Love For The Last

Aruni kemudian menoleh ke arah dapur, melihat samar-samar sang anak yang mulai mengambil kursi plastik untuk makan di dapur sana.

Ingat ada Adrian di sini, Aruni merasa jadi tak leluasa untuk mengungkapkan semua isi hatinya. Perasaan terpendam ingin meminta Gionino untuk pergi.

"Bagaimana jika kita bicara di luar?" tawar Aruni. Sesekali tatapannya dengan Gio saling bertemu dan Aruni yang selalu mematahkannya lebih dulu.

Kadang jadi melihat ke lantai, melihat ke gelas teh Gio yang masih berisi banyak, kadang ke toples biskuitnya.

"Tidak masalah," jawab Gionino.

Aruni menghela nafasnya dengan pelan, lalu bangkit lebih dulu meninggalkan ruang depan kos-kosannya.

Di depan ada sebuah kursi panjang yang biasa digunakan oleh tamu yang menunggu di luar.

Aruni duduk di sana jadi Gio mengikuti.

Adrian Bukannya tak tahu jika sang ibu dan pak Gio menjauhinya, tak ingin pembicaraannya di dengar olehnya. Tapi Adrian bisa apa selain mengerti, hanya berharap sang ibu tak meminta pak Gio untuk pergi.

"Aku tidak ingin kamu muncul lagi di hadapanku dan Adrian, jadi aku mohon mengertilah," ucap Aruni, dia yang lebih dulu bicara. Dari suaranya lebih terdengar seperti permohonan. Karena Aruni tak punya tenaga lagi untuk bertengkar, untuk bicara dengan suara keras.

"Maaf Aruni, aku tidak bisa," balas Gio, bicara tak kalah lembut. "Mungkin kamu belum lupa, aku bahkan pernah memintamu untuk menikah denganku," balas Gio tak kalah memohon.

Dari ucapannya seperti ingin mengatakan pada Aruni, bahwa dia pun terluka dalam kisah ini.

"Kenapa? Aku bukan Aruni yang dulu, aku tidak cantik lagi, aku tidak menarik sedikitpun."

"Itu bagimu, tidak bagiku. Yang tua bukan hanya kamu saja, tapi aku juga sudah tua," jawab Gionino.

Aruni menggeleng pelan, semua kata-kata yang keluar dari mulut Gio memang selalu terdengar manis. Tidak pernah berubah sejak dulu hingga sekarang. Bak angin surga yang menerpanya ketika berada di Padang pasir.

Membuatnya berharap bahwa di depan sana ada kehidupan yang lebih baik. Padahal tidak, justru di depan Gio lah yang ancaman yang sesungguhnya.

"Kenapa kamu memilih hidup seperti ini? Disaat kamu bisa memiliki kehidupan yang lebih baik," ucap Gio kemudian, seperti bergantian mengajukan pertanyaan.

Aruni tak langsung menjawab, sebab semua kenangan di masa lalu kembali terlintas dengan jelas.

Setelah mereka menghabiskan malam bersama, ibu Gionino datang menemuinya, memberikan ancaman yang tak mampu Aruni tepis. Di keluarkan dari universitas, di blacklist dari semua perusahaan saat dia hendak melamar kerja, satu-satunya pilihan yang bisa Aruni ambil agar hidupnya tak semakin hancur adalah menikah dengan Hendra.

Setelah pernikahan itu terjadi barulah ibu Gionino berhenti menganggunya, meninggalkannya di saat hidup Aruni sudah hancur.

"Dulu aku sangat mencintai Hendra, aku juga tidak tahu jika akhirnya akan seperti ini," jawab Aruni bohong. Meski ingatan itu masih jelas di benaknya, namun dia tak ingin mengungkit.

Lagipula semua sudah terjadi, tak ada yang bisa diperbaiki atas masa lalu.

Jawaban Aruni tentu membuat jantung Gio berdenyut nyeri, perkara cinta yang tak mampu dia lihat dengan kasat mata.

Untuk beberapa detik Gio bahkan langsung terdiam, menikmati sesak yang terasa jelas di dalam dada.

Cinta.

Kenapa satu kata itu terasa begitu menyakitkan?