Pria dewasa dengan sejuta pesonanya. Tubuh tinggi, otot-otot yang terlihat kekar, hidung mancung, alis tebal, dengan rahang yang sangat tegas, dan jangan lupakan kacamata hitamnya, yang membuat Kiana merasa beku, namun meleleh di saat yang bersamaan.
Ya, tubuhnya tidak bisa bergerak, namun hatinya menjerit, meronta-ronta ingin memiliki interaksi lebih, daripada sebatas Bodyguard dan gadis asuhnya.
"Kia?" Panggil Jovian.
Gadis itu diam, dengan pandangan yang terus tertuju kepada dirinya.
"Kiana?" Jovian berjalan mendekat, kemudian melambaikan tangan di hadapan wajah Kiana.
Dia tersentak. Dengan segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Ah aku pusing, Om!" Kiana memegangi kepalanya.
"Pusing? Tadi baik-baik saja!" Jovian semakin mendekat, kemudian menempelkan punggung tangan di kening Kiana.
Degg!!
Sekujur tubuhnya tiba-tiba saja menegang, dengan desiran dan degup jantung yang semakin meningkat.
"Astaga Tuhan, … aku tidak kuat kalau harus seperti ini setiap hari." Batin Kiana menjengit, kala tangan itu terus menempel di keningnya, bahkan hingga beralih ke pipi.
"Om!" Kiana segera menepis tangan Jovian.
"Suhu tubuhmu hangat." Kata Jovian.
Pandangan keduanya beradu.
"Kamu yakin mau berangkat? Apa sebaiknya tidak istirahat saja? Atau bahkan mendatangi Dokter agar ada resep obat yang bisa kamu minum?"
Kiana menggelengkan kepala.
"Apa orang tuamu tahu?" Tanya Jovian.
"Nggak Om. Jadi ayo berangkat!"
"Tidak. Kamu demam, suhu tubuhmu sedikit hangat, kamu sakit!"
"Iya aku tahu. Tapi aku harus masuk kelas biar cepet lulus."
Jovian menatap Kiana tajam, kemudian menghela nafasnya kasar.
"Tidak ada bedanya. Mau masuk sering atau tidak, mengikuti semua kelas atau tidak, semua kembali lagi pada kemampuan kamu. Sekarang kamu masuk, lalu di kelas hanya mengobrol, sehari-hari hanya pergi berbelanja dengan teman-temanmu. Maka sudah pasti, … di jamin kamu pasti gagal kalau menghadapi ujian dan lainnya."
Kata Jovian panjang lebar, seperti orang tua yang sedang menceramahi putrinya.
"Aku udah nggak gitu, kok Om ungkit!" Kiana sebal.
"Ya siapa tahu mau seperti itu lagi, saya tidak akan melarang, hanya saja akan ada sangsi yang sangat berat."
"Haih." Kiana segera menjauh, hendak naik kedalam mobilnya, namun Jovian kembali menahan.
"Hari ini saya akan meminta izin. Jadi tidak berangkat ke kampus, tapi ke Dokter." Seru Jovian, lalu melepaskan tangan Kiana dan membiarkan gadis itu masuk.
Kiana menutup pintu di sampingnya sangat kencang. Setelah itu di susul Jovian, dan mobil yang su tumpangi keduanya mulai melaju, bergerak ke arah luar rumah besar itu.
Jovian menekan salah satu tombol. Dan terdengarlah suara musik yang mengalun dengan volume sedang, sedikit membuat perasaan gugup Kiana hilang.
"Apa kamu selalu tertutup seperti ini kepada kedua orangtuamu? Sampai kamu demam saja tidak ada yang tahu?" Jovian melirik sekilas, dan kembali pada jalanan di hadapannya.
Kiana menoleh, melihat pria yang sedang fokus mengendalikan setir mobil.
"Tadi Om tahu!"
"Kalau tidak saya periksa mana tahu. Kamu mengeluh sakit tapi tetap memaksakan diri, gimana sih!?" Dia mengomel lagi.
Sementara Kiana mengalihkan pandangan ke arah lain, berusaha mengacuhkan racauan Jovian yang membuatnya semakin pusing.
"Apa yang kamu lakukan? Sampai bisa demam seperti itu? Keluar jarang, hujan-hujanan tidak pernah. Lalu apa penyebabnya?" Jovian bertanya lagi.
Dia mulai melambankan laju mobilnya, saat lampu lalu linta berubah menjadi merah, dan mereka ada di bagian paling depan antrian kendaraan.
Gadis itu menghempaskan punggung pada sandaran mobil, dan memilih bungkam saat Jovian terus melontarkan banyak pertanyan.
"Ya Tuhan selamatkan aku hari ini saja. Aku tidak bisa menahan ini, … aku takut melakukan hal bodoh dan mempemalukan diriku sendiri." Batin Kiana berbicara lagi.
***
Sebuah IGD rumah sakit terdekat Jovian datangi, membawa Kiana masuk kedalam sana untuk memeriksakan keadaannya. Kiana menolak dengan keras, bahkan terus merengek saat gadis itu benar-benar sudah menginjakan lantai ruangan dalam.
Raut ketakutannya tiba-tiba terlihat, membuat keringat di kening Kiana bercucuran.
"Om aku takut jarum suntik, … aku nggak bisa mencium bau rumah sakit, ini sangat mual, sungguh!" Cicit Kiana.
Namun Jovian tidak mendengar, dia terus menyeret Kiana masuk, dan menempatkannya di atas tempat tidur yang tersedia agar segera mendapatkan penanganan dari Dokter yang bertugas.
Benar saja. Tidak alam setelah Kiana berada di sana, seorang petugas medis datang menghampiri, membawa alat tensi darah, dengan stetoskop yang menggantung di leher.
"Om!" Kiana menatap Jovian penuh permohonan.
"Tenanglah, kamu tidak akan di suntik. Hanya melakukan sedikit pemeriksaan awal." Katanya sambil bergeser semakin dekat.
Tanpa sadar Kiana meraih tangan Jovian, dan menggenggamnya dengan sangat erat.
"Selamat siang?"
Kiana diam, dia memejamkan matanya.
"Dok, dia demam."
"Demam? Susah dari kapan?"
"Kira-kira tiga atau empat hari yang lalu." Jovian menjawab lagi.
Suasana IGD pada pagi hari ini terlihat sedikit ramai. Bahkan beberapa asisten Dokter tampak bolak-balik ketika ada satu pasien anak kecil yang terlihat butuh penanganan dengan segara.
"Tidak apa-apa. Saya hanya memeriksa saja, tindakan akan di lakukan setelah pemeriksaan jika itu harus." Dokter menjelaskan, seraya berjalan semakin mendekati Kiana yang terlihat sangat ketakutan.
Kiana sempat menolak. Tapi pada akhirnya dia menyerah, dan membiarkan Dokter melakukan beberapa pemeriksaan.
"Selain kurang darah. Ternyada anda kurang tidur!" Kata Dokter sambil menarik bagian bawah mata.
Kiana tidak menjawab, dia terus menggenggam tangan Jovian, yang tanpa di sangka-sangka pria itu membalas genggamannya.
"Tidak ada hal serius hanya kelelahan, dan di sarankan untuk istirahat di rumah dulu yah! Banyaknya aktivitas, atau memaksakan sesuatu saat rasa pusingnya terasa, itu akan berakibat buruk, … jadi kalau bisa di tangani sejak sekarang agar sakitnya tidak semakin parah."
Kiana mengangguk, dia kini bisa bernafas lega, karena tidak ada jarum suntik yang akan menusuk kulitnya.
"Saya tulis resepnya dulu yah! Setelah itu lakukan administrasi di depan sana." Dokter menunjuk ruangan lain.
"Baik."
Jovian melepaskan pautan tangan keduanya, berdiri dan mendekati meja Dokter pria yang memeriksakan Ayumi beberapa detik lalu.
Secarik kertas Jovian terima, dan tanpa menunggu lebih lama lagi di berjalan meninggalakn ruangan itu, meninggalkan Kiana yang terus mengarahkan pandangan ke arahnya, denga tatapan penuh kekaguman.
"Astaga Tuhan. Aku baru tahu kalau menahan sebuah rasa suka itu bisa menyebabkan demam, kekurangan darah, … dan berpengaruh sampai aku sulit tidur." Kiana bergumam.
Dia menjatuhkan tubuhnya kebelakang, bebaring terlentang, menunggu Jovian yang saat ini sedang melakukan administrasi dan menebus obat yang sudah Dokter resepkan.