Dinda, 24 tahun, baru saja mengalami patah hati karena gagal menikah. Kehadiran seorang murid yang bernama Chika, sedikit menguras pikirannya hingga dia bertemu dengan Papa Chika yang ternyata adalah seorang duda yang tidak percaya akan cinta, karena kepahitan kisah masa lalunya.
Akankah cinta hadir di antara dua hati yang pernah kecewa karena cinta? Mampukah Chika memberikan seorang pendamping untuk Papanya yang sangat dia sayangi itu?
Bila hujan tak mampu menghanyutkan cinta, bisakah derasnya menyampaikan rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memulai Hubungan Baru
Dua orang pelayan restoran mengantarkan makanan yang sudah dipesan oleh Dio.
Aneka makanan lezat terhidang di meja itu, juga dua buah gelas kaca yang diisi dengan air putih dan ada gelas yang satu lagi diisi oleh anggur berwarna merah.
Dinda kemudian menarik perlahan tangannya yang sejak tadi digenggam oleh Dio.
Entah kenapa dirinya begitu risih dan salah tingkah, karena mata Dio tak berkedip memandangnya.
"Cantik!" gumam Dio.
Dinda tersipu malu, dia menundukan wajahnya.
Kemudian Dio menaruh makanan yang sudah tersaji itu di piring makan Dinda yang sudah terbuka.
Dio terlihat sedang melayani Dinda dengan sepenuh hati, perlakuannya begitu manis dan lembut.
"Ah, Pak Dio jangan repot-repot, aku bisa mengambil makanan ku sendiri!" ucap Dinda sungkan.
"Tidak, kau pasti akan mengambil makanan sedikit, aku ingin kau banyak menikmati makanan yang sudah kupesan ini!" sahut Dio.
Dio mulai memotong-motong daging steak yang ada di piring itu, kemudian mulai menyuapkan nya ke mulut Dinda.
Dinda semakin risih dan sungkan, jarang dia diperlakukan seperti ini oleh seorang laki-laki.
Dulu saat dia makan dengan Ken, Ken juga tidak pernah melakukan ini padanya, Ken selalu sibuk bermain dengan ponselnya, saat mereka berada di meja makan.
"Dinda ..."
"Ya Pak?"
"Bagaimana menurut pendapatmu tentang aku??" tanya Dio sambil menikmati makanannya.
"Tentang bapak?"
"Ya!"
Dinda terdiam mendengar pertanyaan Dio, dia bingung harus mengatakan apa, laki-laki di hadapannya benar-benar membuat dia mati kutu dan salah tingkah.
"Kenapa kau diam? Jawab saja jujur, bagaimana pendapatmu tentang aku?!" tanya Dio sedikit membuyarkan lamunan Dinda.
"Pak Dio ... baik!" ucap Dinda gugup.
"Hanya itu??"
"Maaf Pak, aku bingung harus mengatakan apa, Pak Dio memang baik, sopan, dan ... dewasa!" ucap Dinda tersipu.
Dio tertawa mendengar ucapan Dinda yang di rasakannya sangat polos dan jujur itu.
"Apakah kau menyukaiku??" tanya Dio lagi.
Dinda semakin salah tingkah.
"Ah, Pak Dio cepat habiskan saja makanannya, nanti keburu dingin!" tukas Dinda berusaha mengalihkan pembicaraan.
Dio kemudian menangkap tangan Dinda dan kembali menggenggam nya dengan hangat, membuat darah Dinda kembali berdesir dengan sangat hebat, ada gelenyar-gelenyar aneh yang dirasakan di sekujur tubuhnya.
"Aku serius Dinda! Selama ini aku tidak pernah bermain-main dengan kata-kataku sendiri!" ucap Dio.
"Apakah Pak Dio mengatakan itu, semata-mata hanya karena Chika?" tanya Dinda memberanikan diri.
"Yah mungkin awalnya seperti itu, aku melakukannya hanya karena Chika, tapi lama-kelamaan, entah mengapa aku begitu nyaman berada di dekatmu! Kau seperti memberikan warna dalam hidupku!" ungkap Dio sambil kembali mengecup jemari tangan Dinda.
"Chika pernah mengatakan kalau Pak Dio tidak menyukai wanita, mungkinkah Pak Dio masih belum bisa move on dari almarhumah istri bapak?" tanya Dinda.
"Aku sudah lama move on dari mendiang Istriku itu, bahkan sebelum dia meninggal! Dan aku memang tidak tertarik dengan wanita manapun, karena aku belum pernah merasakan manisnya cinta, kecuali saat berada dekat denganmu!" jawab Dio.
Dinda menunduk, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi, semua ucapan Dio seolah menjadi jawaban atas apa yang menjadi pertanyaannya selama ini.
kemudian Dio melepaskan genggaman tangannya dan merogoh saku celananya.
Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah, kemudian membukanya di hadapan Dinda.
Sebuah cincin berwarna putih dengan batu permata yang berkilauan menyilaukan mata Dinda yang sedikit terkejut melihat benda yang kini ada di hadapannya itu.
"Maafkan aku, tidak tahu bagaimana membuat suasana menjadi romantis, tapi ini adalah untukmu, cincin ini mewakili perasaan hatiku padamu, jikalau kau berkenan terima lah!" ucap Dio yang berusaha merangkai kata-kata yang sudah disusunnya sedari tadi.
"Tapi aku takut Pak ..."
"Apa yang kau takutkan?"
"Aku berasal dari keluarga yang tidak utuh, Bahkan aku tidak tahu siapa Ayahku dan nama ayahku!" ucap Dinda menunduk, dia begitu tidak percaya diri dihadapan Dio.
Dio kembali menggenggam tangan Dinda dengan hangat.
"Laki-laki sejati tidak akan mundur hanya karena alasan seperti itu! Jangankan hanya masalah tidak punya ayah, kau yatim-piatu terlahir di dunia pun, aku akan tetap mengejarmu, aku tidak akan mungkin membiarkan mutiara itu hilang, mutiara yang menyinari hidupku dan hidup putriku!" ucap Dio.
Ada Butiran hangat yang jatuh dari pelupuk mata Dinda.
Untuk pertama kalinya ucapan seorang laki-laki sangat menyentuh hatinya.
Dio mengusap air mata Dinda dengan kedua tangannya, kemudian kembali mengecup tangan itu.
"Jangan menangis Dinda, kau hanya tinggal memberikan hatimu padaku, itu sudah cukup membuatku bahagia!" ucap Dio.
"Terimakasih Pak!"
"Jadi, kau mau menerima aku? Mendampingi hidupku? Sampai memutih rambut kita??" tanya Dio.
Dinda menganggukan kepalanya.
Spontan Dio langsung berdiri dan memeluk Dinda dengan sangat erat, seolah tak mau dilepaskannya lagi, mutiara yang kini dia sudah dapatkan.
"Trimakasih sayang!" bisik Dio.
Dio mulai menyematkan cincin yang bermata indah itu, ke jari manis Dinda.
"Jangan pernah lepaskan cincin ini dari jari manismu, ini adalah lambang hatiku untukmu!" bisik Dio.
Dinda tidak bisa berkata apapun, dia hanya bisa menangis terharu di dada Dio, laki-laki yang bisa memberikan perlindungan dan kenyamanan pada dirinya.
Cukup lama Dinda dan Dio berada di restoran itu, hingga tak terasa hari sudah semakin malam.
Setelah selesai makan malam, mereka kemudian berjalan bergandengan menuju ke parkiran, hendak kembali pulang ke rumah.
Sepanjang perjalanan menuju ke tempat kost Dinda, wajah Mereka terlihat cerah dan berbinar, seolah kebahagiaan terpancar dalam diri mereka yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Pak Dio, gara-gara ulah Ken waktu di pesta Alena, aku dapat teguran dari kepala sekolah, terkait dengan apa yang Ken ucapkan waktu itu, tuduhan kalau kita berbuat asusila!" kata Dinda.
"Jangan pedulikan Bagaimana pandangan orang lain terhadap kita, lagipula kita sudah resmi berhubungan, apa urusannya dengan orang lain?" sahut Dio.
"Tapi ..."
"Kau sudah resmi menjadi pemilik hati Ferdio Dacosta! Aku malah ingin semua orang tau!" potong Dio cepat.
Drrrt ... Drrrt ... Drrrt
Tiba-tiba ponsel Dio bergetar, Dio segera menepikan mobilnya dan mengusap layar ponselnya untuk menjawab panggilan teleponnya.
"Halo!"
"Dio! Kau di mana?" Terdengar suara Pak Frans, Ayahnya dari sebrang telepon.
"Aku masih di jalan Ayah, kenapa?" tanya Dio.
"Besok Ayah akan mengundang kolega Ayah, yang kemarin itu Ayah ceritakan, untuk datang ke rumah, kau siap-siap ya, jangan kemana-mana!" jawab Pak Frans.
"Ayah, malam ini, ada yang mau aku sampaikan pada Ayah!" ucap Dio.
"Katakan saja sekarang!" sahut Pak Frans.
"Tunggu aku pulang ke rumah Ayah, karena aku juga mau Bunda mendengarnya!" kata Dio.
"Baik, Ayah tunggu!" sahut Pak Frans sebelum menutup panggilan teleponnya.
Dio menarik nafas panjang, setelah dia selesai menerima panggilan telepon dari ayahnya.
"Ada apa Pak? Itu Ayahmu?" tanya Dinda.
"Ya, itu Ayahku, tidak ada apa-apa!" sahut Dio.
"Oh ..."
"Dinda ..."
"Ya?"
"Boleh minta sedikit kecupan? Kita kan sudah resmi berhubungan!" pinta Dio dengan tatapan mata penuh damba.
Dengan sedikit ragu Dinda menganggukan kepalanya.
Bersambung ...
****