Unwanted Bride (Pengantin yang tak diinginkan)
Nazila Faradisa adalah seorang gadis dari keluarga broken home. Karena itulah ia menutup hatinya rapat dan bertekad takkan pernah membuka hatinya untuk siapapun apalagi menjalani biduk pernikahan. Hingga suatu hari, ia terlibat one night stand dengan atasannya yang seminggu lagi akan menyelenggarakan pesta pernikahannya. Atas desakan orang tua, Noran Malik Ashauqi pun terpaksa menikahi Nazila sebagai bentuk pertanggungjawaban. Pesta pernikahan yang seharusnya dilangsungkannya dengan sang kekasih justru kini harus berganti pengantin dengan Nazila sebagai pengantinnya.
Bagaimanakah kehidupan Nazila sang pengantin yang tidak diinginkan selanjutnya?
Akankah Noran benar-benar menerima Nazila sebagai seorang istri dan melepaskan kekasihnya ataukah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch.32
"Tuan, apa rencana Anda untuk memantau langsung proyek di Bali masih akan terus dilanjutkan?" tanya Jay ragu-ragu sebab akhir-akhir ini kondisi kesehatan Noran sepertinya tidak cukup baik.
"Yah, aku akan turun tangan langsung."
"Tapi kondisi kesehatan, tuan ... "
"Aku tidak apa-apa. Kapan jadwalku kesana?"
"Besok malam tuan. Apa perlu reschedule?"
"Kalau bisa dipercepat keberangkatanku." Pinta Noran membuat Jay mengerutkan keningnya. Mengapa atasannya itu terkesan terburu-buru? Seperti ada sesuatu yang ia hindari. Jay pun hanya bisa mengangguk patuh tanpa memprotes sama sekali.
"Oh ya, selama saya di sana, saya minta kamu handle perusahaan dengan baik. Selama di sana, saya akan menonaktifkan ponsel jadi kalau ada masalah, ambil saja keputusan yang menurutmu paling baik." pungkas Noran yang kembali diangguki Jay tanpa membantah sama sekali.
...***...
Sudah 2 malam semenjak kemarin Noran tidak melihat keberadaan Nazila sama sekali. Bahkan cangkir kopi miliknya pagi tadi, masih berada di tempatnya. Noran pun segera masuk ke dalam kamarnya berusaha mengusir dugaan demi dugaan yang berseliweran di benaknya.
"Sebenarnya dia kemana? Kenapa dia tidak pulang? Ah, sudahlah buat apa juga mikirin perempuan itu!"
Noran mengedikkan bahunya lalu segera membersihkan diri.
Saat sedang berkutat dengan laptopnya di ruang kerjanya, bel apartemen Noran berbunyi. Ia pun bergegas untuk membuka pintu. Awalnya ia pikir mungkinkah itu Nazila, tapi ia ingat kalau Nazila memiliki kartu aksesnya sendiri jadi tidak mungkin itu dirinya.
"Sarah," serunya saat melihat Sarah telah berdiri dengan senyum lebarnya.
"Hai, sayang. I miss you," seru Sarah sambil menghambur ke dalam pelukan Noran.
Tapi dengan sigap, Noran mendorong tubuh Sarah sambil menahan nafas. Ia merasa tak nyaman dengan keberadaan Sarah juga aromanya yang membuatnya mual ingin muntah. Ia sampai bertanya-tanya, sebenarnya apa yang terjadi dengan dirinya? Mengapa dirinya seakan muak dan jijik melihat Sarah yang notabene adalah kekasihnya sendiri.
"Kamu kenapa sih, sayang? Kok akhir-akhir ini makin berubah? Aku salah apa sama kamu? Aku yakin, ini karena perempuan ja*lang itu kan! Dia bilang apa sama kamu sampai kamu bersikap kayak gini sama aku, hah? Katakan sama aku, Noran! Noran ... " pekik Sarah saat melihat Noran justru berlari ke belakang menuju wastafel. Kemudian ia memuntahkan semua isi perutnya. Tapi anehnya, tak ada yang keluar, hanya cairan bening, tapi perutnya seakan terkuras habis semua isinya.
Dipandanginya wajah dirinya melalui cermin yang ada di di depan wastafel kamar mandi, terlihat pucat, sorot matanya pun sayu, namun tiba-tiba ia melihat wajah sayu penuh kekecewaan Nazila di cermin itu. Noran menggelengkan kepalanya, mengapa ia justru teringat dengan perempuan itu, pikirnya. Namun lagi-lagi ia penasaran, kemana Nazila 2 hari ini? Mengapa ia sampai tidak pulang? Lalu ia kembali terkenang pertengkarannya malam kemarin, tiba-tiba saja raut wajah Nazila menegang cemas setelah mengangkat panggilan telepon. Kemudian, tanpa kata apalagi pamit, Nazila berlalu begitu saja meninggalkan dirinya yang tengah dikuasai amarah yang membuncah seolah dirinya bukan siapa-siapa. Tak berarti. Bahkan mungkin ia hanya dianggap pilar apartemen itu sehingga tidak perlu digubris sama sekali. Setidakberharga itukah dirinya bagi Nazila?
Noran mengehela nafasnya lelah kemudian membasuh mulutnya dan bersiap untuk keluar.
"Aduh, ... " Sarah mengaduh saat tubuhnya dan Noran bertabrakan karena Sarah yang ingin masuk bersamaan dengan Noran yang ingin keluar.
"Kamu kenapa sih, sayang? Masih sakit? Nggak enak badan?" cecar Sarah.
"Please, sayang, untuk sementara kamu jaga jarak dulu ya! Aku nggak tahu kenapa setiap aku mencium aroma tubuh kamu, tiba-tiba aja aku mual mau muntah. Kamu ganti parfum?"
"Kamu mual karena aroma tubuh aku? Jangan bercanda deh, sayang! Jangan buat-buat alasan biar kamu bisa jauhin aku! Aku tahu, kamu pura-pura kan! Karena kamu, aku jadi ganti parfum. Orang-orang malah suka aroma yang baru ini, masa' kamu beda sendiri. Mending kamu jujur aja, kamu mau jauhin aku? Kamu mau ninggalin aku? Ayo, ngaku! Hiks ... " Sarah terisak. Matanya sudah basah dengan tirta bening dan siap menetes tumpah ruah. Sarah menyeka kasar tirta itu membuat Noran tak kuasa menahan perasaan bersalahnya. Ia mencoba mendekat untuk menghapus lelehan air asin itu tapi Sarah menepis uluran tangannya dengan kasar.
"Nggak usah pegang-pegang kalau kamu cuma mau nyakitin aku," ucapnya setengah berteriak.
"Nggak sayang, aku nggak maksud kayak gitu. Aku nggak tahu, akhir-akhir ini indra penciuman aku kayak terganggu gitu. Ada beberapa aroma yang dulu biasa aja tapi sekarang terasa begitu aneh hingga membuat perutku rasanya dikocok-kocok. Aku juga nggak tahu kenapa, aku udah periksa ke dokter tapi dokter bilang nggak ada masalah. Aku juga nggak mau kayak gini, aku juga tersiksa karena mual ini, tapi mau bagaimana lagi. Maafin aku ya! Untuk sementara aja sampai aku udah nggak mual-mual lagi." bujuk Noran dengan mengiba, berharap Sarah tidak marah lagi dengannya.
"Kamu bohong, kamu jahat! Aku benci sama kamu."
"Sayang, jangan gini! Gini aja, kamu mau nggak temenin aku ke Bali? Aku ada proyek di sana. Kamu boleh ikut aku sambil mantau kegiatan aku, tapi kamu agak jaga jarak sedikit ya! Biar aku nggak mual, mungkin seiring seringnya kita ketemu, lama-lama hidung aku terbiasa dengan aroma kamu dan nggak mual lagi, gimana mau?" tawar Noran berharap Sarah tak marah lagi dengannya.
Mendengar tawaran itu, Sarah pura-pura enggan. Tapi setelah Noran berkali membujuknya, akhirnya ia pun bersedia. Hingga di sinilah mereka kini, dengan menumpangi pesawat kelas bisnis, mereka sedang dalam perjalanan menuju kota Denpasar, Bali.
Binar bahagia terlihat jelas di wajah Sarah seolah permasalahan mereka kemarin sudah tak ada lagi. Walaupun harus menjaga jarak, mereka tak apa yang penting mereka selalu bersama. Bahkan Sarah rela mengosongkan jadwalnya demi bersama Noran.
...***...
Sementara itu, di rumah sakit, kondisi fisik ibu Nazila kian melemah. Ia sudah tak bisa menerima nutrisi dari makanan lain selain cairan infus. Meskipun kini ibu Nazila sudah dapat membuka matanya, tapi tatapan itu kian redup membuat dunia Nazila seakan runtuh.
"La," panggil sang ibu membuat Nazila tersentak. Setelah sekian tahun, akhirnya sang ibu bisa memanggil namanya kembali. Air mata. bercucuran di mata Nazila, menunjukkan betapa lebih hatinya melihat keadaan sang ibu sekaligus ia merasa bahagia akhirnya sang ibu bisa menyebut namanya kembali.
"I-iya, Bu. Ibu kenapa? Ada yang ibu butuhin?" tanya Nazila seraya terisak. Ia menggigit bibirnya yang bergetar karena melihat wajah sang ibu yang kian memuncat seputih kapas. Digenggamnya tangan sang ibu erat, dingin, itu yang ia rasakan pada saat kulitnya menyentuh kulit sang ibu. Perasaannya kian tercabik, dapat ia rasakan ini merupakan saat-saat terakhir sang ibu. Ia tentu akan memanfaatkannya sebaik mungkin untuk memuaskan dahaganya akan senyum wanita yang telah berjuang menghadirkan dirinya ke dunia.
"Maafin ibu ya, sayang. Ibu ... nggak bisa memberikan keluarga yang utuh untukmu. Bahkan ibu hanya bisa menyusahkanmu selama ini," ujarnya sendu. Suaranya begitu pelan, nyaris tak terdengar. Nazila bahkan harus mendekatkan wajahnya agar suara itu terdengar jelas di telinganya.
"Ibu nggak boleh ngomong gitu, ibu nggak pernah nyusahin. Justru ibu itu semangat hidup aku. Pelita dunia Ila. Ila nggak tahu gimana hidup Ila tanpa ibu. Ila sayang ibu." ucap Nazila lirih.
Ibu Nazila tersenyum lalu mengusap pelan surai Nazila yang sudah panjang, "Kamu cantik, sayang. Ibu harap, kamu menemukan seseorang yang bisa menjaga dan melindungimu. Maafkan ibu, ibu nggak bisa berlama-lama lagi .... ibu ... sepertinya sudah harus pergi. Ibu ... ibu sayang kamu, nak. Bertahanlah, berjuanglah, kamu ... gadis yang kuat. Ibu yakin, setelah ini bahagia akan segera menghampirimu. Ibu, sayang Ila." ucap ibu Nazila terputus-putus. Nafasnya pun kian melemah dengan sekujur tubuh mulai mendingin. "Bisa ... bimbing ibu!" pinta sang ibu dengan sorot mata yang binarnya kian meredup.
Nazila pun mengangguk paham, kemudian ia mulai membimbing sang ibu mengucapkan kalimat tauhid dengan air mata yang berurai.
Ibunya, pelita hidupnya, mataharinya, sumber kekuatannya, kini perlahan mengatupkan mata setelah mengucapkan kalimat, "Lā ilāha illallāh."
Tangis Nazila pun pecah membuat bi Arum dan mang Giman yang berdiri di belakangnya hanya bisa mendoakan, semoga ibu Nazila mendapatkan tempat yang layak di sisi sang pencipta.
"Bi, ibu udah pergi. Gimana dengan Ila nanti? Ila ... ila ... "
"Ila ... " seru bi Arum dan Mang Giman bersamaan saat melihat tubuh Nazila luruh tak sadarkan diri hingga hampir menyentuh lantai kalau saja bi Arum dan Mang Giman tidak segera menangkap tubuhnya.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...