Menolak dijodohkan, kata yang tepat untuk Azalea dan Jagat. Membuat keduanya memilih mengabdikan diri untuk profesi masing-masing. Tapi siapa sangka keduanya justru dipertemukan dan jatuh cinta satu sama lain di tempat mereka mengabdi.
"Tuhan sudah menakdirkan kisah keduanya bahkan jauh sebelum keduanya membingkai cerita manis di Kongo..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Pengagum dokter cantik
Dilihatnya keempat prajurit berseragam loreng layaknya Efseeee itu, ada Jagat di paling belakang yang melihat Aza dengan tatapan tak dapat diartikan, lebih terkesan marah atau justru tak habis pikir dengan Aza. Pokoknya gadis itu jadi mengernyit kisut saat Jagat justru lebih memilih membuang mukanya saat kedua pasang netra mereka bertemu.
"Noh bang noh, dia noh..." Yuan mendorong-dorong punggung Aza ketika Yuda dan kawan-kawan menghampiri, lalu ia melanjutkan larinya masuk ke dalam camp, seolah cuci tangan akan kejadian pagi ini, "rebus aja dia om, bareng wortel!" teriak Yuan sudah menjauh sambil tertawa-tawa yang praktis memancing sunggingan bibir julid Aza.
"Hati-hati loh dok, tentara itu baperan..." kekeh Dika, "apalagi kalo sama cewek cantik." Lanjutnya sambil menatap Hera yang tak menatapnya balik, justru melengos menyusul Yuan, "Yu, tungguin ih!"
"Canda om, mari om-om semua..." pamit Aza.
"Yo, dok..." angguk Toni, kapten Yuda dan Dika, sementara saat melewati Jagat, lengannya sempat ditahan Jagat, "apa?"
"Saya mau ngomong sesuatu nanti." Ucapnya tegas menatap Aza lekat-lekat dengan bingkai alis tebalnya.
Mendadak jantungnya berdegup lebih kencang, bukan karena baru saja berolahraga pagi atau teriak-teriak bertemu apa yang membuat adrenalinnya terpacu, namun entahlah....ia merasa apa yang akan disampaikan Jagat, seolah otak dan hatinya sudah tau dan ia tak siap untuk itu.
"Apa?" tanya Aza. Beberapa lama kontak mata keduanya tak terelakan, semakin dalam hanyut menyelami pikiran masing-masing dan mengabsen wajah satu sama lain agar benar-benar tersimpan di memori. Dunia seolah langsung senyap dan sepi, tak ada penghuni lain selain keduanya.
Roda-roda besar truk Reo menggiling jalanan dari dalam ke arah mereka sekaligus menjadi pemutus interaksi in tim Aza dan Jagat pagi itu, yang sebenarnya sejak tadi Toni, Yuda dan Dika sudah berdehem keras mencibir kelakuan Jagat. Jagat melepaskan tangan terbalut sweter Aza, tanpa menunggu sampai Jagat berbicara lagi, Aza langsung kabur dari sana.
Ia benar-benar berlari dan menghentikan lajunya ketika dirasa dirinya sudah jauh dari pandangan Jagat, termasuk suara deru mesin truk Reo yang perlahan menghilang dari pendengaran. Aza memegang dadanya dimana degupannya justru semakin kencang tak karuan, "duh, kalo deg-degan gini tuh bawaannya jadi mules..." lirihnya.
Namun sepertinya semesta tak mendukung dirinya untuk bergalau-galau ria, karena buktinya kini dokter Maya sudah meneriakinya macam neriakin copet.
"Za! Buruan mandi, sarapan, dokter Alteja minta kamu sama dokter Dim nugas!"
Aza melihat jam tangannya dan baru ingat jika hari ini ia dipasangkan dengan dokter Dimas untuk melakukan pengobatan ke rumah-rumah warga yang membutuhkan bantuan medis.
"Oke...oke!" angguknya bergegas.
Aza benar-benar diburu waktu, bahkan ia hanya sempat membekali dirinya dengan roti sandwich, karena nyatanya para nakes sudah bersiap pergi.
Aza berlari membetulkan tali tas di kedua sisi pundaknya karena berulang kali turun.
"Yu buruan..." Diantara rombongannya ia bersama dokter Dimas dan Nisa. Sementara dokter Maya bersama Yuan dan Hera.
Berbeda mobil beda pula jurusan mereka, rupanya cukup banyak desa yang tersebar dan membutuhkan sentuhan bantuan dari segala aspek.
Pembangunan infrastruktur berupa sekolah mengandalkan bantuan dari pemerintah dan bantuan luar negri sudah dilakukan sejak konflik bersenjata itu berakhir, namun masih seringkali menyisakan kelompok-kelompok kecil militan yang mengaku dirinya penguasa daerah, akibat dari jiwa apatis dan rasa ketidakpercayaannya terhadap pemerintah akan kesejahteraan hidup.
Suara alat kontruksi sederhana hasil swadaya masyarakat dibantu para aparat negri beradu memekakan telinga.
Kehadiran kapten Yuda dan kawan-kawan disambut oleh pemimpin daerah setempat, aparat setempat dan unit yang sebelumnya sudah berada di sini untuk bergantian tugas.
"Sudah hampir rampung, ya bang?" tanya kapten Yuda.
"Siap, masih banyak yang perlu diperbaiki sebenarnya ndan...seminggu kemarin baru memperkokoh rangka bajanya saja. Menunggu bahan-bahannya yang membuat lama."
"Siap...siap, unit 2 silahkan kembali ke camp dan beristirahat. Tugas disini akan kami ambil alih..."
"Siap ndan! Terimakasih..."
***
Jalanan yang tidak ramah mengguncang perut dan kepala Aza, mana tenggorokannya seret karena ia yang terlupa minum dan membekali diri dengan tumbler air minum, saking terburu-buru.
Dan benar saja, kondisi desa yang lebih sama seperti desa-desa di perbatasan negri sendiri bahkan lebih parah tersaji di pandangan Aza.
Dapat Aza tebak apa saja masalah kesehatan yang terjadi disini, hanya dengan sekali kedip saja.
Bang Franky bertugas menemani para nakes, perwira satu ini yang memimpin ekspedisi kali ini.
"Desa X ini, ada beberapa warga yang biasa bertemu dan mengantre bantuan di camp. Tapi kemarin mereka absen, sewaktu saya tanya nyatanya ada beberapa dari mereka yang sakit." jelas bang Franky diangguki dokter Dimas dan Aza.
Sambutan hangat mereka yang langsung menjabat tangan bang Franky dan sersan Jeven adalah bukti kalau mereka memang sudah mengenal para tentara ini, mereka sudah terbiasa dengan kedatangan para serdadu.
Tak ada kemewahan yang ditawarkan, bahkan untuk tamu sekalipun. Aza hanya melihat bang Franky bertegur sapa seraya berkelakar setitik untuk selanjutnya menggiring para nakes ini ke rumah pertama.
Tawa anak-anaklah penghibur di kala lara, celoteh mereka tak boleh hilang hanya karena krisis kesehatan dan konflik bersenjata. Tawa merekalah penguat di kala semangat yang sudah turun.
Cooler berisi obat-obatan dibawa serta beberapa prajurit yang membersamai mereka.
"Morning..."
Aza ikut serta membantu dokter Dimas memeriksa pasien. Bahkan beberapanya dapat berinteraksi dengannya.
(..)
"Help me! Doc!"
"Help my wife..."
Suasana damai dikejutkan dengan teriakan seorang lelaki paruh baya dari rumah pondok yang hanya berjarak 3 rumah dari posisi Aza dan yang lain berada.
"Apa itu?" Aza dan Nisa saling pandang menggidik bahu.
"Ven, coba lihat!" pinta bang Franky, membuat sersan Jeven bergegas keluar tergesa.
"We need a doctor, sir..." ucap sersan Jeven menatap Franky bergantian pada Dimas, Aza dan Nisa.
"Za handle coba, ini saya lagi tanggung... Sa, temani Aza..."
"Siap dok."
"Oke i'm here..." Aza dan Nisa beranjak mengikuti sersan Jeven.
(..)
Aza keluar dari rumah pondok yang bisa dikatakan hampir roboh jika sekali lagi kena hantaman keras, dimana pasiennya adalah seorang ibu paruh baya hamil yang terdeteksi campak dan kolera. Ia melepas masker dan sarung tangan karetnya. Benar-benar tersiksa dengan kondisi dimana sebenarnya ia menahan haus sejak pertama datang. Pengalamannya ini akan ia ingat sampai nanti ia mengucap sumpah jabatannya kelak.
Ia duduk di bale-bale kayu yang langsung menyajikan pemandangan luar rumah, sementara dokter Dimas dan bang Franky sudah menyusul saat ia dan Nisa sudah berhasil menyadarkan si ibu dari pingsannya dan memasang infusan di tangan.
Aza menghirup nafas dalam-dalam mengeluarkan semua sisa rasa tegang dan kekhawatirannya, ada rasa bangga di hatinya telah melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, melakukan pertolongan dan pengobatan pertama untuk manusia berjuluk, pasien.
Ditatapnya tangan-tangan bersih selepas ia membuang sarung tangan karet ke dalam plastik. Salahnya....yang memilih menjauhi interaksi keramaian, hingga kini pikirannya justru kembali berisik oleh memori tadi pagi dan segala perkara yang menjadi masalahnya belakangan ini.
Hingga lamunannya buyar ketika Nania, putri sulung si pemilik rumah yang berusia 8 tahun menyodorkan segelas air minum padanya, tak ada cemilan menyertai layaknya pada tamu, namun Aza dapat mengurai senyuman hangatnya mana kala gadis itu terlihat malu-malu menyerahkan segelas air minum.
Setelah Aza menerimanya, bocah brekele berkucir dua itu segera berlari menyerbu sang ayah yang rupanya sejak tadi, bocah itu memang mendapatkan perintah dari ayahnya untuk memberikan Aza minum.
"Thank you, terimakasih..." ucap Aza sengaja mengucapkan terimakasih dalam bahasa ibu sambil mengatupkan kedua tangannya. Si ayah mengangguk tersenyum lebar, "thank you very much, doctor..." terlihat kesungguhan yang mendalam saat mengucapkan itu pada Aza, tak ada hal lebih mewah yang bisa ia berikan pada Aza selain segelas air minum karena telah membantu sang istri. Dan hal itu, membuat Aza terharu.
Hatinya begitu tersentuh, terkhusus ketika Nania dengan malu-malu mengeluarkan benda tersembunyi dari belakang badannya dan menuliskan kata terimakasih disertai bentuk hati.
"For me?" Aza menyentuh dadanya, "thanks a lot, honey..."
Nania mengangguk, menyerahkan dan kembali berlari masuk seolah Aza adalah alien yang akan melahapnya, Aza tertawa renyah sembari meneguk air minum itu hingga tandas, kebetulan sekali ia sangat haus sejak tadi.
****
"Cieee, dikasih siapa tuh..." goda Nisa ketika keduanya sudah berada di mobil untuk kembali ke camp. Nyatanya kegiatan mereka ini cukup memakan waktu hingga mereka kembali ke camp sudah menjelang sore, bahkan langit senja disini sudah menunjukan kejinggaannya.
Aza menyimpul senyumannya, dengan perasaan yang tak dapat diungkapkan lagi, "Nania..."
"Emhhh, dokter cantik udah punya penggemar ceritanya..." goda Nisa lagi yang memancing tawa Aza, "berasa bangga banget gue, Ca...idung gue udah terbang lo liat ngga?!"
.
.
.
.
kalau ada aza mesti rameeee🤣...
semangat up terus ya mak sin 💪😅🙏