Libelle Talitha, atau Belle, adalah gadis 17 tahun yang hidup di tengah kemewahan sekolah elit di Inggris. Namun, di balik kehidupannya yang tampak sempurna, tersembunyi rahasia kelam: Belle adalah anak dari istri kedua seorang pria terpandang di Indonesia, dan keberadaannya disembunyikan dari publik. Ayahnya memisahkannya dari keluarga pertamanya yang bahagia dan dihormati, membuat Belle dan ibunya hidup dalam bayang-bayang.
Dikirim ke luar negeri bukan untuk pendidikan, tetapi untuk menjauh dari konflik keluarga, Belle terperangkap di antara dua dunia. Kini, ia harus memilih: terus hidup tersembunyi atau memperjuangkan haknya untuk diakui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu temanku Darwin
Pagi itu, Draven keluar dari hotel dengan rencana sederhana: menikmati udara segar Manchester dan mungkin mengambil sarapan di kafe terdekat bersama teman-temannya. Namun, begitu pintu hotel terbuka, langkahnya terhenti seketika. Di depannya, berdiri sosok yang tak ia sangka-sangka akan ada di sana Paula Sissy Damian.
Rambut pirang kecokelatannya tergerai rapi, dan wajahnya dipenuhi riasan yang sempurna seperti biasa, lengkap dengan mantel wol mahal yang membalut tubuhnya. Paula berdiri dengan anggun di depan pintu hotel, seperti sedang menunggu Draven. Mata birunya menatap tajam ke arah Draven, penuh dengan sesuatu yang ia kenal baik amukan yang siap meledak.
"Kenapa kau berada di sini?" Draven bertanya dengan nada terkejut, wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan. Hatinya mulai berdegup kencang, dan otaknya berusaha memproses apa yang terjadi.
Paula menyilangkan tangan di dadanya, mengangkat dagu sedikit lebih tinggi, memamerkan rasa percaya dirinya yang dominan. "Kau benar-benar pikir aku akan diam saja di rumah setelah pembicaraan semalam?" suaranya terdengar tenang, tapi Draven bisa menangkap nada tajam di balik kata-katanya. "Aku tidak bisa diam menunggu saat tunanganku lebih memilih liburan dengan teman-temannya daripada mempersiapkan masa depan kita."
Draven menghela napas panjang, merasakan sakit kepala yang mulai datang. Ini adalah skenario yang paling tidak ia inginkan, konfrontasi yang akan segera meletus tanpa peringatan. Dia merasa terperangkap, seperti seekor burung yang tidak bisa terbang bebas di dalam sangkar emas yang Paula ciptakan di sekelilingnya.
"Aku bilang, aku butuh waktu sendiri," jawab Draven dengan suara rendah, mencoba menahan emosinya. "Ini bukan tentangmu, Paula. Aku hanya perlu sedikit ruang untuk bernapas."
Paula tersenyum sinis. "Sedikit ruang? Kau sudah memberiku terlalu banyak alasan, Draven. Bagaimana kau bisa bilang ini bukan tentangku, padahal kau meninggalkanku sendirian di tengah semua persiapan itu? Seolah-olah aku ini tidak penting sama sekali."
Draven menggigit bibirnya, merasa frustrasi. Dalam benaknya, semua ini terasa begitu salah. Setiap kali mereka bersama, ia merasa semakin jauh dari dirinya sendiri. Semakin jauh dari kebebasan yang ia dambakan. Dan sekarang, Paula berdiri di sini, di depan pintu hotel, menyeretnya kembali ke dunia yang ingin ia tinggalkan sejenak.
"Paula, aku sudah bilang aku hanya butuh waktu. Ini bukan masalah besar, oke? Kita bisa bicarakan ini setelah aku kembali ke London," Draven mencoba berbicara dengan nada lebih lembut, meskipun ia tahu ini tidak akan mudah.
Namun, Paula tidak mundur. "Aku tidak akan menunggu lagi, Draven. Aku di sini untuk memastikan kau tidak terus menghindariku. Kita ini tunangan! Apa yang kau pikirkan selama ini?" suaranya mulai bergetar, campuran antara amarah dan kepanikan.
Draven bisa melihat bahwa Paula merasa terancam, dan mungkin ini adalah satu-satunya cara yang ia tahu untuk mempertahankan kendali. Tapi Draven sendiri semakin merasa tertekan. Dia tidak ingin berada di posisi ini berada dalam hubungan yang dibangun di atas dasar kewajiban, tanpa cinta yang nyata.
Di balik Paula, Jason dan teman-temannya muncul dari dalam hotel, tersenyum geli melihat situasi yang berkembang di depan mereka. Salah satu dari mereka, Nathan, berbisik pelan, "Wah, drama pagi-pagi. Kau benar-benar ada dalam masalah besar, bro."
Draven hanya melirik mereka dengan tatapan tajam, memberikan isyarat agar tidak ikut campur. Dia tahu, situasinya sudah cukup rumit tanpa tambahan komentar yang tidak perlu.
"Paula," Draven menarik napas dalam-dalam, mencoba tetap tenang meskipun frustrasi mulai mendidih dalam dirinya, "aku butuh waktu untuk diriku sendiri. Kita tidak bisa terus seperti ini. Aku merasa terperangkap."
"Kau merasa terperangkap?" Paula bertanya balik, dengan ekspresi yang terluka tapi tetap dengan nada menantang. "Aku yang merasa terperangkap dalam hubungan ini, Draven! Aku mencoba membuat segalanya berjalan lancar, dan kau malah menghindariku."
Sebelum Draven sempat menjawab, suara keras datang dari seberang jalan. Seorang wanita muda hampir terjatuh dari sepeda kecilnya. Draven menoleh dan matanya bertemu lagi dengan wajah yang tak ia duga akan muncul di saat seperti ini Belle.
Belle tampak canggung dan terkejut saat dia berhasil menghentikan sepeda kecilnya. Dia mengenakan jaket tebal dan syal yang membungkus lehernya rapat, rambutnya terurai di bawah topinya. Wajahnya pucat, tapi ada sedikit rona merah di pipinya karena dinginnya udara pagi.
"Hei! Kau baik-baik saja?" Draven secara refleks memanggil, melangkah ke arah Belle yang masih di seberang jalan.
Belle, yang sudah merasa cukup malu, segera mengangguk dan tersenyum canggung. "Ya, aku baik-baik saja. Maaf, hampir menabrak," jawab Belle, matanya melirik Paula sekilas.
Paula, yang masih berdiri di sana dengan kesal, kini mengerutkan kening saat melihat Draven berbicara dengan gadis asing. "Siapa dia?" tanya Paula, matanya mengawasi Belle dengan rasa tidak suka yang muncul tiba-tiba.
Draven bisa merasakan ketegangan yang meningkat antara mereka. Ia menarik napas panjang dan berbalik ke Paula, mencoba meredakan situasi. "Dia hanya seseorang yang aku temui kemarin, Paula. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Namun, Paula tidak mudah puas dengan jawaban itu. Ia tetap menatap Belle dengan tatapan tajam, seolah-olah menilai dan menghakiminya dalam sekejap.
Belle, yang merasa canggung dengan situasi tersebut, segera mendorong sepedanya untuk pergi. "Aku harus pergi sekarang. Maaf mengganggu," ucapnya singkat, sebelum bergegas meninggalkan mereka.
Draven menatap Belle yang semakin menjauh, merasa semakin dalam ke dalam kebingungan yang baru. Sementara Paula berdiri di sampingnya, amarah di matanya masih jelas terlihat, dan ia tidak akan membiarkan masalah ini selesai begitu saja.
***
Belle melangkah cepat menuju kafe tempat ia akan bertemu dengan temannya yang baru saja tiba dari Indonesia. Meskipun pagi ini dipenuhi oleh kejadian tak terduga terutama pertemuan keduanya dengan pria misterius bernama Draven Belle tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Yang ada di pikirannya hanyalah kegembiraan untuk bertemu temannya yang sudah lama tak ia lihat. Kafe itu terletak di sudut jalan yang tenang, dengan jendela besar yang memperlihatkan suasana dalamnya yang hangat dan nyaman.
Saat Belle membuka pintu kafe, aroma kopi dan kue segar segera menyergap indra penciumannya. Ia menatap sekeliling, mencari sosok yang dikenalnya. Dan di sudut ruangan, duduk seorang pria yang tampak sedang memainkan ponselnya, dengan rambut hitam acak-acakan yang khas.
"Darwin!" Belle berseru, wajahnya dipenuhi senyum lebar. Tanpa menunggu lebih lama, ia berlari menghampiri pria itu dan langsung memeluknya erat.
"Omg, Darwin, aku sangat merindukanmu!" Belle berkata dengan penuh semangat, melepaskan pelukannya dan melihat wajah temannya itu dengan penuh kegembiraan.
Darwin tertawa kecil, balas memeluk Belle. "Aku juga merindukanmu, Belle," ujarnya sambil tertawa. "Sudah dua tahun kita nggak ketemu, ya? Kau tambah cantik, Belle."
Belle tersipu malu mendengar pujian itu, lalu menarik kursi untuk duduk di hadapan Darwin. "Kau terlalu berlebihan," katanya sambil tersenyum. "Tapi, aku sangat iri padamu sekarang! Kau tinggal di Jakarta dan sekolah di sana juga? Rasanya pasti berbeda dari dulu."
Darwin mengangguk sambil tersenyum kecil, menyesap kopinya sebelum menjawab. "Ya, memang berbeda. Sekarang aku sudah bisa lebih dekat dengan keluarga, dan sekolah di Jakarta juga nggak seburuk yang kukira. Tapi, kadang aku merindukan suasana di sini, di Inggris. Tentu saja, aku juga merindukan kita nongkrong bareng seperti ini."
Belle tertawa kecil, mencoba mengabaikan rasa kerinduan yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. "Ya, pasti menyenangkan bisa kembali dekat dengan keluarga. Aku di sini justru semakin merasa jauh dari semua orang." Ia menghela napas pelan, dan wajahnya sedikit menunduk. "Terkadang, meskipun ada di tempat yang indah, aku merasa seperti terjebak di antara dua dunia yang nggak pernah bisa benar-benar kumiliki."
Darwin menatap Belle dengan penuh perhatian. "Belle, kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya penuh dengan perhatian yang tulus. Ia tahu betapa rumitnya kehidupan Belle, meskipun ia tidak selalu tahu detail dari setiap masalah yang dihadapinya.
Belle tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa gelisah yang ia rasakan. "Aku baik-baik saja," jawabnya sambil menatap jendela, melihat orang-orang yang berlalu-lalang di luar. "Aku hanya... terkadang merasa kesepian di sini. Ayah mengirimku ke sini agar aku tidak terlibat dengan masalah keluarganya, tapi kadang aku bertanya-tanya apakah aku benar-benar diinginkan di dunia mereka."
Darwin terdiam sejenak, mencoba memahami kata-kata Belle. Ia tahu bahwa keluarga Belle adalah topik yang sulit baginya. "Tapi kau nggak sendiri, Belle. Kau punya aku, dan kau punya teman-teman lainnya di sini. Dan jangan lupa, kau juga punya ibumu yang sangat mencintaimu."
Belle mengangguk pelan, menyadari bahwa Darwin benar. Meski begitu, kerinduan akan pengakuan dari ayahnya selalu menjadi beban yang sulit ia lepaskan. Namun, hari ini ia ingin menikmati kebersamaannya dengan Darwin, tanpa memikirkan masalah-masalah yang biasanya menghantuinya.
"Kau benar," jawab Belle akhirnya, tersenyum lebih lebar kali ini. "Kau selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa lebih baik."
Darwin tersenyum puas. "Itulah gunanya teman, kan?"
serta jangan lupa untuk mampir di ceritaku ya❤️
ada beberapa kalimat yang masih ada pengulangan kata..
contoh kyk ini: Belle berdiri di jendela di bawah langit.
jadi bisa d tata struk kalimatnya;
Belle berdiri di tepi jendela, menatap langit Inggris yang kelam
atau bisa juga Belle berdiri di jendela, memandang langit kelam yang menyelimuti Inggris.
intinya jgn ad pengulangan kata Thor, dan selebihnya udah bagus