Amara adalah seorang wanita muda yang bekerja di sebuah kafe kecil dan bertemu dengan Adrian, seorang pria sukses yang sudah menikah. Meski Adrian memiliki pernikahan yang tampak bahagia, ia mulai merasakan ketertarikan yang kuat pada Amara. Sementara itu, Bima, teman dekat Adrian, selalu ada untuk mendukung Adrian, namun tidak tahu mengenai perasaan yang berkembang antara Adrian dan Amara.
Di tengah dilema cinta dan tanggung jawab, Amara dan Adrian terjebak dalam perasaan yang sulit diungkapkan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah hidup mereka selamanya, dan berpotensi menghancurkan hubungan mereka dengan Bima. Dalam kisah ini, ketiganya harus menghadapi perasaan yang saling bertautan dan mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cocopa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Yang Tersisa *1
Hari demi hari berlalu dengan lambat bagi Amara. Setiap pagi terasa seperti beban berat yang harus ia pikul, membawa kenangan tentang Satria yang terus menghantui pikirannya. Pekerjaannya di kantor pun tak lagi memberikan rasa lega; alih-alih, kantor menjadi tempat di mana ia harus menghadapi kenyataan bahwa Satria—yang selalu ada di ruang sebelah atau lorong yang sama dengannya—kini tak lagi hadir di sana. Ketiadaan Satria di kantor seperti meninggalkan jejak kosong yang tak bisa diisi oleh siapa pun.
Di meja kerjanya, Amara menatap ke arah pintu ruangan Satria yang terkunci. Pintu yang biasanya sedikit terbuka, memperlihatkan bayangan Satria yang sibuk dengan laptop atau memandang jendela, kini tertutup rapat. Tak ada lagi jejak kehadirannya yang bisa Amara intip atau bayangkan. Bahkan aroma kopi favorit Satria yang biasanya tersisa di ruang pantry kini terasa hilang, membuat kantor terasa lebih sunyi.
"Mara, ada yang bisa dibantu?" suara rekan kerjanya, Rani, tiba-tiba mengejutkan Amara dari lamunan.
Amara tersentak, menyembunyikan kepedihan di balik senyum kecil. "Oh, nggak, Ran. Aku lagi ngelamun aja."
Rani tersenyum simpati, matanya memancarkan pemahaman. Ia tahu bahwa Amara sedang melalui masa sulit, dan meski Rani tidak tahu seluruh cerita, ia cukup mengerti bahwa ini bukan perkara kecil. "Kalau butuh teman bicara, kamu tahu di mana mencariku, kan?" ujarnya dengan lembut.
Amara mengangguk, merasa sedikit lega atas perhatian itu. Namun, tidak butuh waktu lama sebelum pikirannya kembali ke Satria. Bagaimanapun, semua tempat di kantor ini adalah pengingat tentang dirinya, tentang perasaan yang tidak bisa ia lepaskan begitu saja.
Setelah jam kerja berakhir, Amara memutuskan untuk tidak langsung pulang. Ia duduk di meja kerja sedikit lebih lama, memandang ruangan yang kini terasa dingin dan kosong. Sebuah pikiran terlintas di benaknya—mungkin ia bisa mencari petunjuk tentang kepergian Satria. Hanya sekadar sesuatu yang bisa memberinya penjelasan, atau setidaknya sedikit ketenangan.
Dengan langkah perlahan, ia mendekati meja Satria, yang masih dipenuhi dokumen dan kertas-kertas yang tertata rapi. Ia membuka salah satu laci, lalu menemukan catatan kecil di dalamnya. Beberapa kata tertulis di sana, dengan tulisan tangan Satria yang khas. Catatan itu tampak sederhana, namun terasa mendalam bagi Amara:
> "Semua yang kita lakukan punya konsekuensinya. Kita hanya bisa berharap hasilnya lebih baik dari yang kita bayangkan."
Amara meremas kertas itu dengan hati-hati, seolah takut membuat kata-kata itu menghilang. Rasa rindu dan kesepian bercampur dalam dadanya, menciptakan emosi yang sulit dijelaskan. Kata-kata itu terasa ambigu, namun di saat yang sama seolah mengisyaratkan perasaan tersembunyi yang ingin disampaikan oleh Satria.
"Satria, kamu sebenarnya kenapa?" Amara bergumam, suaranya penuh kerinduan dan frustrasi. Namun, ia tahu tak ada yang bisa menjawab pertanyaannya.
Setelah beberapa menit, Amara akhirnya meninggalkan ruangan Satria. Ia melangkah keluar dari kantor, membawa catatan itu seolah itu adalah satu-satunya pengingat tentang hubungan mereka yang masih bisa ia pegang. Malam yang sepi dan angin yang dingin menyambutnya ketika ia melangkah keluar, namun tidak ada apa pun yang bisa menenangkan keresahan di dalam hatinya.
---
Keesokan harinya, Amara berusaha untuk melanjutkan hidup seperti biasa. Ia berusaha menutupi kesedihannya dengan senyuman dan tawa bersama teman-temannya di kantor. Tapi hatinya selalu kembali pada satu sosok—Satria.
Di tengah hari, tiba-tiba Amara menerima pesan dari Bima.
"Mara, ada waktu? Aku ingin ngobrol sebentar."
Amara merasakan jantungnya berdebar. Meskipun ia dan Bima sudah beberapa kali bicara tentang Satria, rasanya percakapan dengan Bima selalu meninggalkan jejak yang berbeda. Entah itu rasa lega, rasa pahit, atau malah semakin menambah rasa rindu pada Satria.
Amara setuju, dan mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang cukup jauh dari kantor. Bima sudah menunggunya di meja pojok, terlihat serius dengan ekspresi wajah yang sedikit tegang.
"Mara," Bima memulai percakapan begitu Amara duduk, "aku tahu ini mungkin nggak akan mudah buat kamu dengar, tapi ada sesuatu yang perlu kamu ketahui tentang Satria."
Amara menatap Bima dengan cemas. "Ada apa, Bima? Apakah ini tentang kepergiannya?"
Bima mengangguk pelan, menatap Amara dengan penuh pengertian. "Aku nggak tahu sejauh mana kamu sudah tahu, tapi ada alasan besar kenapa Satria mengambil langkah ini. Dia... dia merasa dia nggak cukup baik buat kamu, Mara. Dia selalu merasa bahwa dia menahan kamu untuk menjadi diri kamu yang sebenarnya."
Amara terdiam, mencoba memahami kata-kata Bima. Selama ini, Satria selalu terlihat percaya diri dan kuat, seolah dia bisa menghadapi apa saja. Tapi, bagaimana bisa dia merasa tidak cukup baik?
"Tapi kenapa dia nggak bilang langsung ke aku?" tanya Amara, bingung. "Kalau dia punya perasaan seperti itu, kenapa dia harus menjauh?"
Bima menghela napas panjang, terlihat ragu sejenak sebelum melanjutkan. "Karena dia tahu bahwa kamu mungkin akan mencoba meyakinkannya untuk tetap tinggal. Dan itu akan semakin membuatnya merasa terbebani. Satria adalah orang yang kompleks, Mara. Dia selalu berpikir dua langkah ke depan, dan kadang itu membuatnya sulit untuk membuka diri."
Amara merasa ada air mata yang mulai menggenang di matanya. Semua ini terasa begitu berat, begitu rumit. Ia tidak pernah membayangkan bahwa orang yang ia cintai menyimpan perasaan seperti ini di dalam hatinya.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?" Amara bertanya dengan suara serak, mencoba menahan emosi yang semakin kuat.
Bima menggenggam tangan Amara, memberikan dukungan yang tulus. "Kamu harus kuat, Mara. Satria pergi bukan karena dia tidak mencintaimu. Justru sebaliknya. Dia ingin kamu bahagia, dan mungkin dia berpikir ini adalah cara terbaik untuk mencapainya. Aku tahu ini sulit, tapi kadang-kadang cinta tidak selalu berarti bersama. Kadang, cinta berarti membiarkan orang yang kita cintai menemukan jalannya sendiri."
Amara terisak pelan, perasaannya bercampur aduk antara marah, sedih, dan rindu yang begitu dalam. Ia merasa begitu kehilangan, namun juga mulai memahami bahwa mungkin ini adalah keputusan terbaik, meski sangat menyakitkan.
"Terima kasih, Bima," ucap Amara dengan suara yang hampir tak terdengar, namun penuh dengan perasaan yang tulus. "Terima kasih sudah ada di sini untuk aku."
Bima hanya mengangguk, menatapnya dengan tatapan lembut yang penuh kasih sayang. "Kamu nggak perlu terima kasih, Mara. Aku akan selalu ada untuk kamu."
Mereka berdua terdiam sejenak, duduk bersama dalam keheningan yang penuh makna. Amara tahu bahwa ia harus melewati semua ini, meski terasa sulit. Ia tahu bahwa waktunya akan tiba ketika ia bisa melanjutkan hidup tanpa harus terbelenggu oleh bayang-bayang masa lalu...