Kawan Serumah
Hari ini sama seperti hari biasa yang sibuk namun terkendali, tampak di ujung lorong pak Karta sibuk memberi pengarahan pada beberapa orang bawahannya akan kinerja divisi mereka yaitu Housekeeping yang kurang memuaskan di akhir bulan ini.
Bangunan itu memiliki 206 kamar dan ruangan lain di antaranya, coffee shops, restoran, serta pusat kebugaran lengkap dengan spa, kolam renang ukuran dewasa dan anak-anak. Fasilitas ruang konferensi yang besar dengan didukung perlatan terkini dan ditunjang tempat parkir yang luas, tersebar di dua lantai.
Lantai dasar memiliki 2 buah ruang pertemuan dengan kapasitas yang besar. Lantai kedua memiliki 3 buah denga kapasitas masing-masing 80 orang, yang semua ruang terhubung dengan ruang utama yang dapat menampung 300 orang tamu.
Modelnya adalah semi-modern dengan didominasi warna cokelat muda dan putih. Terletak di kawasan yang sangat strategis, hal ini membuat Hotel Wisteria mudah diakses dan dapat mengundang banyak wisatawan yang sedang mencari tempat menginap.
Sementara itu di bagian lain seorang pria muda mengenakan stelan jas formal yang rapi tapi jika diperhatikan warna yang digunakannya selalu sama dari hari ke hari sedang berjalan dengan sangat terburu-buru sambil membawa beberapa berkas di tangannya.
Beberapa kali langkah pria itu terhenti untuk memastikan semua orang dalam posisi mereka dan fokus pada apa yang mereka kerjakan. Jona masuk lift sambil mengecek kembali berkas yang dia bawa untuk diserahkan kepada bos yang dia sendiri tidak tau kapan akan datang. Ruangannya berdekatan dengan ruangan sang bos tepatnya meja kecil di sudut dekat pintu masuk, tidak terlalu kecil, cukup nyaman dan sangat rapi.
Jona masuk ke dalam ruangan yang didominasi dengan warna hitam, aura maskulin terpancar dari dalam ruangan itu. Tidak banyak perabotan di dalamnya karena bosnya tidak terlalu suka dengan ruangan yang penuh sesak. Jona meletakkan berkas-berkas yang dia bawa lalu merapikan sebentar meja yang ada di hadapannya semua harus ditata dengan rapi dan teratur, tiba-tiba bunyi ponsel terdengar dari luar ruangan tepat di atas mejanya, dia pun bergegas mengangkatnya, "Halo bos. Iya saya segera ke sana."
***
Di sebuah hunian luas dan megah terlihat seorang pria yang terlihat berusia 30-an lebih sedang duduk di taman dengan seorang wanita paruh baya yang tampak sangat bersemangat, matanya berbinar sembari memegang tangan sang anak.
Di belakangnya ada seorang perempuan cantik sedang mencoba menenangkan ibunya yang tampak sangat tidak biasa hari ini, "Ma, mungkin ada baiknya kita jangan terlalu memaksanya," ucapnya sambil melirik kearah adik laki-lakinya yang hanya bisa menghela nafas tanda ketidaksetujuannya.
Sang ibu yang biasa dipanggil Nyonya Rastomo menginginkan agar anak bungsunya itu bisa bahagia atau setidaknya bisa melangkah maju keluar dari hidupnya yang tidak menyenangkan. Dia ingin setelah tiada nanti anaknya bisa lebih menghargai hidup dan merasakan kebahagiaan yang sama seperti kakak perempuannya yang sudah punya keluarga sendiri yang menurut anak laki-lakinya itu tidak terlalu penting baginya, dia senang bisa hidup sendiri tanpa usikan dari orang lain seperti itulah kurang lebih apa yang ada dibenaknya.
Semenjak dia ditinggal oleh ayahnya, anak itu menjadi tertutup dan cenderung menyendiri, dia sudah dibebani hal yang sangat berat di usia muda. Dia harus menduduki posisi yang ayahnya tinggalkan dan melepas kesenangan di masa mudanya, untungnya dia tidak pernah mengeluh akan hal itu tapi tetap saja ibunya khawatir akan masa depan anaknya itu. Apalagi semenjak insiden beberapa tahun yang lalu itu rasanya sulit bagi Baswara untuk keluar dari bayang-bayang kelam masa lalu yang menghantuinya hingga kini. Anak itu pantas mendapatkan kebahagiaan atas semua yang telah ia lalui.
Bukannya tanpa kekhawatiran, ibunya pernah bebarapa kali ingin mengenalkan ia dengan anak dari kenalannya, tapi pada akhirnya selalu saja ada komentar yang sampai padanya bahwa dia tampak tidak tertarik dengan mereka.
Baswara sering kali terlihat seperti orang yang tidak peduli atau bahkan tidak punya empati. Dia cenderung diam, berpikir dulu sebelum bicara dan tidak menunjukkan perasaannya dengan mudah tapi sebenarnya dia anak yang sangat baik, mungkin dia tidak memperlihatkan perasaannya secara terang-terangan, tetapi ia sangat peka terhadap emosi orang lain, dia juga mampu membaca bahasa tubuh dan memberikan dukungan tanpa harus mengeluarkan banyak kata-kata karena itu hanya membuat segalanya terlihat bertele-tele.
"Kita bisa membicarakan hal ini nanti ma, yang penting kesehatan mama yang utama.”
"Cuma itu harapan mama nak, tidak ada yang lain. Mungkin berat tapi cobalah pertimbangkan dulu." Pria itu mencoba merenungkan kata-kata ibunya tapi semakin dalam dia berpikir kepalanya menjadi sangat sakit.
Dengan tenang dia berusaha untuk menyenangkan hati ibunya yang dia tau permintaan itu akan sulit untuk ditolak, "Baswara akan pertimbangkan dulu, mama tenang aja dan jangan banyak pikiran," jawabnya sembari menggenggam tangan sang ibu yang 5 bulan lalu divonis oleh dokter hidupnya tidak akan lama karena penyakit kanker hati yang dideritanya.
Tidak lama setelahnya pria itu pamit pulang untuk membiarkan ibunya beristirahat sang kakak terlihat mengikuti adiknya yang melangkah keluar dari pintu rumah mereka, "Waktumu cuma seminggu atau paling lama 2 minggu untuk mengurus hal ini Bas," ucap si kakak sambil menepuk pundak adiknya itu dan dijawab dengan helaan nafas berat darinya.
Sepanjang jalan Jona sesekali mengintip dari kaca depan memperhatikan Baswara yang duduk di belakang sembari memasang tampang kusut sepulang dari rumah keluarga besarnya. Hal yang tidak biasa pikirnya. Sesampainya di hotel Baswara berjalan melewati lobi disambut dengan sapaan hangat dari para staff hotel dan dibalas dengan anggukan singkat diikuti dengan Jona yang tersenyum ramah di belakangnya.
Di dalam lift Jona yang berdiri di depan pintu segera menekan angka lantai yang akan mereka tuju yaitu lantai paling atas tempat di mana ruangan mereka berada.
Baswara yang berdiri bersandar tiba-tiba menyahut, "Sial! bagaimana ini?".
Jona terkejut dan balik menatap Baswara dengan penuh tanda tanya di wajahnya, sesampainya di ruangan dia buru-buru menutup pintu dan kembali memasang wajah bingung atas apa yang barusan dia dengar.
"Bos?Apa anda baik-baik saja?". Baswara berdiri di depan jendela yang menjulang tinggi di depannya menatap pemandangan dari bawah hotel yang tampak mulai sibuk, tamu-tamu mulai berdatangan dengan beberapa barang yang mereka bawa.
"Tidak. Pertanyaan yang tepat siapa yang harus aku nikahi," ucapnya yang agak terdengar kurang yakin.
"Bos, sejujurnya saya tidak mengerti apa yang sedang anda katakan dari tadi."
"Ya. Kita harus mencari orang itu." Baswara perlahan berbalik badan menatap sang sekertaris yang masih setia di tempatnya menatap dirinya dengan wajah penasaran dan sekaligus bingung.
"Sebenarnya apa yang sedang terjadi?" Jona menyahut pelan.
"Aku akan menikah. Lebih tepatnya harus menikah."
**Note: Ini Karyaku pertama di NovelToon semoga bisa menghibur kalian semua. Kalau ada saran dan kritikan boleh banget. Jadi, selamat membaca kawan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments