Mereka bertemu dalam tujuan masing-masing. Seperti kata temannya dalam hubungan itu tidak ada perasaan yang dipertaruhkan hanya ada profesionalitas semata.
Bersama selama tujuh bulan sebagai pasangan suami-istri palsu adalah hal yang mudah pikir mereka. Tapi apakah benar takdir akan membiarkannya begitu saja?
"Maksudku. Kita tidak mudah akur bukan? kita sering bertengkar dan tidak cocok."
"Bernarkah? tapi aku merasa sebaliknya."
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Kabar Mengejutkan
Jona membuka pintu rumahnya sambil menggaruk rambut yang agak gatal, di depan sudah berdiri bosnya yang tampak kusut dan lelah. Baswara melirik jam dinding dari dalam rumah sekertarisnya itu pukul 12.35.
"Maaf membangunkanmu, aku titip ini," pria itu menyerahkan seekor kucing berwarna cokelat.
Jona menggendong kucing itu lalu masuk sebentar ke dalam mengambil secarik kertas dan menyerahkannya pada sang bos.
"Ini alamatnya. Tapi mungkin jam besuknya sudah berakhir." Baswara menatap kertas itu dan berbalik pergi.
***
Perjalanan itu cukup panjang dan melelahkan. Sebelum pergi tadi Baswara membeli segelas kopi hangat, ia sangat lelah karena tadi malam tidak bisa tidur sama sekali. Setelah menimbang beberapa hal dia pun memutuskan untuk pergi pagi-pagi buta menuju tempat yang cukup jauh menurutnya, dalam hati ia berharap dapat bertemu dengan wanita itu.
Mobil hitam Baswara berhenti tepat di sebuah bangunan yang luas bertuliskan Lentera Nursing Home tanpa ragu ia turun dari mobilnya dan melangkah ke dalam.
Suasananya masih sangat sepi, sebelum ia melangkah lebih jauh lagi seorang perawat menghentikannya.
"Jam besuk belum dibuka pak. Silahkan kembali lagi nanti."
"Saya mau mencari nenek Rahayu, ada urusan penting," ucap Baswara berharap perawat itu bermurah hati padanya.
"Maaf bapak siapa ya? Ada perlu apa dengan nenek Rahayu?" ucap perawat yang lain muncul dibelakangnya.
"Saya suami cucunya, apa cucunya ada di sini juga?" tanya Baswara mulai tidak sabar.
"Sekitar sejam yang lalu nenek Rahayu dilarikan ke rumah sakit, tiba-tiba dia pingsan." Baswara terkejut tidak dapat berkata apa-apa, dia penasaran apakah Kani mengetahui kabar ini? Jika tau, bagaimana keadaannya saat ini? Apakah dia baik-baik saja? Semua berputar cepat di kepalanya.
Dilihatnya tempat itu dan menghela napas sejenak. "Boleh saya minta alamat rumah sakitnya?" tanyanya pelan dan perawat itu pun memberikan alamat rumah sakit tempat nenek Kani dibawa. Tanpa berlama-lama dia kembali masuk ke dalam mobil melaju meninggalkan tempat itu dan untuk ke sekian kalinya dia teramat khawatir dengan wanita itu.
***
Jalanan hari itu sangat lancar karena jam sibuk sudah berlalu sedari tadi. Disebuah tempat tampak seorang wanita turun dari sebuah mobil yang tidak ia kendarai sendiri.
Dira memasuki gedung apartemen itu dengan langkah cepat dan pasti. Setelah mengantar anaknya ke sekolah ia memutuskan untuk datang ke tempat itu.
Setelah tiba di lantai 6 tepat di ujung lorong dia berhenti dan mengetuk sebuah pintu. Tak lama keluarlah seorang wanita dengan tampang muaknya menatap Dira yang tanpa aba-aba masuk ke dalam sana.
"Apa maumu Dira?" tanya Sofia sambil bersedekap menatap keponakannya itu.
Dira yang duduk dengan sangat anggun sambil memangku tas putih miliknya, kacamata hitam yang ia pakai dilepaskannya perlahan.
"Pergilah. Tinggalkan tempat ini," ucapnya santai.
"Jadi sekarang kau mengusirku? Kau tidak punya hak melakukan itu!" ucap Sofia berang melotot.
Dira hanya terseyum mendengarnya, "Harusnya dari awal kau tau konsekuensi dari perbuatanmu."
"Persetan dengan itu! Tidak ada yang dapat membuatku pergi dari sini." Dira bangkit dari kursinya dan melangkah berdiri berhadapan dengan Sofia yang wajahnya mulai memerah.
"Benarkah?" tangan Sofia sudah terangkat hendak menampar wanita di hadapannya itu namun terhenti di udara karena seseorang menahannya.
Panji berdiri tepat di samping istrinya, tak ada ekspresi wajah berarti, ia menghela napasnya dalam.
"Aku akan bereskan dia. Pergilah," ucapnya pada Dira yang nampaknya setuju.
Dira mengambil tasnya yang ia letakkan di atas meja, seraya memakai kembali kacamata hitamnya ia berjalan melewati Sofia dan berhenti di ambang pintu untuk mengucapkan kata terakhir kali, "Jangan sampai aku melihat wajahmu lagi."
Panji yang masih memegang tangan istrinya itu melepaskan dia dan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jasnya.
"Kemasi barang-barangmu," ucapnya sambil menyerahkan sebuah tiket.
"Apa?" Sofia bingung menatap suaminya.
"Aku akan membereskan masalahku di sini dan aku ingin pastikan kau tidak mengacau," Panji lalu melemparkan tiket itu ke atas meja dan bergegas pergi keluar dari apartemen itu.
Sofia tertegun, merasa bahwa ini tidak adil untuknya. "Keluarga terkutuk! Kalian pikir semuanya bisa diselesaikan dengan uang." Dia lalu menatap foto keluarganya yang tergantung di dinding, tampak harmonis. "Kau menyingkirkanku, ketika aku sudah tidak lagi berguna." Sofia duduk di sofa sambil menatap selembar tiket itu, rasa marah masih membuncah di dalam dadanya. Jelas dia tidak menyesali perbuatannya, dia marah pada semua orang yang menuduhnya bersalah.
Dengan berat Sofia mengambil tiket pesawat yang bertujuan ke London itu, digenggamnya dengan erat tiket itu dan tertawa kencang seperti orang yang sudah hilang akal. Kini ia sudah disingkirkan atas tindakan bodohnya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, tidak ada lagi yang bisa dilakukannya karena tempat untuknya sudah tidak ada lagi.
**Note :
Terima kasih untuk kalian semua atas dukungannya. Tetap ikuti update-an karya ini terus.
Jangan lupa kasih Kawan Serumah hadiahmu ya (like, komen, vote). Happy reading :)